Kamis, 11 Oktober 2012

9 Summers 10 Autumns (Dari Kota Apel ke The Big Apple)

Iwan melihat anak kecil itu pertama kalinya ketika dia sedang ditodong di dekat Stasiun Fleetwood, New York. Anak kecil dengan celana pendek merah dan baju putih berkerah itu melambaikan tangan lalu menghilang. Dua hari kemudian Iwan bertemu dengannya lagi. Ia pun merasa tidak asing dengan anak itu. Perbincangannya dengan anak itu membuat Iwan teringat masa kecilnya, teringat orang tuanya, teringat rumah mungil berukuran 6 x 7 meter di Batu tempat ia dan keempat saudaranya dibesarkan. Ia teringat masa kecilnya, masa di mana dia dan saudaranya tak punya mainan hingga mereka hanya bisa “bermain” dengan buku pelajaran.

Anak kecil itu pun mulai sering ‘mengunjungi’ Iwan ketika dia sedang sendirian di apartemennya. Lalu, seperti biasa, mereka pun berbincang-bincang. Ah, mungkin tepatnya anak kecil itu mendengarkan Iwan bercerita. Melihat apartemen luasnya, Iwan pun membandingkannya dengan tempat tinggalnya dulu, rumah kecil di kaki Gunung Panderman di mana dia bahkan tak punya kamar sendiri, rumah yang kecil tapi tetap selalu ia cintai.

Dan ketika mereka sedang berjalan menyusuri Brooklyn Bridge, anak kecil itu berkata, “Aku kangen Bapak.” Iwan pun teringat bapaknya, seorang lelaki yang tidak lulus SMP yang bahkan tak bisa mengingat tanggal lahirnya sendiri. Ia teringat bapaknya yang harus bekerja keras sebagai sopir angkot demi menghidupi keluarga mereka.

Pada pertemuan selanjutnya, anak itu bertanya, “Apa kabar rumah di Batu. How’s your mom?” Sebuah pertanyaan yang mengingatkan Iwan pada ibunya, pahlawan hidupnya. Ibuku, hatinya putih, ia adalah puisi hidupku. Begitu indah. Ia adalah tetesan setiap air mataku. Begitulah yang dirasakan Iwan tentang ibunya.

Perbincangan demi perbincangan terus mengalir di antara Iwan dan anak kecil itu. Iwan pun bercerita lebih banyak lagi. Ia bercerita tentang saudara-saudaranya: Mbak Isa, Mbak Inan, Rini, dan Mira. Ya, semuanya perempuan. Ia juga bercerita tentang masa sekolahnya, mulai dari masa SMP, SMA, hingga masa kuliah di IPB Jurusan Statistika. Ia bercerita pula tentang masa ketika dia bekerja di Data Processing dan MIS (aku menduga ini adalah singkatan dari Management Information System) hingga kemudian ditawari bekerja di New York.

Begitulah sekilas cerita dalam novel 9 Summers 10 Autumns karya Iwan Setiawan. Cerita tentang pemuda dari Kota Batu (Kota Apel) yang bisa bekerja di New York (The Big Apple). Aku agak ragu menginterpretasikan keberadaan tokoh “anak kecil” dalam cerita ini. Aku menduga anak kecil –yang menurut dugaanku adalah tokoh imajiner – itu adalah Iwan “kecil”. Tapi, kenapa ia muncul ketika Iwan sedang berada di New York? Apakah saat di New York Iwan mulai merindukan masa kecilnya dan keluarganya?

Banyak yang mengatakan bahwa novel ini bagus. Yah, kalau melihat fakta bahwa novel terbitan Gramedia ini sudah dicetak ulang berkali-kali (yang kubeli adalah cetakan kedelapan, Februari 2012) dan banyaknya orang yang merekomendasikannya, novel ini memang bisa dibilang bagus. Ditambah kalimat-kalimat pujian dari para endorser (yang tertera di sampul belakang), membuat novel ini menjanjikan “nilai lebih”. Pilihan tokoh dan cara berceritanya pun unik. Tapi, sayang sekali aku tidak bisa merasakan apa yang disampaikan dalam novel setebal 252 halaman ini. Ketika orang-orang berkata bahwa mereka menangis ketika membaca novel ini, aku justru tidak merasakan apa-apa. Biasa saja. Apa aku tidak normal? Umm, mungkin ini hanya masalah selera. Aku hanya kurang cocok dengan gaya bahasa Iwan. Mungkin akan menyukai film adaptasi dari novel ini yang katanya dibintangi Ihsan Tarore.

36 komentar:

  1. aku juga tak suka ada tokoh anak kecil berbaju putih merah ini
    ini mau cerita nyata atau ngayal ..., sampai bab 3 aku langsung taruh aja tuh

    banyak ya buku yg akhirnya nggak kutamatkan... he..he..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau saya sih sampai tamat, Kak. Tapi, lama tamatnya. Biasanya, satu buku bisa habis dalam sehari atau dua hari, tapi buku ini sampai beberapa hari.

      Hapus
  2. yang nulis luar biasa banget nih.... hanya mungkin saja kemampuan menulis fiksinya saja yang kurang kali ya.... wong orang statistik katanya... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin kemampuan penulisnya dalam menulis fiksi sudah bagus, hanya saja tidak sesuai selera saya. Itu saja, sih.

      Hapus
    2. jadi malu nih udah lama engga baca buku :(

      Hapus
    3. Saya juga jarang kok baca buku :D

      Hapus
  3. Sewaktu saya membaca tulisan diatas, saya juga sudah menebak kalau anak kecil itu adalah teman imajiner Iwan...

    Kok jadi tertarik dengan buku ini ya? Sebentar saya cari di toko buku online deh. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, ternyata pikiran kita (sepertinya) sama.

      Silakan cari, kayaknya masih banyak stok nya :)

      Hapus
  4. sepertinya buku ini menarik :)
    tadi mampir ke blog saya ya? bisa kok di comment kalau pake pc/laptop, kalau di ponsel emang gak bisa soalnya pake disqus bukan kolom komen bawaan blogspot. kalau gak bisa di refresh aja coba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya bukanya pake laptop, lho. Tapi, tetep gak ada kolom komentar..

      Hapus
  5. Buku yang masuk wish list saya sejak lama, tapi belum juga kebeli, hihihii..

    BalasHapus
  6. waaah aku malah belum baca...

    BalasHapus
    Balasan
    1. jalan-jalan mulu sih ya, jadi yang dibaca daftar tujuan travelling :p

      Hapus
  7. Kayaknya bukunya keren ya ... :)

    BalasHapus
  8. Teman imajiner? Skizo-frend? *dilempar tronton*

    BalasHapus
  9. lama dong bacanya ya mbak sampai 9 autumn :)

    BalasHapus
  10. Iya aku juga belum baca nih.

    Aku yakin alur ceritanya pasti bagus, tapi jika membaca tulisan diatas, sepertinya sih tidak akan cocok dengan seleraku yang cenderung konyol ini, sudah pernah baca kan gaya tulisan di blog ku? nah begitulah aku hehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. yah, gapapa lah sekali-kali baca yang gak sesuai selera :D

      Hapus
  11. wah untung baca tulisan ini. buku ini sering menggoda kalo pas aku ke gramedia. seringnya sih penasaran karena best seller ya? kirain ceritanya tentang apa. dan sepertinya bukan selera saya juga hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, saya nggak menghasut biar orang2 nggak beli buku ini lho yaaaaaa :p

      Hapus
  12. eh iya kenapa saya kesulitan menggulung layar dari samping ya pas baca blognya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo pake Chrome emang susah scroll di blog ini.

      Hapus
  13. Andrea Hirata, Ahmad Fuadi, Iwan Setiawan, makin banyak orang yang novelin kisah hidupnya... Jadi bikin dunia pernovelan Indonesia beragam, apalagi selama ini lebih banyak dipenuhi oleh novel-novel cinta.... :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ho'oh. Novel yang banyak selama ini isinya cinta-cintaan mulu, padahal aku gak suka T_____T

      Jadi, kapan Nuel bikin novel tentang pengalaman hidup Nuel?

      Hapus
  14. wah .. jadi pengen baca nih :)

    BalasHapus
  15. wah kok kebetulan banget, tadi disentil sama mas Iwan di whatsapp, hehe...belum baca buku ini sih.
    Dan bener memang banyak yg rekomen buku ini, tapi beli buku berbahasa Indonesia tuh rada-rada susah (kecuali yang buku2 islami), dan harganya WOWW....

    boleh dilempar ke sini ga bukunya...hehehe...**ngarep.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Walah, Mbak Rie jaringannya luas banget, sampe bisa whatsapp-an sama Iwan.

      Minta dikirimin sama Iwan aja, Mbak :p

      Hapus
  16. Hemm aku belum membaca novel yang ini. Jadi belum bisa komentar apa-apa.

    BalasHapus
  17. Aku belum baca nih...
    Lebih tertarik buku dia yang Ibuk...
    Tapi ngko ah, nggolek silihan wae, wkwkwk *ra modal*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku sebenernya rada tertarik juga sama Ibuk. Tapi, setelah baca yang 9S10A jadi ragu mau beli. Takut kecewa lagi. Mending nyilih wae sik, nek apik yo tuku :D

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!