Minggu, 20 Oktober 2013

Menjaring Angin (11)


“Nana!” sapa Pukat yang tiba-tiba saja sudah berada di samping meja Pawana. Entah Pukat yang seperti hantu, kedatangannya tidak terdeteksi panca indera manusia, atau Pawana yang terlalu fokus sehingga tidak menyadari kehadiran Pukat.

“Aku disuruh minta tabel-tabel ini ke Bagian Pengolahan,” kata Pukat sambil menyodorkan selembar kertas berisi daftar variabel dan format tabel.

“Kenapa nggak minta lewat email aja? Daripada kamu capek-capek jalan ke sini,” kata Pawana.

Pukat hanya tersenyum. “Ruangan kita, kan, nggak sejauh Jakarta – Tegal, Na. Jalan kaki lima menit juga sampai. Lagian sekalian biar bisa ketemu kamu. Dua minggu kemarin aku ikut pelatihan, jadi nggak bisa ketemu kamu. Kangen,” goda Pukat.

“Apaan, sih, bilang kangen segala!” kata Pawana ketus, menutupi salah tingkahnya.

“Nanti malam ke toko buku, yuk! Kata temanku kemarin ada banyak manga baru,” kata Pukat, tak memedulikan sikap ketus Pawana.

Belum sempat Pawana menjawab ajakan Pukat,  smartphone-nya berbunyi.

Dengan kekuatan bulaaan, akan menghukummu!
 
Ada sms dari Mas Wukir.

Gimana persiapannya?

Persiapan apa?

Sebulan lagi, kan, kita tes seleksi beasiswa. Aku udah minta Sunu buat bantuin kamu, biar beban kerja kamu gak terlalu berat. Jadi malam kamu nggak perlu lembur, biar bisa belajar buat persiapan tes.

Damn! Pawana mengeluh dalam hati. Dia baru ingat kalau bulan depan seleksi beasiswa sudah dimulai. Dia belum belajar. Untung berkas-berkas sudah disiapkan.

“Gimana? Jadi kita jalan nanti malam?” pertanyaan Pukat mengejutkan Pawana.

“Eh? Sorry, nggak bisa—“

“Besok malam?” tanya Pukat lagi.

“Nggak bisa juga. Pokoknya satu bulan ke depan aku bakalan sibuk,” Pawana merasa tak enak hati menolak ajakan Pukat.

“Oh, gitu. Ya, udah,” kata Pukat sambil berlalu.

“Pukat!”

Yang dipanggil menoleh, berharap Pawana mengubah jawabannya tadi.

“Nanti tabelnya aku kirim lewat email.”

Meleset. Ternyata tak sesuai harapan Pukat.

***

Sudah sebulan aku tak mengobrol dengan Pukat. Dia tak membalas sapaanku di chat. Dia juga tak pernah kelihatan di kantin waktu jam makan siang. Kalau ada urusan dengan Bagian Analisis, selalu Baruna atau orang lain yang menghubungiku, bukan Pukat. Apa dia marah gara-gara aku tak mau menemaninya ke toko buku waktu itu? Masa begitu saja marah? Dasar anak kecil!

Tapi, aku jadi rindu. Ah, sudahlah. Lebih baik aku fokus belajar. Aku harus lulus seleksi.

***

“Selamat, Na!” Sasi memeluk Pawana erat.

“Selamat. Akhirnya mimpi kamu buat kuliah di Jepang kesampaian juga,” kata Matari.

“Tapi, ntar kamu jadi jauh dari Pukat, dong?” kata Sasi setelah melepaskan pelukannya.

“Iya. Berarti ntar kalian LDR? Sebentar. Sebenarnya hubungan kalian gimana, sih?” tanya Matari.

Pawana terdiam. Sebenarnya dia juga tidak mengerti hubungannya dengan Pukat. Hubungan mereka masih tak terdefinisi.

“Kok, diam? Kalau kamu ke Jepang, jangan-jangan nanti Pukat malah kepincut cewek lain. Tahu sendiri, lah. Pukat itu ganteng, baik hati sama semua cew—“ kalimat Matari terhenti setelah Sasi menyikut lengannya.

“Aku pergi sebentar,” kata Pawana sambil bergegas pergi. Satu tujuannya: ke ruangan Pukat.

***

“Pukat!” panggil Pawana begitu tiba di ruangan Pukat.

“Eh, Na! Tumben—“

“Aku perlu ngomong sama kamu. Kita ke taman bentar!” kata Pawana lalu bergegas menuju taman kecil di samping kantor. Pukat pun mengikutinya dan bertanya-tanya hal apakah yang membuat Pawana sampai datang ke ruangannya.

“Kita nikah aja,” kata Pawana begitu mereka tiba di taman.

Pukat menoleh. Tidak yakin dengan apa yang barusan didengarnya.

“Kamu bilang apa tadi?”

“Kita nikah!” ulang Pawana.

“Ka—kamu—kamu serius? Kita, kan, baru kenal beberapa bulan. Maksudnya, hubungan kita belum sejauh itu, kan?” jawab Pukat gugup.

“Oh, gitu?”

“Na, kita teman, kan?”

“Teman. Hmm, teman. Jadi, kita CUMA teman, ya?” gumam Pawana.

“Bukan. Maksudku—“

Pukat tak sempat menyelesaikan perkataannya. Pawana sudah terlanjur pergi.

4 komentar:

  1. ceritanya tak terduga, amazing sekali kak. Mau langsung meluncur menjaring angin selanjutnya nih.

    BalasHapus
  2. wwaaaaaaaaaagghh,,,

    Pawana keren...
    ehm, kak Milo bakalan ngelakuin hal yg dilakuin Pawana nggak, kalo semisal jd dia?
    :v

    BalasHapus
    Balasan
    1. nggak lah. aku nggak berani kaya gitu. takut nyesel, siapa tahu ketemu yang lebih keren :D :D :D

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!