Selasa, 05 November 2013

Menjaring Angin (13)

Wukir pun teringat ketika Sasi memberikan undangan pernikahan padanya dua minggu yang lalu. Sore itu, setelah jam kerja berakhir, ia bergegas ke kantor provinsi mengantarkan laptop Matari yang diperbaikinya. Ketika ia sedang mengobrol dengan Matari dan Pawana, Sasi pun datang membawa beberapa undangan.

“Akhirnya Sasi nyebar undangan juga. Mas Wukir kapan, nih?” goda Matari.

“Ntar siang aku sebar undangan,” jawab Wukir sungguh-sungguh – atau setidaknya kelihatan sungguh-sungguh.

“Serius?”

“Serius. Ntar siang aku sebar undangan. Undangannya Sasi,” kata Wukir yang langsung tergelak. Tapi ia tidak bisa lama tertawa karena Pawana langsung memukul lengannya dengan buku. Keras sekali. Ia baru saja membuka mulut hendak protes atas kesadisan Pawana ketika Matari tiba-tiba bertanya.

“Baruna? Ini bukan Baruna anak Analisis itu, kan?”

Sasi hanya tersenyum.

“Jadi Baruna yang itu? Serius? Nggak salah? Dia, kan, jauh lebih muda dari kita,” tanya Matari bertubi-tubi.

“Terus kenapa kalau lebih muda?” Sasi balik bertanya.

“Cowok seumuran dia pasti masih kekanak-kanakkan, belum dewasa!”

“Kedewasaan nggak selalu bisa dinilai dengan usia, kan? Ada orang yang bisa bersikap dewasa tanpa menunggu jadi tua. Baruna salah satunya. Asal kamu tahu aja, dia jauh lebih dewasa dari kamu,” Sasi yang biasanya tenang menghadapi Matari kini terlihat jengah.

“Eh, desainnya bagus. Siapa yang buat?” Wukir mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Nana yang buat. Minggu lalu aku minta dia buat desain, besoknya langsung dia kasih. Dan cocok. Aku sama Baruna suka gambar laut sama bulan purnamanya,” terang Sasi.

“Kok, cepet banget jadinya?” tanya Matari.

“Nggak tahu, tuh, Baruna. Kayanya kenal yang punya percetakan, jadi cepet,” jawab Sasi.

“Kamu udah desain undangan Sasi sama Baruna. Kapan kamu desain udangan nikahan kamu sama Pukat?” sindir Wukir.

***

Aaargh! Bodoh sekali. Kenapa aku harus menanyakan hal seperti itu? Kenapa aku menanyakan undangan pernikahannya dengan Pukat? Kalau dia mengajak Pukat menikah pada hari pengumuman beasiswa, berarti itu seminggu sebelum Sasi membagikan undangan. Dan itu berarti ... Sasi memintanya membuatkan undangan pernikahan tepat di hari dia ditolak? Ah, kalau saja Sasi tahu yang terjadi, dia takkan sampai hati melakukannya.

***

Aku sungguh tak bisa konsentrasi. Aku sama sekali belum membuat analisis yang harus kuserahkan pada atasanku lusa. Padahal niatku hari ini membuat analisis regresi linear berganda dari data-data yang diberikan Pawana. Ah, Pawana lagi. Seharian ini aku terus memikirkan yang dikatakannya minggu lalu. Dia mengajakku menikah! Yang benar saja! Umurku masih 23. Aku masih ingin menikmati kebebasan, masih ingin menikmati hidup. Aku masih ingin mengejar karir. Apa jadinya kalau aku menikah?

“Hey, bengong aja!” sapaan Baruna membuyarkan lamunanku.

“Dateng, ya, Pukat!” katanya sambil menyodorkan undangan berwarna biru.

“Kamu mau nikah? Waw! Waw! WAW!”

“Kenapa?” tanya Baruna.

“Nggak. Cuma kaget aja. Kamu, kan, masih muda. Yakin mau nikah? Ntar nggak bebas lagi. Nggak bisa menikmati hidup,” kataku.

“Dua empat masih muda, ya?” Baruna terkekeh.

“Emang kalau udah nikah nggak bebas lagi? Terus, kalau nggak nikah, bisa bebas? Bebas gimana maksudnya? Biarpun single juga tetap banyak batasan yang bikin kita nggak bebas, kan? Dan kalau diibaratkan perahu, mungkin selama ini kita bebas berlayar ke mana kita mau. Tapi, apa nggak bosan? Apa nggak pengen berlabuh dan menetap di satu tempat?” terang Baruna, puitis. Sebentar. Baruna puitis? What’s wrong with him?

“Dan tentang menikmati hidup, memangnya setelah nikah kita nggak bisa menikmati hidup? Apa menikmati hidup itu harus sendirian? Kalau bisa menikmati hidup dengan pasangan yang kita sayang, kenapa mesti sendiri?”

Sial! Kenapa semua perkataan Baruna terdengar masuk akal?

“Nikah bukan soal usia. Nikah itu soal kesiapan. Yang udah usia tiga puluh belum tentu udah siap nikah. Yang masih dua puluh tahun bisa jadi justru udah siap nikah,” kata Baruna lagi.

“Menurutmu, aku udah siap nikah belum?” tanyaku.

“Belum,” jawab Baruna dengan wajah menyebalkan.

“Hey, dari tadi kamu nanya mulu sampai lupa baca undangannya.”

Ah, iya. Aku pun membaca nama mempelai yang tertulis. Sasi Prameswari.

“Mbak Sasi?”

Baruna mengangguk.

“Nggak ketuaan? Nanti nggak nyambung kalau ngobrol.”

“Belum tua, ah. Baru dua tujuh. Kami cuma beda tiga tahun. Selama ini, sih, lumayan nyambung. Kalau sering komunikasi, yang tadinya kalau ngobrol nggak nyambung lama-lama jadi nyambung, lah,” lagi-lagi jawaban Baruna masuk akal.

“Tapi, posisi dia di kantor lebih tinggi dari kamu. Dia udah kepala seksi. Gajinya juga lebih gede.”

“So what? Selama aku bisa bertanggung jawab penuh menafkahi keluarga, nggak masalah berapapun gaji Sasi. Toh, aku nggak pake uang dia,” kata Baruna.

“Eh, udah dulu, ya! Aku mesti pulang cepet. Ada janji sama Sasi,” kata Baruna bergegas meninggalkan ruangan. Padahal, aku masih punya banyak pertanyaan untuknya.

*bersambung

11 komentar:

  1. usia siap menikah itu usia berapa ya? :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. tergantung orangnya lah siapnya usia berapa :D

      Hapus
  2. Kalau udah siap lahir batin, ndang rabi oooo. Jangan terpacu umuuur. Hihihihi

    BalasHapus
  3. wow wow langsung makan 3 episod sekaligus.... Pukat ini lama-lama PHP juga, bilang kangen2 ma Pawana eh pas diajak nikah malah jiper jadi pengen lempar HP rusak sama si Pukat

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha... Pakai carger hp aja Mbak.

      Hapus
    2. haha, iya juga ya. Baru nyadar kalo si Pukat tukang PHP.
      XD

      Hapus
    3. @ WidaAya & enhas note: akhirnya image PHP melekat juga sama si Pukat *berhasil!
      @ Anak Rantau: eman2 charger nya

      Hapus
  4. kedewasaan, memang nggak selalu berbanding lurus dg umur...

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!