Iwan melihat anak kecil itu pertama
kalinya ketika dia sedang ditodong di dekat Stasiun Fleetwood, New York. Anak
kecil dengan celana pendek merah dan baju putih berkerah itu melambaikan tangan
lalu menghilang. Dua hari kemudian Iwan bertemu dengannya lagi. Ia pun merasa
tidak asing dengan anak itu. Perbincangannya dengan anak itu membuat Iwan
teringat masa kecilnya, teringat orang tuanya, teringat rumah mungil berukuran
6 x 7 meter di Batu tempat ia dan keempat saudaranya dibesarkan. Ia teringat
masa kecilnya, masa di mana dia dan saudaranya tak punya mainan hingga mereka
hanya bisa “bermain” dengan buku pelajaran.
Anak kecil itu pun mulai sering ‘mengunjungi’
Iwan ketika dia sedang sendirian di apartemennya. Lalu, seperti biasa, mereka
pun berbincang-bincang. Ah, mungkin tepatnya anak kecil itu mendengarkan Iwan
bercerita. Melihat apartemen luasnya, Iwan pun membandingkannya dengan tempat
tinggalnya dulu, rumah kecil di kaki Gunung Panderman di mana dia bahkan tak punya
kamar sendiri, rumah yang kecil tapi tetap selalu ia cintai.
Dan ketika mereka sedang berjalan
menyusuri Brooklyn Bridge, anak kecil itu berkata, “Aku kangen Bapak.” Iwan pun
teringat bapaknya, seorang lelaki yang tidak lulus SMP yang bahkan tak bisa
mengingat tanggal lahirnya sendiri. Ia teringat bapaknya yang harus bekerja
keras sebagai sopir angkot demi menghidupi keluarga mereka.
Pada pertemuan selanjutnya, anak itu
bertanya, “Apa kabar rumah di Batu. How’s your mom?” Sebuah pertanyaan yang
mengingatkan Iwan pada ibunya, pahlawan hidupnya. Ibuku,
hatinya putih, ia adalah puisi hidupku. Begitu indah. Ia adalah tetesan setiap
air mataku. Begitulah yang dirasakan Iwan tentang ibunya.
Perbincangan demi perbincangan terus
mengalir di antara Iwan dan anak kecil itu. Iwan pun bercerita lebih banyak
lagi. Ia bercerita tentang saudara-saudaranya: Mbak Isa, Mbak Inan, Rini, dan
Mira. Ya, semuanya perempuan. Ia juga bercerita tentang masa sekolahnya, mulai
dari masa SMP, SMA, hingga masa kuliah di IPB Jurusan Statistika. Ia bercerita
pula tentang masa ketika dia bekerja di Data Processing dan MIS (aku menduga
ini adalah singkatan dari Management Information System) hingga kemudian
ditawari bekerja di New York.
Begitulah sekilas cerita dalam novel 9
Summers 10 Autumns karya Iwan Setiawan. Cerita tentang pemuda dari Kota Batu (Kota Apel) yang bisa bekerja di New York (The Big Apple). Aku agak ragu menginterpretasikan
keberadaan tokoh “anak kecil” dalam cerita ini. Aku menduga anak kecil –yang menurut
dugaanku adalah tokoh imajiner – itu adalah Iwan “kecil”. Tapi, kenapa ia
muncul ketika Iwan sedang berada di New York? Apakah saat di New York Iwan
mulai merindukan masa kecilnya dan keluarganya?
Banyak yang mengatakan bahwa novel ini
bagus. Yah, kalau melihat fakta bahwa novel terbitan Gramedia ini sudah dicetak
ulang berkali-kali (yang kubeli adalah cetakan kedelapan, Februari 2012) dan
banyaknya orang yang merekomendasikannya, novel ini memang bisa dibilang bagus.
Ditambah kalimat-kalimat pujian dari para endorser (yang tertera di sampul
belakang), membuat novel ini menjanjikan “nilai lebih”. Pilihan tokoh dan cara
berceritanya pun unik. Tapi, sayang sekali aku tidak bisa merasakan apa yang
disampaikan dalam novel setebal 252 halaman ini. Ketika orang-orang berkata
bahwa mereka menangis ketika membaca novel ini, aku justru tidak merasakan
apa-apa. Biasa saja. Apa aku tidak normal? Umm, mungkin ini hanya masalah
selera. Aku hanya kurang cocok dengan gaya bahasa Iwan. Mungkin akan menyukai
film adaptasi dari novel ini yang katanya dibintangi Ihsan Tarore.
aku juga tak suka ada tokoh anak kecil berbaju putih merah ini
BalasHapusini mau cerita nyata atau ngayal ..., sampai bab 3 aku langsung taruh aja tuh
banyak ya buku yg akhirnya nggak kutamatkan... he..he..
Kalau saya sih sampai tamat, Kak. Tapi, lama tamatnya. Biasanya, satu buku bisa habis dalam sehari atau dua hari, tapi buku ini sampai beberapa hari.
Hapusyang nulis luar biasa banget nih.... hanya mungkin saja kemampuan menulis fiksinya saja yang kurang kali ya.... wong orang statistik katanya... :)
BalasHapusMungkin kemampuan penulisnya dalam menulis fiksi sudah bagus, hanya saja tidak sesuai selera saya. Itu saja, sih.
Hapusjadi malu nih udah lama engga baca buku :(
HapusSaya juga jarang kok baca buku :D
HapusSewaktu saya membaca tulisan diatas, saya juga sudah menebak kalau anak kecil itu adalah teman imajiner Iwan...
BalasHapusKok jadi tertarik dengan buku ini ya? Sebentar saya cari di toko buku online deh. :)
Hehehe, ternyata pikiran kita (sepertinya) sama.
HapusSilakan cari, kayaknya masih banyak stok nya :)
sepertinya buku ini menarik :)
BalasHapustadi mampir ke blog saya ya? bisa kok di comment kalau pake pc/laptop, kalau di ponsel emang gak bisa soalnya pake disqus bukan kolom komen bawaan blogspot. kalau gak bisa di refresh aja coba.
Saya bukanya pake laptop, lho. Tapi, tetep gak ada kolom komentar..
HapusBuku yang masuk wish list saya sejak lama, tapi belum juga kebeli, hihihii..
BalasHapusKayaknya wishlist nya banyak nih :p
Hapuswaaah aku malah belum baca...
BalasHapusjalan-jalan mulu sih ya, jadi yang dibaca daftar tujuan travelling :p
HapusKayaknya bukunya keren ya ... :)
BalasHapusMenurut saya sih gak terlalu keren :D
HapusTeman imajiner? Skizo-frend? *dilempar tronton*
BalasHapusngapain lempar tronton ke mb octa? berat.
Hapuslama dong bacanya ya mbak sampai 9 autumn :)
BalasHapusiya, 9 taonan gitu lah :D
HapusIya aku juga belum baca nih.
BalasHapusAku yakin alur ceritanya pasti bagus, tapi jika membaca tulisan diatas, sepertinya sih tidak akan cocok dengan seleraku yang cenderung konyol ini, sudah pernah baca kan gaya tulisan di blog ku? nah begitulah aku hehe...
yah, gapapa lah sekali-kali baca yang gak sesuai selera :D
Hapuswah untung baca tulisan ini. buku ini sering menggoda kalo pas aku ke gramedia. seringnya sih penasaran karena best seller ya? kirain ceritanya tentang apa. dan sepertinya bukan selera saya juga hehehe
BalasHapusWah, saya nggak menghasut biar orang2 nggak beli buku ini lho yaaaaaa :p
Hapuseh iya kenapa saya kesulitan menggulung layar dari samping ya pas baca blognya?
BalasHapuskalo pake Chrome emang susah scroll di blog ini.
HapusAndrea Hirata, Ahmad Fuadi, Iwan Setiawan, makin banyak orang yang novelin kisah hidupnya... Jadi bikin dunia pernovelan Indonesia beragam, apalagi selama ini lebih banyak dipenuhi oleh novel-novel cinta.... :D
BalasHapusHo'oh. Novel yang banyak selama ini isinya cinta-cintaan mulu, padahal aku gak suka T_____T
HapusJadi, kapan Nuel bikin novel tentang pengalaman hidup Nuel?
wah .. jadi pengen baca nih :)
BalasHapushehehe :)
Hapuswah kok kebetulan banget, tadi disentil sama mas Iwan di whatsapp, hehe...belum baca buku ini sih.
BalasHapusDan bener memang banyak yg rekomen buku ini, tapi beli buku berbahasa Indonesia tuh rada-rada susah (kecuali yang buku2 islami), dan harganya WOWW....
boleh dilempar ke sini ga bukunya...hehehe...**ngarep.
Walah, Mbak Rie jaringannya luas banget, sampe bisa whatsapp-an sama Iwan.
HapusMinta dikirimin sama Iwan aja, Mbak :p
Hemm aku belum membaca novel yang ini. Jadi belum bisa komentar apa-apa.
BalasHapusTrus itu namanya komentar bukan?
HapusAku belum baca nih...
BalasHapusLebih tertarik buku dia yang Ibuk...
Tapi ngko ah, nggolek silihan wae, wkwkwk *ra modal*
Aku sebenernya rada tertarik juga sama Ibuk. Tapi, setelah baca yang 9S10A jadi ragu mau beli. Takut kecewa lagi. Mending nyilih wae sik, nek apik yo tuku :D
Hapus