Kamis, 14 November 2013

Aku dan Perpustakaan

Siapa yang suka ke perpustakaan? Angkat tangannya! Jelas, aku adalah satu di antara sekian banyak orang yang TIDAK mengangkat tangan. Ya, aku tidak suka ke perpustakaan. Biarpun lumayan suka membaca, tapi perpustakaan tetap tidak menarik bagiku. Dan seumur hidup, aku jaraaang sekali ke tempat itu.

Sewaktu SD, aku tidak tahu di sekolah ada perpustakaan. Setelah naik kelas 6 (kalau tidak salah), aku mendengar kabar ada adik tingkat yang pintar dan rajin membaca buku perpustakaan. Emangnya ada perpustakaan di sekolah? Ternyata ada. Tapi, tempatnya kalau tidak salah di ruang guru. Heee? Di ruang guru? Itu adalah ruang angker. Bukan angker karena ada hantunya tapi angker karena ada guru-guru di situ. Padahal guru-guruku tidak galak -- setidaknya tidak galak padaku -- tapi tetap takut bertemu mereka di luar jam pelajaran. Jadi, aku tidak pernah ke perpustakaan.

Sewaktu SMP, aku ke perpustakaan beberapa kali. Dalam satu tahun ajaran, dua kali aku ke perpustakaan. Meminjam buku? Iya. Tepatnya meminjam buku paket di awal tahun ajaran dan mengembalikannya di akhir tahun pelajaran. Selain itu? Maaf-maaf saja. Tapi, teman sebangkuku sewaktu kelas satu SMP rajin ke perpustakaan. Dia sering meminjam buku tentang mitologi Yunani. Ada cerita tentang wanita yang memintal benang takdir, cerita asal-usul daun salam di kepala Apollo, cerita lahirnya Athena, pokoknya banyak. Dan kalau dia sudah meminjam buku, aku tinggal duduk di sampingnya dan ikut membaca.

Selasa, 05 November 2013

Menjaring Angin (13)

Wukir pun teringat ketika Sasi memberikan undangan pernikahan padanya dua minggu yang lalu. Sore itu, setelah jam kerja berakhir, ia bergegas ke kantor provinsi mengantarkan laptop Matari yang diperbaikinya. Ketika ia sedang mengobrol dengan Matari dan Pawana, Sasi pun datang membawa beberapa undangan.

“Akhirnya Sasi nyebar undangan juga. Mas Wukir kapan, nih?” goda Matari.

“Ntar siang aku sebar undangan,” jawab Wukir sungguh-sungguh – atau setidaknya kelihatan sungguh-sungguh.

“Serius?”

“Serius. Ntar siang aku sebar undangan. Undangannya Sasi,” kata Wukir yang langsung tergelak. Tapi ia tidak bisa lama tertawa karena Pawana langsung memukul lengannya dengan buku. Keras sekali. Ia baru saja membuka mulut hendak protes atas kesadisan Pawana ketika Matari tiba-tiba bertanya.

“Baruna? Ini bukan Baruna anak Analisis itu, kan?”

Sasi hanya tersenyum.

“Jadi Baruna yang itu? Serius? Nggak salah? Dia, kan, jauh lebih muda dari kita,” tanya Matari bertubi-tubi.

“Terus kenapa kalau lebih muda?” Sasi balik bertanya.

“Cowok seumuran dia pasti masih kekanak-kanakkan, belum dewasa!”

“Kedewasaan nggak selalu bisa dinilai dengan usia, kan? Ada orang yang bisa bersikap dewasa tanpa menunggu jadi tua. Baruna salah satunya. Asal kamu tahu aja, dia jauh lebih dewasa dari kamu,” Sasi yang biasanya tenang menghadapi Matari kini terlihat jengah.

“Eh, desainnya bagus. Siapa yang buat?” Wukir mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Nana yang buat. Minggu lalu aku minta dia buat desain, besoknya langsung dia kasih. Dan cocok. Aku sama Baruna suka gambar laut sama bulan purnamanya,” terang Sasi.

“Kok, cepet banget jadinya?” tanya Matari.

“Nggak tahu, tuh, Baruna. Kayanya kenal yang punya percetakan, jadi cepet,” jawab Sasi.

“Kamu udah desain undangan Sasi sama Baruna. Kapan kamu desain udangan nikahan kamu sama Pukat?” sindir Wukir.

***

Aaargh! Bodoh sekali. Kenapa aku harus menanyakan hal seperti itu? Kenapa aku menanyakan undangan pernikahannya dengan Pukat? Kalau dia mengajak Pukat menikah pada hari pengumuman beasiswa, berarti itu seminggu sebelum Sasi membagikan undangan. Dan itu berarti ... Sasi memintanya membuatkan undangan pernikahan tepat di hari dia ditolak? Ah, kalau saja Sasi tahu yang terjadi, dia takkan sampai hati melakukannya.

Minggu, 27 Oktober 2013

Born Under A Million Shadows (Dalam Sejuta Bayangan)


Fawad nama anak laki-laki itu. Dia lahir di Afghanistan, di bawah bayang-bayang Taliban. Ia memiliki dua orang kawan baik, yaitu Spandi dan Jamilla. Nama asli Spandi adalah Abdullah. Namun, karena dia menjual spanduk, orang-orang memanggilnya Spandi.

Fawad dan Mariya, ibunya, semula tinggal bersama keluarga bibinya meskipun hubungan antara ibunya dan bibinya tidak begitu baik. Setelah ibunya mendapat pekerjaan sebagai pengurus rumah, mereka pun kemudian tinggal di rumah “majikan” ibunya. Orang itu bernama Georgie. Dia berasal dari Inggris. Di Afghanistan Georgie bekerja di LSM dan menjadi pencukur kambing kashmir. Di rumah itu Georgie tinggal bersama dua orang kawannya: seorang jurnalis bernama James dan ahli teknik bernama May.

Tak butuh waktu lama bagi Georgie untuk akrab dengan Fawad. Georgie adalah wanita yang menyenangkan dan dia bisa berbahasa Dari. Fawad pun berpikir bahwa dia menyukai Georgie. Tapi, kemudian dia tahu bahwa Georgie sudah memiliki kekasih bernama Haji Khalid Khan. Sayangnya hubungan mereka cukup rumit. Perbedaan budaya dan perbedaan keyakinan – Haji Khalid Khan muslim sedangkan Georgie bisa dibilang tidak percaya Tuhan – membuat mereka sulit untuk menikah. Dari sinilah berbagai masalah mulai berdatangan.

Rabu, 23 Oktober 2013

The Time Keeper (Sang Penjaga Waktu)




Hanya manusia yang mengukur waktu.

Itu sebabnya hanya manusia yang mengalami ketakutan hebat yang tidak dirasakan makhluk-makhluk lainnya.

Takut kehabisan waktu.


Dor adalah manusia pertama yang berusaha menghitung, membuat angka-angka. Ia selalu asyik mengukur apapun, batu, ranting, kerikil, apa saja yang bisa dihitungnya. Hanya satu yang bisa mengalihkannya dari kegiatan menghitung: Alli, teman masa kecilnya yang kemudian menjadi istrinya.

Dor juga menandai waktu, dengan menandai ujung bayangan pada sebuah tongkat, dengan mengukir takik-takik pada lempeng tanah liat, dan juga membuat jam pertama. Dialah manusia pertama yang menandai waktu. Sementara itu, Nim, kawannya, sedang membuat menara yang akan membawa Nim ke langit untuk mengalahkan dewa-dewa.

Senin, 21 Oktober 2013

Menjaring Angin (12)

Dua minggu lagi Pawana harus berangkat ke Jepang. Dan dia ingin menghabiskan dua minggu itu di kampung halaman. Untuk itu dia ke Stasiun Gambir pagi ini untuk membeli tiket kereta yang berangkat ke Tegal nanti malam. Dia ditemani Wukir. Sebenarnya bukan menemani, sih. Wukir juga hendak membeli tiket kereta ke Semarang. Sama seperti Pawana, dia juga ingin pulang kampung dulu sebelum berangkat ke Jepang. Mereka beruntung karena hari itu hari Rabu, hari kerja. Jadi mereka tak sampai kehabisan tiket. Kalau mereka membeli tiket kereta untuk akhir pekan atau hari libur, mereka harus pesan beberapa hari sebelumnya. Setelah mendapatkan tiket, mereka memutuskan untuk jalan-jalan ke Monas.

Minggu, 20 Oktober 2013

Menjaring Angin (11)


“Nana!” sapa Pukat yang tiba-tiba saja sudah berada di samping meja Pawana. Entah Pukat yang seperti hantu, kedatangannya tidak terdeteksi panca indera manusia, atau Pawana yang terlalu fokus sehingga tidak menyadari kehadiran Pukat.

“Aku disuruh minta tabel-tabel ini ke Bagian Pengolahan,” kata Pukat sambil menyodorkan selembar kertas berisi daftar variabel dan format tabel.

“Kenapa nggak minta lewat email aja? Daripada kamu capek-capek jalan ke sini,” kata Pawana.

Pukat hanya tersenyum. “Ruangan kita, kan, nggak sejauh Jakarta – Tegal, Na. Jalan kaki lima menit juga sampai. Lagian sekalian biar bisa ketemu kamu. Dua minggu kemarin aku ikut pelatihan, jadi nggak bisa ketemu kamu. Kangen,” goda Pukat.

“Apaan, sih, bilang kangen segala!” kata Pawana ketus, menutupi salah tingkahnya.

“Nanti malam ke toko buku, yuk! Kata temanku kemarin ada banyak manga baru,” kata Pukat, tak memedulikan sikap ketus Pawana.

Belum sempat Pawana menjawab ajakan Pukat,  smartphone-nya berbunyi.

Dengan kekuatan bulaaan, akan menghukummu!

Selasa, 15 Oktober 2013

You See What You Want To See

*Warning! Tulisan ini mengandung unsur SARA*
"You see what you want to see," kata Dumbledore pada Snape.

Kamu melihat apa yang ingin kamu lihat. Memang benar demikian adanya. Kita tidak akan melihat apa yang tidak ingin kita lihat. Maksudnya? Ketika kita "meyakini" sesuatu, kita akan menutup mata terhadap segala sesuatu yang bertentangan dengan apa yang kita yakini. Dan kita menjadi lebih jeli untuk menemukan segala sesuatu yang mendukung apa yang kita yakini.

Contohnya adalah orang-orang yang membenci agama Islam, atau memiliki pandangan buruk tentang Islam. Aku tidak tahu agama mereka, bisa jadi juga mereka tidak beragama. Sodorkanlah Al Qur'an kepada mereka. Apa yang akan mereka temukan? Besar kemungkinan yang mereka temukan adalah ayat tentang perang, qishash, poligami, atau hal lain yang (kelihatannya) buruk. Mereka akan berpendapat bahwa orang Islam suka berperang, tanpa melihat asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya) ayat tentang perang. Padahal, ada beberapa ayat yang memerintahkan perang karena umat Islam sudah terlebih dahulu diperangi. Mereka juga akan berpendapat bahwa orang Islam kejam karena menerapkan hukum qishash, tanpa memperhatikan bahwa qishash tidak sembarangan dilakukan, tanpa memperhatikan bahwa sebenarnya qishash efektif menimbulkan efek jera. Ada kalanya seseorang yang membunuh atau melukai seseorang tidak menjalani hukuman qishash dan "hanya" membayar diyat (denda) karena keluarga korban sudah memaafkan.

Rabu, 18 September 2013

Cerita Sebelum Tidur

Waktu kecil aku sering sekali didongengi. Aku tidak ingat tepatnya mulai kapan dan sampai kapan, yang jelas "waktu kecil". Biasanya sebelum tidur, entah tidur siang atau tidur malam, Abah mendongengiku. Dongengnya tidak jauh-jauh dari cerita fabel yang sudah kondang: kancil. Tapi, kancilnya bukan cuma kancil nyolong timun. Seringnya malah cerita kancil mengerjai harimau. Pernah suatu hari kancil menipu harimau dengan mengatakan bahwa batang-batang pohon bambu yang mereka lihat adalah seruling. Dia menyuruh harimau untuk menyelipkan lidahnya di antara dua batang bambu. Hasilnya tentu bukan suara merdu. Lidah si harimau malah terjepit. Pernah juga kancil menunjukkan benda berwarna hijau pada harimau dan mengatakan bahwa itu adalah sorban. Harimau pun memakainya. Padahal sebenarnya benda hijau itu bukan sorban melainkan tlepong (kotoran kerbau). Selain cerita-cerita itu masih ada cerita lain seperti Bawang Putih Bawang Merah. Tapi, aku tidak ingat. Yang melekat kuat di ingatanku cuma dua cerita itu. Dan satu lagi yang kuingat: tuli ana watu mendelis, uwis. Itu adalah kalimat yang sering diucapkan padaku kalau aku berkata, "Tuli? Tuli? (Terus? Terus?)" Kalau anak lain didongengi mungkin cepat tidur. Kalau aku? Jangan harap. Aku justru makin melek dan kalau cerita sudah selesai aku berkata, "Tuli? Tuli?" Abah yang -- mungkin -- sudah kehabisan cerita atau sudah capai bercerita pun menjawab, "Tuli ana watu mendelis." Aku pun bertanya lagi, "Tuli?" Abahku pun akan menjawab, "Uwis." Sudah. Tidak ada cerita lagi. Kalau sudah begitu, paling Abah "menyanyikan" sholawat agar aku tertidur.

Sabtu, 14 September 2013

Jatuh Itu Biasa



Bagi pengendara motor, yang namanya jatuh pasti sudah biasa. Apalagi bagi yang baru belajar mengendarai sepeda motor. Aku sendiri sudah beberapa kali mengalami accident, baik yang sangat ringan maupun yang agak parah. Semoga tidak akan pernah mengalami yang parah. Ngeri, bok!

Waktu baru awal-awal memiliki sepeda motor, aku beberapa kali menjatuhkan sepeda motorku. Kenapa aku menggunakan kata ‘menjatuhkan’? Karena yang jatuh memang hanya sepeda motorku sedangkan aku sendiri tetap berdiri, tidak ikut terjatuh. Aku juga tidak tahu kenapa bisa begitu. Mungkin refleks aku langsung melepaskan pegangan pada stang motor sehingga ketika motor jatuh aku tidak ikut jatuh. Aku juga pernah menabrak pagar di kos. Untungnya cuma pagar kayu yang tidak kokoh. Coba kalau pagarnya besi atau tembok. Bisa hancur aku dan sepeda motorku.

Itu tadi yang ringan. Yang agak parah? Ada. Waktu itu aku baru beberapa kali ke kantor naik sepeda motor. Dan tentunya aku belum mahir keluar masuk tempat parkir yang ada di belakang kantor. Jalan masuk ke tempat parkir itu menurun, belok kanan, dan agak susah bagi yang belum terbiasa. Saat keluar dari tempat parkir, aku menarik gas kuat-kuat karena jalannya menanjak. Karena terlalu kuat menarik gas, aku jadi tidak bisa mengendalikan sepeda motorku, yang seharusnya belok kanan justru tetap lurus dan menabrak tanah yang posisinya lebih tinggi dari jalan kemudian terguling dari situ dengan suksesnya. Alhamdulillah aku memakai helm dan jaket jadi lecetnya tidak parah. Lecet dan biru-biru, sih. Tapi, tidak sampai patah tulang atau luka yang parah. Alhamdulillah. Yang parah malah sepeda motor Yamaha Mio yang kunamai Honey Bunny Black Sweetie.

Jumat, 13 September 2013

Menggelandang Ke Lembah Sabil

Tanggal 11 September kemarin aku 'jalan-jalan' ke Lembah Sabil. Lembah Sabil itu di mana? Lembah Sabil adalah kecamatan di Aceh Barat Daya yang paling ujung selatan (atau tenggara, ya?) yang berbatasan dengan Kabupaten Aceh Selatan. Kecamatan ini merupakan pemekaran dari Kecamatan Manggeng. Nah, hari itu aku menemani Meri ke sana. Tujuan utama adalah ke kantor camat untuk meminta tanda tangan camat untuk buku Kecamatan Lembah Sabil Dalam Angka sekaligus meminta foto camat. Tujuan sampingannya adalah hunting foto untuk sampul publikasi Kecamatan Dalam Angka. Tapi, tidak banyak foto yang kudapatkan. Dari lima kecamatan yang kulewati (Blangpidie, Setia, Tangan-Tangan, Manggeng, dan Lembah Sabil), tidak banyak yang menarik. Ujung-ujungnya aku hanya mengambil gambar sawah-sawah yang kami lewati. Tidak ada landmark yang khas.

Sebelum ke kantor camat, kami mampir sebentar di rumah Meri di Desa Suka Damai. Rumah Meri terletak di tepi sungai yang memisahkan Desa Lhok Puntoy (Kecamatan Manggeng) dan Desa Suka Damai (Kecamatan Lembah Sabil). Sungai ini jaraknya sekitar dua atau tiga kilometer dari jalan raya. Kalau dihitung jaraknya dari Blangpidie mungkin sekitar 21 sampai 23 kilometer. Nah, di sinilah aku melihat pemandangan menarik untuk difoto: sungai dan pintu air. Yah, tidak terlalu cocok untuk sampul publikasi, sih. Tapi, tetap menarik untuk difoto. Ini dia gambar-gambarnya:

Minggu, 08 September 2013

Menjaring Angin (10)



Adzan Maghrib baru saja selesai berkumandang. Namun, Pawana masih sibuk di depan komputer – yang sekarang beralih fungsi jadi server.

“Udah selesai, Na?” tanya Matari.

“Bentar lagi. Ini lagi bikin tabel rekap hasil entry yang diminta Pak Agni. Kalian?”

“Belum. Baru selesai bikin SPJ, eh, tadi ada email suruh revisi SPJ-nya. Sakit jiwa itu orang kantor pusat!” rutuk Matari.

“Sasi?” tanya Pawana sambil tetap fokus pada komputer.

“Lagi sholat. Dia juga udah stress meriksa dokumen survei seabrek-abrek. Mending kita pulang aja, lah. Percuma lembur kalau pikiran udah kusut. Kerjaan malah makin berantakan,” keluh Matari.

“Selesai!!!” Pawana menyimpan tabel yang baru saja dia print lalu mematikan komputer.

“Buat ngilangin stress, gimana kalau kita makan di luar?” usul Pawana.

“Oke! Ngramen aja, yuk! Abis itu kita nonton,” jawab Matari girang.

***

Rabu, 28 Agustus 2013

Ponakan

Lagi liburan bada wingi aku balik maring Brebes. Pas kakange aku loro-lorone lagi nginep nang umah. Otomatis anak-anake ya pada nginep nang umah. Ponakanku ana telu, wadon loro, lanang siji. Sing lanang arane Umar. Esih cilik, embuh pirang wulan umure. Kayane tah durung ana nem wulan. Maklum, bulike klalenan dadi ya ora apal umure ponakane. Sing wadon loro, arane Mila karo Habibah. Mila umure wis patang taun, Habibah nembe rong taun.

Gemiyen tah aku seringe mung rudu karo si Mila. Si Mila seneng nemen ngurak-urak aku. Senenge ngomong, "Sana, Bulik pulang ke Aceh!" Nyong ya ora gelem kalah oh. Tak jawab bae, "Sana Mila pulang ke Siasem!" Umahe Mila kan nang Siasem. Yen lagi sentimen, aku nang ruang tamu diurak-urak, pindah maring kamar ya diurak-urak maning. Ngomonge, "Ini kamarnya Habibah!" Dumehe Habibah yen nginep turune nang kamar kue. Pokoke njelehi nemen lah ngger lagi nggara. Bocahe tah pinter, ngomonge ya wis canthas. Tapi, ya, kue... Ngger nggara kayong njelehi. Ngger aku lagi juwet ya tak omongi, "Yen pengin nangis kari nangis ka, ora usah luruh gara-gara." Hahaha, jahat nemen yah. Pimen maning yah. Aku kayong ora cocok ngemong bocah. Tuli si Mila ya ora kena dijak lunga-lunga. Dijak blanja tuku klambi maring Rita Mall be gegere ora umum. Njaluk balik bae padahal durung rampung blanjane. Yen dijak mandi bola tah ndean meneng, ora geger. Yah, arane be bocah cilik, ora betahan.

Senin, 26 Agustus 2013

Gara-Gara Sembarangan Beli Buku

Biasanya aku adalah orang yang pemilih dalam membeli buku. Biasanya aku membeli buku yang bisa 'membangun', atau setidaknya bukan buku yang 'merusak' mentalku (dalam standarku sendiri, tentunya). Bukannya sok atau bagaimana. Tapi, aku selalu menganggap bahwa kelak buku yang kumiliki akan kuwariskan pada orang lain, misalnya anak atau keponakanku. Jadi, selain mencari buku yang baik untukku sendiri, aku juga mencari buku yang baik bagi pewarisnya nanti. Masa iya aku akan mewariskan buku yang bisa membuat mereka menye-menye, cengeng, labil, berpikiran pendek, dan sebagainya.

Itu sebabnya dulu aku jarang iseng membeli buku yang aneh-aneh. Tapi, setelah bekerja, aku mulai iseng. Beberapa kali aku membeli buku hanya karena melihat sampulnya yang cantik atau hanya berdasarkan dugaan "kayaknya bagus, deh". Tapi, selama ini buku-buku yang dibeli secara impulsif itu masih dalam kadar aman alias tidak berpotensi merusak mental pembacanya. Misalnya Bliss, Born Under Million Shadows, dan Sang Penerjemah. Dan tanggal 17 lalu aku kembali bertindak impulsif. Akibatnya? Fatal! Aku membeli sebuah buku karya penulis Korea yang bergenre romance (jangan tanya apa judulnya). Iya, emang nggak gue banget! Aku memang tidak terlalu suka romance. Tapi, membaca tulisan di bagian belakang buku aku jadi tertarik. Buku itu bercerita tentang seorang wanita yang ingin bercerai dengan suaminya. Menarik, kan? Ditambah lagi sampulnya cantik, warna-warni. Lalu, apakah isinya secantik sampulnya? Sayangnya tidak. Isinya horror! Bukan horror yang hantu-hantuan melainkan 'horror' yang lainnya. Di awal cerita memang menarik. Ada bau-bau romantisnya. Tapi, kemudian ada adegan dewasanya. Tentu saja aku kaget. Kupikir ini cerita konflik rumah tangga yang hanya menceritakan masalah perasaan tanpa adegan begituan. Ternyataaa...

Rabu, 14 Agustus 2013

Ibuku Selangkah Lebih Maju

Tradisi keluarga kami setiap Idul Fitri adalah mengunjungi keluarga yang lebih tua, misalnya Pakdhe, Budhe (kakak dari Ibu), dan Simbah (ibu dari Abah). Idul Fitri kemarin pun begitu. Tempat yang pertama kami kunjungi adalah rumah Budhe di Siasem. Budhe ini istri dari kakak Ibu yang sudah meninggal.

Anak-anak Budhe ini semuanya lebih tua dariku dan sudah menikah. Mungkin karena mereka lebih tua, mereka pun enteng bertanya kepada Ibu, "Kapan mantunane?" Maksudnya adalah kapan aku, anak  Ibu yang cuantik, pintar, sholihah ini menikah. Halah, kok, aku jadi memfitnah diri sendiri begini? Tanpa diduga Ibu menjawab, "Bar bada." Maksudnya setelah lebaran. Heeeh? Aku cuma tertawa mendengar jawaban ngaco Ibu. Dilamar pun belum, bagaimana mau menikah? Budhe dan para sepupuku pun heboh, bertanya-tanya, "Temenan? Kapan?" Beneran? Kapan? Ibuku tetap pede menjawab kalau yang dikatakannya tadi itu benar. Ibu kemudian menambahkan, "Tanggal wolu, bada Syawal." Tanggal delapan, Lebaran Syawal.

Yang repot aku. Mereka menanyaiku, "Dapat orang mana?" Blah! Mesti jawab apa? Kalau yang bertanya sepupuku yang seumuran dan akrab, mungkin aku akan menjawab "orang Korea, artis terkenal, namanya Lee Dong Gun". Berhubung yang bertanya adalah sepupu yang tidak terlalu akrab denganku, aku cuma cengar-cengir.

Selasa, 13 Agustus 2013

Mudik (Lagi)

Aku mau cerita perjalanan mudikku kemarin. Apa? Bosan membaca cerita perjalanan mudikku? Yah, maap-maap saja. Aku masih suka bercerita tentang perjalananku. Maklum, ini, kan, blog geje yang isinya personal, suka-suka, dan banyak curhatnya.

Ada beberapa hal yang berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Apa saja?

Ganti Partner

Tahun 2013 ini adalah mudik lebaran dari Blangpidie yang kelima bagiku. Kali pertama aku mudik lebaran dari Blangpidie adalah tahun 2009. Dan selama 2009-2012 aku selalu mudik lebaran dengan Intan, kawanku yang penempatan di Aceh Selatan. Berhubung Intan sudah pindah ke Maluku sana mengikuti sang suami, aku tidak mudik dengannya lagi. Kupikir aku akan mudik sendirian. Ternyata Rika, kawan sekantorku, mengomporiku untuk membeli tiket pesawat di tanggal yang sama dengan kepulangannya. Dia juga mengompori Jamal, kawan sekantor kami. Jadilah kami memesan tiket pesawat untuk jadwal penerbangan yang sama.

Kami bertiga berangkat dari Blangpidie hari Jum'at tanggal 2 Agustus 2013, sekitar pukul delapan malam. Aku berangkat dalam kondisi yang kurang sehat. Beberapa hari sebelumnya aku sakit tapi sehari sebelum berangkat aku merasa sudah sembuh. Eh, malah di hari Jum'at aku kembali tidak enak badan. Dan parahnya, sopirnya ngebut agar tiba di Medan pukul enam pagi. Alhasil aku muntah dengan suksesnya. Ngisin-isini. Untung aku cuma pulang bareng Rika dan Jamal. Coba kalau aku bareng mas-mas ganteng seperti Noah Wyle, bisa rusak reputasiku kalau ketahuan gampang mabuk darat. Eh, tapi kalau semobil dengan orang seganteng Noah Wyle mungkin aku tidak akan mabuk, ya? Ah, sudahlah.

Sampai di Bandar Baru kami istirahat sekalian makan sahur. Kami bertemu Mbak Novel dan Nisa yang baru penempatan di Aceh Selatan. Dan komentar Mbak Novel sewaktu melihatku, "Dirimu, kok, membengkak sekali?" Hiks! Kejamnya! Sebegitu bengkakkah diriku sekarang? Terakhir kali aku bertemu Mbak Novel adalah tahun 2009, sewaktu mudik lebaran juga. Kebetulan waktu itu kami satu pesawat. Dan waktu itu aku memang belum segemuk saat ini. OK, cukup curhat tentang berat badannya. Mbak Novel juga mengomentari jaket PKL yang kupakai. Jaket itu memang sudah 'tua', umurnya sudah sekitar 6 tahun. Tapi, aku masih setia mengenakannya kalau bepergian jauh.

Jamal menawariku untuk bertukar tempat duduk setelah tahu aku muntah. Tadinya Jamal duduk di samping sopir sedangkan aku dan Rika di belakang sopir. Tadinya aku berpikir percuma saja duduk di depan kalau sopirnya horror. Tapi, setelah dipikir-pikir, kalau aku di depan, Rika bisa leluasa duduk di belakang sopir sendirian, dan Jamal bisa mengungsi ke kursi paling belakang, sendirian juga. Akhirnya aku duduk di samping sopir. Dan Alhamdulillaah, biarpun mual, aku tidak muntah.

Minggu, 28 Juli 2013

Menjaring Angin (9)

Aku suka Pukat? Yang benar saja. Mas Wukir ini ada-ada saja. Memangnya kalau aku membelikan Pukat makanan berarti aku menyukainya? Dia, kan, bukan satu-satunya teman laki-laki yang kubelikan makanan. Eh, tunggu. Sepertinya ... Selain Mas Wukir, sepertinya memang cuma Pukat teman laki-laki yang kubelikan makanan. Selama ini aku tidak sudi berbaik hati pada teman laki-laki termasuk tidak sudi membelikan makanan. Tapi, bukan berarti aku suka Pukat, kan? Aku tidak suka Pukat. Aku hanya ... Aku hanya ... Aku hanya suka senyumnya, aku hanya suka tatapan matanya yang tetap tenang meskipun aku melancarkan tatapan penuh intimidasi, aku hanya suka bercanda dengannya. Hanya itu. Bukan berarti aku suka Pukat, kan?

***

Setelah beberapa jam berkutat dengan komputer, saatnya aku melarikan diri. Yeah, sudah saatnya makan siang. Itu berarti sudah saatnya kabur ke kantin dan MAKAN! Biasanya di jam makan siang begini kantin ramai. Terlambat sedikit saja, meja sudah penuh. Untungnya ada Matari yang ruangannya paling dekat kantin. Dialah yang paling dulu pergi ke kantin untuk mencari tempat duduk untuk Sasi dan aku. Begitu pun hari ini. Saat aku datang, Matari sudah duduk (sok) manis di meja paling ujung. Masih ada empat kursi kosong lagi. Saat aku baru duduk, Sasi pun datang. Lengkap sudah. Tinggal memesan makanan. Hari itu kami bertiga memesan makanan yang sama: gado-gado. Sepertinya aku sedang beruntung hari ini.

Sabtu, 27 Juli 2013

Ada Apa Di Kepalamu?

Sudah tiga kali website kantor kami diretas (di-crack). Dan yang ketiga ini yang paling membuatku merasa ngenes dibandingkan dua kejadian sebelumnya. Yang pertama, website kami dibuatkan orang dari kantor pusat, tugasku hanya mengelola. Belum sempat aku mengutak-atik website, ternyata sudah di-crack. Kemudian kami dibantu kawan dari kantor provinsi untuk memperbaikinya. Baru sebentar diperbaiki, baru upload beberapa publikasi, diretas lagi. Setelah itu diputuskan untuk membuat website baru dengan Joomla 2.5 (yang sebelumnya menggunakan Joomla 1.5). Kali ini aku membuat sendiri. Baru seminggu website diaktifkan, sudah diretas lagi. Rasanya? Ngenes. Hasil kerja selama beberapa minggu, sampai meninggalkan pekerjaan lain, dirusak begitu saja. Seperti tukang yang sudah susah payah membangun rumah, lalu ada orang tak dikenal tiba-tiba merobohkannya.

Kamis, 25 Juli 2013

Menjaring Angin (8)

Sudah seminggu aku selalu pulang malam. Lembur. Aku harus meng-entry sekaligus mengawasi ketiga stafku yang sedang meng-entry. Eh, sebenarnya bukan cuma mengawasi tiga orang itu. Aku juga mengawasi Pukat dan Baruna, staf Bagian Analisis yang kubajak demi mengejar deadline entry data. Untungnya bulan ini Bagian Analisis belum terlalu sibuk. Sasi dan Matari? Ah, lupakan mereka. Bagian Survei juga sedang sibuk-sibuknya sebagaimana Bagian Pengolahan Data, jadi Sasi tak bisa diganggu. Malam hari adalah jadwalnya memeriksa dokumen survei agar sudah clean ketika diserahkan ke Bagian Pengolahan untuk di-entry. Matari? Dia sudah stress mengatur keuangan, SPJ ini, SPJ itu, laporan keuangan. Dan mengajaknya meng-entry malam sama saja mencari bencana. Bisa-bisa setiap menemukan kesalahan dia mengomel, “Ini yang bikin aplikasi siapa, sih? Error melulu!”

***

“Udah jam sembilan, Mbak. Nggak pulang?” tanya Pukat.

“Iya, bentar lagi. Mau backup hasil entry dulu,” Pawana beranjak menuju server.

Setelah mem-backup hasil entry sementara, Pawana pun berkemas-kemas. Pukat juga ikut berkemas-kemas.

“Ngapain kamu? Mau pulang juga?” tanya Pawana.

“Mau nganterin Mbak Nana pulang. Udah malam,” jawab Pukat.

“Sunu, saya pulang dulu, ya! Kalau udah selesai, jangan lupa backup, terus matikan server. Kalau nanti ada error yang nggak bisa ditangani, biarin aja error. Jangan dipaksa clean. Catat aja error-nya lalu serahin ke saya besok. OK?” kata Pawana pada salah satu stafnya dan kemudian beranjak meninggalkan ruang entry data setelah stafnya itu memberi tanda OK.

“Kamu pinter cari alesan, ya!” kata Pawana pada Pukat begitu mereka keluar dari ruang entry data.

“Alesan apa?” tanya Pukat.

“Bilang aja kamu nggak mau ngentry sampai pagi. Pakai alesan nganterin saya pulang,” sindir Pawana. Pukat hanya tertawa kecil.

“Tapi masih lumayan, lah. Setidaknya kamu masih mau bantu ngentry sampai malam. Makasih.”

“Cuma makasih? Nggak ada imbalan? Beliin kue misalnya.”

“Kamu mau kue apa? Kue nastar? Bolu? Black forest? Atau kue cucur?” canda Pawana.

“Kue cucur boleh juga. Aku suka. Buruan kamu jalan. Aku ngikutin dari belakang,” Pukat bersiap-siap menyalakan sepeda motornya.

“Panggil apa tadi? ‘Kamu’? Heh, yang sopan sama senior!” Pawana mulai memasang tatapan Medusa-nya.

“Memang kenapa, Nana? Nggak boleh?”

“Nana? Nggak pake ‘mbak’?” Pawana makin menajamkan tatapan Medusa-nya. Dan sayangnya, tatapan itu tidak mempan untuk Pukat. Dia tidak membatu. Dia justru tersenyum. Pawana pun segera menyalakan sepeda motornya.

Dan sejak hari itu, selama seminggu Pukat selalu mengantar Pawana pulang.

Selasa, 23 Juli 2013

Lilin

“Sugeng tanggap warsa, Pak!” ujar Laksmi sambil memeluk Bapak.

“Oalah, Nduk! Bapak sendiri malah lupa ulang tahun Bapak. Memangnya sekarang umur Bapak berapa?” tanya Bapak pada Laksmi.

“Sudah 63 tahun, Pak,” jawab Laksmi.

“Ini, tiup lilinnya dulu. Terus potong kuenya,” Laksmi menyodorkan kue black forest yang permukaannya dipenuhi batangan lilin menyala.

“Lhadalah!” pekik Bapak terkejut melihat banyaknya lilin yang harus dia tiup: 63.



Rabu, 17 Juli 2013

Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat

Cover-nya sampai disensor karena 'ngeri'
Kalau kata 'Islam' ditambah 'liberal', menjadi bukan Islam lagi. Itu seperti kata ‘orang’, ditambah kata ‘hutan’. Jadinya ‘orang hutan’. Apa ‘orang hutan’ sama dengan ‘orang’?
kata Rahmat kepada Kemi

Namanya Kemi, lengkapnya Ahmad Sukaimi. Dia adalah santri cerdas di Pesantren Minhajul Abidin di Jawa Timur. Suatu hari dia pamit pada Kyai Rois – pemimpin pesantren Minhajul Abidin – untuk kuliah di Jakarta. Ternyata dia mendapat beasiswa Institut Damai Sentosa, sebuah institut yang kental dengan nuansa ‘liberal’. Setelah kuliah di sana, pikiran Kemi pun mulai terpengaruh paham liberal.

Hingga setahun kemudian Kemi bertemu Rahmat, kawannya sewaktu di pesantren. Dalam obrolan mereka, muncullah perdebatan. Kemi mengkritisi pendapat umat Islam yang selalu menganggap agamanya paling benar. Bagi Kemi, pada dasarnya semua agama benar, semua menuju Tuhan yang satu, hanya saja nama Tuhannya berbeda-beda. Rahmat pun mempertanyakan pendapat Kemi tersebut. Kalau Tuhannya sama, apa mungkin di satu sisi Dia menyatakan bahwa Isa mati disalib dan di sisi lain Dia menyatakan bahwa Isa tidak mati disalib? Apa mungkin Tuhan yang sama di satu sisi mengharamkan babi dan di sisi lain menghalalkan babi? Kalau seorang muslim berpendapat bahwa semua agama lain benar, bukankah berarti dia bukan muslim lagi? Kalau dia memandang semua agama dalam posisi netral, tidak dalam posisi agama manapun, sama artinya dia tidak beragama.

Senin, 15 Juli 2013

Aku, Kamu, Kita

Aku dan kamu
bukanlah sepasang padi dan gulma
Kita
hanya sepasang kecambah
Berdiri beriringan
Tegak mencari sinar matahari
Menebarkan serabut-serabut akar
mencari butir-butir air
Tumbuh bersama
menuju satu titik
yang kita sebut
DEWASA

Minggu, 14 Juli 2013

Please, Look After Mom: Novel yang Menggalaukan

Gambar pinjam dari Goodreads
Seberapa baik kau mengenal ibumu? Itu pertanyaan yang terngiang di pikiran Chihon setelah ibunya hilang. Ibunya hilang di Stasiun Seoul ketika hendak naik kereta bersama ayahnya untuk mengunjungi Chihon dan ketiga saudaranya yang lain.

Bagaimana mungkin Ibu bisa hilang? Begitu tanya istri Hyong-chol atau kakak ipar Chihon.  Saat itulah Chihon baru menyadari satu hal yang selama ini tidak dia perhatikan. Sewaktu Hyong-chol sekolah di Seoul, Ibu selalu meminta Chihon untuk membacakan surat dari Hyong-chol keras keras dan meminta Chihon menuliskan surat balasan untuk Hyong-chol. Chihon baru menyadari bahwa Ibu memintanya melakukan semua itu karena ia tidak bisa membaca.

Chihon juga teringat kondisi Ibu belakangan ini. Ia pernah melihat Ibu pingsan di rumah. Ibu pernah mengatakan padanya bahwa Ibu kerap merasakan sakit kepala yang sangat hebat dan sering lupa ketika hendak melakukan sesuatu. Ibu tidak bisa membaca, ditambah penyakit Ibu belakangan ini, bisa jadi itu alasan Ibu tidak bisa naik kereta sendiri untuk menyusul ayah mereka.

Jumat, 12 Juli 2013

27

Tanggal 11 Juli kemarin aku genap berusia 27 tahun. Lho, 27 bukannya ganjil? Oke, aku ganjil berusia 27 tahun. Sudah tua? Iya, memang. Sudah dewasa? Sepertinya belum. Umm, sebenarnya aku sendiri juga tidak tahu batasan seseorang bisa disebut dewasa atau tidak. Kalau dewasa itu artinya tidak egois, sepertinya aku belum dewasa. Kalau dewasa itu artinya sabar, sepertinya aku juga belum dewasa. Kalau dewasa itu artinya bisa mengendalikan dan menyembunyikan amarah, yah, berarti aku belum dewasa. Kalau dewasa itu artinya bisa menghadapi masalah dengan tenang, tidak grusa-grusu, tidak panik, berarti aku juga belum dewasa. Kalau dewasa itu artinya bisa mengambil keputusan dengan cepat dan bertanggung jawab, sepertinya aku juga masih jauh dari kata dewasa. Hmm, sudahlah. Lagipula, sepertinya dewasa bukanlah pencapaian melainkan proses. Sejak lahir sampai mati kita akan selalu menjalani proses pendewasaan diri.

Kamis, 11 Juli 2013

Menjaring Angin (7)

“Yuk, kita cari novelnya,” Pawana menarik lengan jaket Wukir.
“Digandeng tangannya langsung aja, Mbak. Nggak usah narik jaketnya,” ledek Pukat.
Pawana melepaskan pegangannya pada jaket Wukir lantas berlalu menuju rak tempat novel-novel. Merengut. Wukir bergegas menyusulnya.

***

“Siapa tadi?” tanya Wukir sambil diam-diam membuka plastik yang membungkus sebuah novel. Eragon, judul novel itu. Matanya bergerak-gerak mengawasi siapa tahu ada penjaga yang melihatnya.

“Pukat. Anak baru di kantor,” jawab Pawana singkat. Wajahnya masih ditekuk, masih kesal dengan sindiran Pukat tadi.

“Kok, aku baru lihat, ya? Rasanya aku kenal semua karyawan di kantor provinsi DKI,” tanya Wukir sambil membolak-balik novel yang baru berhasil dia buka bungkusnya.

“Baru kerja dua bulanan. Fresh graduate. Dia di Bagian Analisis. Dia juga belum pernah pergi ke kantor pusat, makanya Mas Wukir nggak pernah lihat dia,” jawab Pawana.

“Kayaknya Siwi belum punya novel ini, deh. Beliin ini aja. Bagus ceritanya,” Pawana menyodorkan novel Bidadari-Bidadari Surga karya Tere Liye.

“Oh, ini, kan, novel yang bikin kamu mewek itu. Kalau kamu sampai mewek, berarti ceritanya memang bagus,” Wukir tersenyum lebar sedangkan Pawana kembali merengut.

“Kalau orang kantor tahu kamu nangis cuma gara-gara baca novel, rusak image garangmu,” Wukir masih semangat menggoda Pawana, tak peduli biarpun Pawana terlihat makin murka.

“Sorry. Just kidding!” kata Wukir sambil mengacak rambut gadis yang sudah dikenalnya selama empat tahun itu.

“Oke. Aku ambil novel yang itu sesuai saran kamu. Kamu mau beli novel apa? Sesuai janji, aku traktir kamu satu buku,” kata Wukir. Pawana menunjukkan novel tebal di tangannya. The Lost Symbol. Lalu membaliknya, menunjukkan label harganya.

“Itu, kan, mahal, Na,” kata Wukir lemas. Pawana tersenyum lebar. Puas.

Selasa, 02 Juli 2013

Menjaring Angin (6)

Dengan kekuatan bulaaan, akan menghukummu!

Pawana menoleh mendengar suara tersebut. Ada sms masuk rupanya. Dari Pak Agni. Hati Pawana rusuh. Pasti teguran karena dia terlambat mengirimkan hasil entry data ke kantor pusat. Dan ternyata ... dugaannya benar. Tidak meleset sama sekali.

“Semena-mena! Bikin deadline nggak rasional, mepet. Giliran telat, aku juga yang diomelin. Sehari kerja 24 jam pun nggak terkejar itu deadline!” rutuk Pawana.

Baru saja Pawana hendak meraih smartphone-nya untuk mematikannya – demi menghindari sms (lagi) dan telepon dari Pak Agni – benda itu berbunyi sekali lagi.

Cahaya cinta perlahan menyilaukan. Itulah mimpi kehidupan kedua. Mimpi itu dari mana datangnyaaa?

Di layar tertulis “Mas Wukir”. Pawana langsung mengangkat teleponnya. Selama menerima telepon, wajah Pawana berseri-seri.

***

Sabtu, 29 Juni 2013

Menjaring Angin (5)

I hate Monday. Kali ini aku benar-benar membenci hari Senin. Bukan. Bukannya aku benci bekerja. Aku benci hari Senin ini karena hari ini aku harus ke kantor dan harus bertemu Medusa. Hari ini aku kembali diperbantukan di Bagian Pengolahan Data.

Tak bisa kubayangkan bagaimana sikapnya nanti padaku. Sebelum peristiwa kemarin pun dia sudah bersikap judes padaku, apalagi setelah kemarin aku mengatakan tak mau dijodohkan dengannya? Bisa-bisa makin bengis sikapnya padaku.

Selain harus menghadapi Medusa, aku juga harus menghadapi Mama. Semalam Mama menanyakan bagaimana pertemuanku dengan Medusa, eh, Pawana. Mau tak mau aku menceritakan semua yang terjadi. Dan Mama? Seperti yang kuduga, mendadak galau. Mama khawatir Pawana dan Tante Kartika akan tersinggung dengan perkataanku. Dan satu yang tak terpikirkan olehku sebelumnya: hal ini bisa merusak persahabatan Mama dan Tante Kartika. Huh, rumitnyaaa!

Ah, sudahlah. Lebih baik aku segera bersiap berangkat ke kantor.

Jumat, 28 Juni 2013

Menjaring Angin (4)

Dua bulan lalu, ketika aku baru seminggu bekerja di kantorku, aku bertemu dengannya untuk pertama kali. Sebenarnya aku bertugas di Bagian Analisis tapi karena pekerjaan di Bagian Pengolahan Data sedang membanjir lantaran ada proyek besar, aku pun diperbantukan di sana. Aku menjadi salah satu entrior. Karena masih belum perpengalaman dalam hal entry data, aku pun sering bertanya pada supervisor.

“Mbak, ini kenapa, ya? Kok, ada pesan error begini?”

“Itu artinya penjumlahannya salah. Nilai isian kolom lima ditambah kolom enam harusnya sama dengan nilai isian kolom tujuh,” jelasnya.

“Mbak, ini kenapa lagi?”

“Kamu ngapain ngisi itu? Kalau pertanyaan nomor lima isinya kode dua, pertanyaan enam dan tujuh kosongin aja,” katanya sembari menghapus isianku yang dimaksud.

“Mbak, ini, kok, ada tulisan network error?”

Si Mbak Supervisor pun segera mengecek kotak kecil yang ada di sampingku.

“Itu kabelnya kendur, nggak pas nyolok di switch-nya,” jawabnya sambil membenarkan posisi kabel abu-abu ke lubang di kotak kecil di sampingku. Jadi, kotak itu namanya switch.

“Makanya, kamu duduknya jangan lasak!” katanya. Sekilas aku melihat matanya. Tatapannya terkesan mengintimidasi, meskipun aku tidak merasa terintimidasi.