“Nana!” sapa Pukat yang tiba-tiba
saja sudah berada di samping meja Pawana. Entah Pukat yang seperti hantu,
kedatangannya tidak terdeteksi panca indera manusia, atau Pawana yang terlalu
fokus sehingga tidak menyadari kehadiran Pukat.
“Aku disuruh minta tabel-tabel ini
ke Bagian Pengolahan,” kata Pukat sambil menyodorkan selembar kertas berisi
daftar variabel dan format tabel.
“Kenapa nggak minta lewat email aja?
Daripada kamu capek-capek jalan ke sini,” kata Pawana.
Pukat hanya tersenyum. “Ruangan
kita, kan, nggak sejauh Jakarta – Tegal, Na. Jalan kaki lima menit juga sampai.
Lagian sekalian biar bisa ketemu kamu. Dua minggu kemarin aku ikut pelatihan,
jadi nggak bisa ketemu kamu. Kangen,” goda Pukat.
“Apaan, sih, bilang kangen segala!”
kata Pawana ketus, menutupi salah tingkahnya.
“Nanti malam ke toko buku, yuk! Kata
temanku kemarin ada banyak manga baru,” kata Pukat, tak memedulikan sikap ketus
Pawana.
Belum sempat Pawana menjawab ajakan
Pukat, smartphone-nya berbunyi.
Dengan kekuatan bulaaan, akan
menghukummu!
Ada sms dari Mas Wukir.
Gimana persiapannya?
Persiapan apa?
Sebulan lagi, kan, kita tes seleksi
beasiswa. Aku udah minta Sunu buat bantuin kamu, biar beban kerja kamu gak
terlalu berat. Jadi malam kamu nggak perlu lembur, biar bisa belajar buat
persiapan tes.
Damn! Pawana mengeluh dalam hati.
Dia baru ingat kalau bulan depan seleksi beasiswa sudah dimulai. Dia belum
belajar. Untung berkas-berkas sudah disiapkan.
“Gimana? Jadi kita jalan nanti
malam?” pertanyaan Pukat mengejutkan Pawana.
“Eh? Sorry, nggak bisa—“
“Besok malam?” tanya Pukat lagi.
“Nggak bisa juga. Pokoknya satu
bulan ke depan aku bakalan sibuk,” Pawana merasa tak enak hati menolak ajakan
Pukat.
“Oh, gitu. Ya, udah,” kata Pukat
sambil berlalu.
“Pukat!”
Yang dipanggil menoleh, berharap
Pawana mengubah jawabannya tadi.
“Nanti tabelnya aku kirim lewat
email.”
Meleset. Ternyata tak sesuai harapan
Pukat.
***
Sudah sebulan aku tak mengobrol
dengan Pukat. Dia tak membalas sapaanku di chat. Dia juga tak pernah kelihatan
di kantin waktu jam makan siang. Kalau ada urusan dengan Bagian Analisis,
selalu Baruna atau orang lain yang menghubungiku, bukan Pukat. Apa dia marah
gara-gara aku tak mau menemaninya ke toko buku waktu itu? Masa begitu saja
marah? Dasar anak kecil!
Tapi, aku jadi rindu. Ah, sudahlah.
Lebih baik aku fokus belajar. Aku harus lulus seleksi.
***
“Selamat, Na!” Sasi memeluk Pawana
erat.
“Selamat. Akhirnya mimpi kamu buat
kuliah di Jepang kesampaian juga,” kata Matari.
“Tapi, ntar kamu jadi jauh dari
Pukat, dong?” kata Sasi setelah melepaskan pelukannya.
“Iya. Berarti ntar kalian LDR?
Sebentar. Sebenarnya hubungan kalian gimana, sih?” tanya Matari.
Pawana terdiam. Sebenarnya dia juga
tidak mengerti hubungannya dengan Pukat. Hubungan mereka masih tak terdefinisi.
“Kok, diam? Kalau kamu ke Jepang,
jangan-jangan nanti Pukat malah kepincut cewek lain. Tahu sendiri, lah. Pukat
itu ganteng, baik hati sama semua cew—“ kalimat Matari terhenti setelah Sasi
menyikut lengannya.
“Aku pergi sebentar,” kata Pawana
sambil bergegas pergi. Satu tujuannya: ke ruangan Pukat.
***
“Pukat!” panggil Pawana begitu tiba
di ruangan Pukat.
“Eh, Na! Tumben—“
“Aku perlu ngomong sama kamu. Kita
ke taman bentar!” kata Pawana lalu bergegas menuju taman kecil di samping
kantor. Pukat pun mengikutinya dan bertanya-tanya hal apakah yang membuat
Pawana sampai datang ke ruangannya.
“Kita nikah aja,” kata Pawana begitu
mereka tiba di taman.
Pukat menoleh. Tidak yakin dengan
apa yang barusan didengarnya.
“Kamu bilang apa tadi?”
“Kita nikah!” ulang Pawana.
“Ka—kamu—kamu serius? Kita, kan,
baru kenal beberapa bulan. Maksudnya, hubungan kita belum sejauh itu, kan?”
jawab Pukat gugup.
“Oh, gitu?”
“Na, kita teman, kan?”
“Teman. Hmm, teman. Jadi, kita CUMA
teman, ya?” gumam Pawana.
“Bukan. Maksudku—“
Pukat tak sempat menyelesaikan
perkataannya. Pawana sudah terlanjur pergi.
ceritanya tak terduga, amazing sekali kak. Mau langsung meluncur menjaring angin selanjutnya nih.
BalasHapushehe
Hapuswwaaaaaaaaaagghh,,,
BalasHapusPawana keren...
ehm, kak Milo bakalan ngelakuin hal yg dilakuin Pawana nggak, kalo semisal jd dia?
:v
nggak lah. aku nggak berani kaya gitu. takut nyesel, siapa tahu ketemu yang lebih keren :D :D :D
Hapus