Dua minggu lagi Pawana harus
berangkat ke Jepang. Dan dia ingin menghabiskan dua minggu itu di kampung
halaman. Untuk itu dia ke Stasiun Gambir pagi ini untuk membeli tiket kereta
yang berangkat ke Tegal nanti malam. Dia ditemani Wukir. Sebenarnya bukan
menemani, sih. Wukir juga hendak membeli tiket kereta ke Semarang. Sama seperti
Pawana, dia juga ingin pulang kampung dulu sebelum berangkat ke Jepang. Mereka
beruntung karena hari itu hari Rabu, hari kerja. Jadi mereka tak sampai
kehabisan tiket. Kalau mereka membeli tiket kereta untuk akhir pekan atau hari
libur, mereka harus pesan beberapa hari sebelumnya. Setelah mendapatkan tiket,
mereka memutuskan untuk jalan-jalan ke Monas.
“Ada apa?” tanya Wukir.
“Apanya yang ‘ada apa’?” Pawana
balik bertanya.
“Beberapa hari belakangan kamu nggak
semangat gitu.”
“Nggak apa-apa.”
Wukir hanya melirik sedikit dan
menghela napas.
“Kamu dapat beasiswa, yang kamu
tunggu-tunggu selama empat tahun, tapi muka kamu kaya orang yang mau dikirim ke
Nusakambangan. Dan kamu bilang kamu nggak apa-apa?”
“Oke. Aku cerita. Tapi, jangan
bilang ke Sasi, Tari, atau siapapun!”
“Deal. Jadi, ada apa?”
Wukir yang melihat ada tempat duduk
kosong pun bergegas duduk. Ini akan jadi obrolan panjang yang makan waktu.
Lebih nyaman sambil duduk. Begitu pikirnya. Pawana pun ikut duduk di samping
Wukir.
"Aku ditolak Pukat,” kata
Pawana pelan. Namun, masih terdengar oleh Wukir.
“Kamu nembak dia?”
“Lebih tepatnya ngajak nikah.”
“ARE YOU INSANE???”
“Salah, ya?” Pawana mendadak murung.
Melihatnya, Wukir menyadari reaksinya yang berlebihan.
“Hmm, nggak salah, sih. Toh, kamu
ngajak dia nikah, bukan ngajak dia berbuat yang aneh-aneh. Tapi—“
“Tapi apa?”
“Tapi itu nggak kamu banget, Na.
Selama ini kamu selalu bilang kamu belum punya alasan untuk nikah dan sekarang
tiba-tiba kamu ngajak seseorang nikah. Dan satu lagi. Ngajak nikah duluan? Aku
nggak nyangka kamu bisa menyingkirkan harga diri kamu demi nikah sama orang
yang kamu suka. Kaya bukan kamu, Na,” Wukir menatap Pawana heran.
“Aku sendiri nggak tahu kenapa aku
tiba-tiba ngajak dia nikah. Waktu Matari bilang kalau aku ke Jepang bisa jadi
nanti Pukat nikah sama orang lain, entah kenapa aku takut. Aku nggak mau dia
nikah sama orang lain. Aku nggak mau ditinggal nikah lagi. Makanya aku ngajak
dia nikah. Impulsif, ya?” kata Pawana lirih.
Wukir hanya terdiam. Tak menyangka
dia akan melihat Pawana patah hati. Lagi. Ia teringat kejadian tiga tahun lalu.
Waktu itu ia masih bertugas di kantor provinsi. Ia satu ruangan dengan Pawana
dan Gagas. Tak butuh waktu lama bagi Gagas untuk mendekati Pawana. Mereka
benar-benar akrab. Bahkan, Wukir mengira mereka pacaran. Hingga kemudian
tiba-tiba Gagas menikah, bukan dengan Pawana sayangnya. Saat itulah Wukir
melihat Pawana benar-benar patah hati. Pawana jadi pendiam, murung, dan selera
makannya menurun drastis. Wukir tahu itu karena dia sering menemani Pawana
makan siang dan sejak ditinggal menikah Pawana tak pernah bisa menghabiskan
makan siangnya. Ia selalu mengeluh mual, kenyang, atau tak ada selera. Perlu
waktu setahun untuk mengembalikan Pawana seperti semula. Indikator yang
menunjukkan dia sudah kembali seperti semula sebelum patah hati adalah: dia
sudah bisa mengomel dan sudah bisa menghabiskan seporsi makanan, bahkan merasa
kurang.
Wukir tahu Pawana menyukai Pukat,
tapi ia tak menyangka rasa suka Pawana sebesar itu. Dan hatinya yakin Pukat tak
main-main dengan Pawana. Selama ini ia jarang sekali salah menilai sikap orang,
kecuali sewaktu menilai sikap Gagas ke Pawana. Apa mungkin dia juga salah sikap
Pukat ke Pawana? Tapi, entah mengapa Wukir yakin kalau Pukat jauh berbeda
dengan Gagas.
“Terus Pukat jawab apa?” tanya Wukir
setelah berpikir beberapa saat.
“Dia bilang ‘Kita teman, kan?’ Itu
berarti aku ditolak, kan?” tanya Pawana.
“Kalau orang lain yang bilang itu,
aku yakin itu penolakan. Tapi, kalau Pukat yang bilang, aku nggak yakin. Bisa
jadi dia masih ragu. Bisa jadi dia belum sadar perasaannya sendiri ke kamu.
Mungkin dia butuh waktu,” jawab Wukir.
Pawana tersenyum kecut mendengar
jawaban Wukir.
“Nggak usah menghibur, Mas. Nanti
aku malah susah move on. Udah, bahas yang lain aja. Aku sama Tari mau patungan
beli kado buat nikahannya Sasi. Mau ikut patungan? Lumayan. Biar kadonya bisa
lebih mahal, hehehe!”
Mau tak mau Wukir tertawa. Ternyata
Pawana masih bisa tertawa. Berarti patah hatinya tak separah waktu dulu.
Syukurlah, gumam Wukir lega.
wah wukirnya bisa dipercaya nggak tuh, agar nggak bilang sama teman-temannya. Ah jadi penasaran dengan apa yang ada dalam pikiran pukat sebenernya.
BalasHapusLangsung di publish aja kak menjaring angin selanjutnya.
ayo move on :) maaf kemarin2 gak bisa komen, gak kebuka kotak komennya
BalasHapusIya sama tadi juga error ya , Napa ya
Hapuskan udah pengalaman patah hati. Jadi masih bisa ngabisi nasi + jengkol sepiring tuh Ndah :D
BalasHapusnext chapter... next chapter...
BalasHapuslalalala
#komen nggak penting banget
XD