Wukir pun teringat
ketika Sasi memberikan undangan pernikahan padanya dua minggu yang lalu. Sore
itu, setelah jam kerja berakhir, ia bergegas ke kantor provinsi mengantarkan
laptop Matari yang diperbaikinya. Ketika ia sedang mengobrol dengan Matari dan Pawana,
Sasi pun datang membawa beberapa undangan.
“Akhirnya Sasi nyebar
undangan juga. Mas Wukir kapan, nih?” goda Matari.
“Ntar siang aku sebar
undangan,” jawab Wukir sungguh-sungguh – atau setidaknya kelihatan sungguh-sungguh.
“Serius?”
“Serius. Ntar siang
aku sebar undangan. Undangannya Sasi,” kata Wukir yang langsung tergelak. Tapi
ia tidak bisa lama tertawa karena Pawana langsung memukul lengannya dengan
buku. Keras sekali. Ia baru saja membuka mulut hendak protes atas kesadisan
Pawana ketika Matari tiba-tiba bertanya.
“Baruna? Ini bukan
Baruna anak Analisis itu, kan?”
Sasi hanya tersenyum.
“Jadi Baruna yang itu?
Serius? Nggak salah? Dia, kan, jauh lebih muda dari kita,” tanya Matari
bertubi-tubi.
“Terus kenapa kalau
lebih muda?” Sasi balik bertanya.
“Cowok seumuran dia pasti
masih kekanak-kanakkan, belum dewasa!”
“Kedewasaan nggak
selalu bisa dinilai dengan usia, kan? Ada orang yang bisa bersikap dewasa tanpa
menunggu jadi tua. Baruna salah satunya. Asal kamu tahu aja, dia jauh lebih
dewasa dari kamu,” Sasi yang biasanya tenang menghadapi Matari kini terlihat
jengah.
“Eh, desainnya bagus.
Siapa yang buat?” Wukir mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Nana yang buat.
Minggu lalu aku minta dia buat desain, besoknya langsung dia kasih. Dan cocok.
Aku sama Baruna suka gambar laut sama bulan purnamanya,” terang Sasi.
“Kok, cepet banget jadinya?” tanya Matari.
“Nggak tahu, tuh, Baruna. Kayanya kenal yang punya percetakan, jadi cepet,” jawab Sasi.
“Kamu udah desain
undangan Sasi sama Baruna. Kapan kamu desain udangan nikahan kamu sama Pukat?”
sindir Wukir.
***
Aaargh! Bodoh sekali.
Kenapa aku harus menanyakan hal seperti itu? Kenapa aku menanyakan undangan
pernikahannya dengan Pukat? Kalau dia mengajak Pukat menikah pada hari
pengumuman beasiswa, berarti itu seminggu sebelum Sasi membagikan undangan. Dan
itu berarti ... Sasi memintanya membuatkan undangan pernikahan tepat di hari
dia ditolak? Ah, kalau saja Sasi tahu yang terjadi, dia takkan sampai hati
melakukannya.
***
Aku sungguh tak bisa
konsentrasi. Aku sama sekali belum membuat analisis yang harus kuserahkan pada
atasanku lusa. Padahal niatku hari ini membuat analisis regresi linear berganda
dari data-data yang diberikan Pawana. Ah, Pawana lagi. Seharian ini aku terus
memikirkan yang dikatakannya minggu lalu. Dia mengajakku menikah! Yang benar
saja! Umurku masih 23. Aku masih ingin menikmati kebebasan, masih ingin menikmati
hidup. Aku masih ingin mengejar karir. Apa jadinya kalau aku menikah?
“Hey, bengong aja!”
sapaan Baruna membuyarkan lamunanku.
“Dateng, ya, Pukat!” katanya
sambil menyodorkan undangan berwarna biru.
“Kamu mau nikah? Waw!
Waw! WAW!”
“Kenapa?” tanya
Baruna.
“Nggak. Cuma kaget
aja. Kamu, kan, masih muda. Yakin mau nikah? Ntar nggak bebas lagi. Nggak bisa
menikmati hidup,” kataku.
“Dua empat masih muda,
ya?” Baruna terkekeh.
“Emang kalau udah
nikah nggak bebas lagi? Terus, kalau nggak nikah, bisa bebas? Bebas gimana
maksudnya? Biarpun single juga tetap banyak batasan yang bikin kita nggak
bebas, kan? Dan kalau diibaratkan perahu, mungkin selama ini kita bebas
berlayar ke mana kita mau. Tapi, apa nggak bosan? Apa nggak pengen berlabuh dan
menetap di satu tempat?” terang Baruna, puitis. Sebentar. Baruna puitis? What’s
wrong with him?
“Dan tentang menikmati
hidup, memangnya setelah nikah kita nggak bisa menikmati hidup? Apa menikmati
hidup itu harus sendirian? Kalau bisa menikmati hidup dengan pasangan yang kita
sayang, kenapa mesti sendiri?”
Sial! Kenapa semua
perkataan Baruna terdengar masuk akal?
“Nikah bukan soal
usia. Nikah itu soal kesiapan. Yang udah usia tiga puluh belum tentu udah siap
nikah. Yang masih dua puluh tahun bisa jadi justru udah siap nikah,” kata
Baruna lagi.
“Menurutmu, aku udah
siap nikah belum?” tanyaku.
“Belum,” jawab Baruna
dengan wajah menyebalkan.
“Hey, dari tadi kamu
nanya mulu sampai lupa baca undangannya.”
Ah, iya. Aku pun
membaca nama mempelai yang tertulis. Sasi Prameswari.
“Mbak Sasi?”
Baruna mengangguk.
“Nggak ketuaan? Nanti
nggak nyambung kalau ngobrol.”
“Belum tua, ah. Baru
dua tujuh. Kami cuma beda tiga tahun. Selama ini, sih, lumayan nyambung. Kalau
sering komunikasi, yang tadinya kalau ngobrol nggak nyambung lama-lama jadi
nyambung, lah,” lagi-lagi jawaban Baruna masuk akal.
“Tapi, posisi dia di
kantor lebih tinggi dari kamu. Dia udah kepala seksi. Gajinya juga lebih gede.”
“So what? Selama aku
bisa bertanggung jawab penuh menafkahi keluarga, nggak masalah berapapun gaji
Sasi. Toh, aku nggak pake uang dia,” kata Baruna.
“Eh, udah dulu, ya!
Aku mesti pulang cepet. Ada janji sama Sasi,” kata Baruna bergegas meninggalkan
ruangan. Padahal, aku masih punya banyak pertanyaan untuknya.
*bersambung
usia siap menikah itu usia berapa ya? :)
BalasHapustergantung orangnya lah siapnya usia berapa :D
HapusKalau udah siap lahir batin, ndang rabi oooo. Jangan terpacu umuuur. Hihihihi
BalasHapusEalah, iki menyemangati si Pukat ya?
Hapuswow wow langsung makan 3 episod sekaligus.... Pukat ini lama-lama PHP juga, bilang kangen2 ma Pawana eh pas diajak nikah malah jiper jadi pengen lempar HP rusak sama si Pukat
BalasHapushahaha... Pakai carger hp aja Mbak.
Hapushaha, iya juga ya. Baru nyadar kalo si Pukat tukang PHP.
HapusXD
@ WidaAya & enhas note: akhirnya image PHP melekat juga sama si Pukat *berhasil!
Hapus@ Anak Rantau: eman2 charger nya
wukir itu kamu?
BalasHapusbukaaaan
Hapuskedewasaan, memang nggak selalu berbanding lurus dg umur...
BalasHapus