![]() |
gambar diambil dari sini |
Dengan membaca judulnya saja sudah bisa diketahui bahwa novel ini menceritakan tentang Aceh. Yap, novel ini bercerita tentang konflik di Aceh dari sudut pandang yang (diusahakan untuk) netral, tidak memihak pemerintah maupun GAM, serta tentang tsunami. Sebenarnya ini novel lama. Cetakan pertamanya tahun 2005. Namun, aku baru membelinya dan membacanya (masa iya udah dibeli nggak dibaca???) pada April 2011. Dan hari ini aku membacanya lagi.
Cerita di novel karya Tasaro ini dibuka dengan kisah masa kecil dua orang sahabat, Maruta (Maru) dan Samudra (Samu) di sebuah desa kecil di Gunung Kidul. Lho, bukannya ini cerita tentang Aceh? Kok, setting-nya di Gunung Kidul? Yah, dua dari tiga tokoh utama cerita ini memang orang Jawa: Maru dan Samu. Maru, seorang wartawan yang ingin membuat novel tentang konflik Aceh. Pada masa kuliah, dia termasuk orang yang sangat getol menentang perang di Aceh dan menyuarakan betapa menderitanya rakyat Aceh pada masa DOM. Seiring berjalannya waktu, ia pun mulai menilai konflik Aceh tidak lagi dengan sudut pandang hitam putih. Ia berusaha untuk berada di tengah, tidak memihak. Dan ketika dia berniat membuat novel tersebut, dia mendapat kabar dari kawan lamanya, Samu, bahwa kawannya itu sedang bertugas di Aceh, sebagai marinir. Dari Samu inilah Maru mengerti sudut pandang konflik dari sisi seorang prajurit. Bahwa, tidak semua prajurit jahat.
Dalam tugasnya di Aceh, Samu bertemu dengan Malahayati (Mala), dara Aceh yang bekerja sebagai perawat dan sangat anti terhadap tentara. Sebuah sikap yang dilatari kenangan buruk di masa kecil tentang TNI, peristiwa Simpang Kraft di mana adiknya yang masih kecil menjadi salah satu korban karena tertembak di kepala dan juga membuat ibunya hilang tak tahu rimbanya. Singkat kata, Samu jatuh cinta pada wanita yang justru membenci tentara seperti dirinya. Dan diam-diam, Mala juga merasakan hal yang sama seperti Samu. Jangan mengharapkan kisah cinta yang romantis dalam novel ini. Yang ada justru pembicaraan penuh sindiran Mala terhadap Samu yang seorang tentara.
Untuk mencari informasi sebagai bahan novelnya, Maru pun ke Aceh, tepatnya ke Lhokseumawe. Dia mewawancara keluarga keuchik (kepala desa) yang dibunuh GAM. Dia juga sempat terjebak dalam kontak senjata antara GAM dan TNI ketika hendak mewawancarai salah seorang korban konflik yang anti TNI karena ayahnya yang seorang rakyat sipil biasa meninggal dalam kontak senjata. Maru juga sempat diculik GAM karena dituduh membocorkan rahasia markas GAM kepada TNI. Kisah ini ditutup dengan peristiwa tsunami.
Sudah? Cuma begitu? Yah, masa iya aku harus menceritakan semua bagian cerita di novel ini secara mendetail? Lalu bagaimana dengan hubungan Mala dan Samu? Baca sendiri sanah! Hehehe...
Salah satu nilai moral dari novel ini adalah bahwa dalam perang tidak ada yang diuntungkan. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Dan, dalam perang selalu rakyat yang jadi korban. Seperti pepatah "gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah". Yah, mungkin kurang tepat. Tapi, mirip dengan kondisi rakyat Aceh pada novel ini: terjebak di antara dua pihak, GAM dan TNI.
Hmm, ada sedikit yang mengganjal tentang novel ini. Penggunaan Bahasa Aceh dalam kalimat-kalimat para tokohnya agak aneh. Entah memang penulisannya dan pemilihan katanya yang tidak pas, atau aku yang tidak biasa dengan kosa kata yang digunakan. Maklum, aku terbiasa mendengar pembicaraan dengan Bahasa Aceh dalam dialek orang pantai barat selatan yang mungkin sedikit berbeda dengan dialek pantai timur. Lalu, seberapa “netral” novel ini? Tergantung penafsiran pembaca untuk menilai kadar ke”netral”an novel ini. Sudah, ah. Capek juga menulis resensi (tulisan asal-asalan seperti ini dibilang resensi???) Semoga saja konflik seperti itu tidak terulang di Aceh ataupun daerah manapun.
Pinjem novelnya dong mba. :D
BalasHapusKe sinih lah, tar kupinjemin :p
Hapuswaduh, pengen baca langsung nih..
BalasHapusblogwalking malemmalem
hobi bener blogwalking malem
HapusOleh oleh dr kawan di acehh....novel keren
BalasHapus