Senin, 21 Oktober 2013

Menjaring Angin (12)

Dua minggu lagi Pawana harus berangkat ke Jepang. Dan dia ingin menghabiskan dua minggu itu di kampung halaman. Untuk itu dia ke Stasiun Gambir pagi ini untuk membeli tiket kereta yang berangkat ke Tegal nanti malam. Dia ditemani Wukir. Sebenarnya bukan menemani, sih. Wukir juga hendak membeli tiket kereta ke Semarang. Sama seperti Pawana, dia juga ingin pulang kampung dulu sebelum berangkat ke Jepang. Mereka beruntung karena hari itu hari Rabu, hari kerja. Jadi mereka tak sampai kehabisan tiket. Kalau mereka membeli tiket kereta untuk akhir pekan atau hari libur, mereka harus pesan beberapa hari sebelumnya. Setelah mendapatkan tiket, mereka memutuskan untuk jalan-jalan ke Monas.
 
“Ada apa?” tanya Wukir.

“Apanya yang ‘ada apa’?” Pawana balik bertanya.

“Beberapa hari belakangan kamu nggak semangat gitu.”

“Nggak apa-apa.”

Wukir hanya melirik sedikit dan menghela napas.

“Kamu dapat beasiswa, yang kamu tunggu-tunggu selama empat tahun, tapi muka kamu kaya orang yang mau dikirim ke Nusakambangan. Dan kamu bilang kamu nggak apa-apa?”

“Oke. Aku cerita. Tapi, jangan bilang ke Sasi, Tari, atau siapapun!”

“Deal. Jadi, ada apa?”

Wukir yang melihat ada tempat duduk kosong pun bergegas duduk. Ini akan jadi obrolan panjang yang makan waktu. Lebih nyaman sambil duduk. Begitu pikirnya. Pawana pun ikut duduk di samping Wukir.

"Aku ditolak Pukat,” kata Pawana pelan. Namun, masih terdengar oleh Wukir.

“Kamu nembak dia?”

“Lebih tepatnya ngajak nikah.”

“ARE YOU INSANE???”

“Salah, ya?” Pawana mendadak murung. Melihatnya, Wukir menyadari reaksinya yang berlebihan.

“Hmm, nggak salah, sih. Toh, kamu ngajak dia nikah, bukan ngajak dia berbuat yang aneh-aneh. Tapi—“

“Tapi apa?”

“Tapi itu nggak kamu banget, Na. Selama ini kamu selalu bilang kamu belum punya alasan untuk nikah dan sekarang tiba-tiba kamu ngajak seseorang nikah. Dan satu lagi. Ngajak nikah duluan? Aku nggak nyangka kamu bisa menyingkirkan harga diri kamu demi nikah sama orang yang kamu suka. Kaya bukan kamu, Na,” Wukir menatap Pawana heran.

“Aku sendiri nggak tahu kenapa aku tiba-tiba ngajak dia nikah. Waktu Matari bilang kalau aku ke Jepang bisa jadi nanti Pukat nikah sama orang lain, entah kenapa aku takut. Aku nggak mau dia nikah sama orang lain. Aku nggak mau ditinggal nikah lagi. Makanya aku ngajak dia nikah. Impulsif, ya?” kata Pawana lirih.

Wukir hanya terdiam. Tak menyangka dia akan melihat Pawana patah hati. Lagi. Ia teringat kejadian tiga tahun lalu. Waktu itu ia masih bertugas di kantor provinsi. Ia satu ruangan dengan Pawana dan Gagas. Tak butuh waktu lama bagi Gagas untuk mendekati Pawana. Mereka benar-benar akrab. Bahkan, Wukir mengira mereka pacaran. Hingga kemudian tiba-tiba Gagas menikah, bukan dengan Pawana sayangnya. Saat itulah Wukir melihat Pawana benar-benar patah hati. Pawana jadi pendiam, murung, dan selera makannya menurun drastis. Wukir tahu itu karena dia sering menemani Pawana makan siang dan sejak ditinggal menikah Pawana tak pernah bisa menghabiskan makan siangnya. Ia selalu mengeluh mual, kenyang, atau tak ada selera. Perlu waktu setahun untuk mengembalikan Pawana seperti semula. Indikator yang menunjukkan dia sudah kembali seperti semula sebelum patah hati adalah: dia sudah bisa mengomel dan sudah bisa menghabiskan seporsi makanan, bahkan merasa kurang.

Wukir tahu Pawana menyukai Pukat, tapi ia tak menyangka rasa suka Pawana sebesar itu. Dan hatinya yakin Pukat tak main-main dengan Pawana. Selama ini ia jarang sekali salah menilai sikap orang, kecuali sewaktu menilai sikap Gagas ke Pawana. Apa mungkin dia juga salah sikap Pukat ke Pawana? Tapi, entah mengapa Wukir yakin kalau Pukat jauh berbeda dengan Gagas.

“Terus Pukat jawab apa?” tanya Wukir setelah berpikir beberapa saat.

“Dia bilang ‘Kita teman, kan?’ Itu berarti aku ditolak, kan?” tanya Pawana.

“Kalau orang lain yang bilang itu, aku yakin itu penolakan. Tapi, kalau Pukat yang bilang, aku nggak yakin. Bisa jadi dia masih ragu. Bisa jadi dia belum sadar perasaannya sendiri ke kamu. Mungkin dia butuh waktu,” jawab Wukir.

Pawana tersenyum kecut mendengar jawaban Wukir.

“Nggak usah menghibur, Mas. Nanti aku malah susah move on. Udah, bahas yang lain aja. Aku sama Tari mau patungan beli kado buat nikahannya Sasi. Mau ikut patungan? Lumayan. Biar kadonya bisa lebih mahal, hehehe!”

Mau tak mau Wukir tertawa. Ternyata Pawana masih bisa tertawa. Berarti patah hatinya tak separah waktu dulu. Syukurlah, gumam Wukir lega.

5 komentar:

  1. wah wukirnya bisa dipercaya nggak tuh, agar nggak bilang sama teman-temannya. Ah jadi penasaran dengan apa yang ada dalam pikiran pukat sebenernya.

    Langsung di publish aja kak menjaring angin selanjutnya.

    BalasHapus
  2. ayo move on :) maaf kemarin2 gak bisa komen, gak kebuka kotak komennya

    BalasHapus
  3. kan udah pengalaman patah hati. Jadi masih bisa ngabisi nasi + jengkol sepiring tuh Ndah :D

    BalasHapus
  4. next chapter... next chapter...
    lalalala

    #komen nggak penting banget
    XD

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!