![]() |
Gambar pinjam di sini |
Orang-orang bilang masa SMA adalah masa
yang paling indah. Tapi, bagiku tidak. Meskipun bukan masa paling indah, aku
tetap saja punya kenangan tak terlupakan di masa SMA. Tokoh utama dalam
kenangan itu adalah guru Matematika bernama Bu A (nama disamarkan demi
keselamatan, halah!). Aku mulai mengenal ibu yang satu itu di kelas 2 SMA (sekarang,
sih, namanya kelas XI). Keberadaan Bu A ini membuat masa SMA-ku sangat ‘indah’ (ingat,
ya, ‘indah’, bukan indah). Setiap kali Bu A mengajar, kami serasa berolah raga,
tapi yang berolah raga cuma jantung, alias dag dig dug dhuer! Mengikuti pelajarannya
berarti harus berkonsentrasi penuh. Setiap selesai menjelaskan satu materi, Bu
A langsung menuliskan beberapa soal di papan tulis lalu menunjuk beberapa murid
SECARA ACAK untuk mengerjakannya. Ini dia yang membuat kami sport jantung. Dan Bu
A ini termasuk adil. Maksud adil di sini adalah semua murid di kelas bisa
dipastikan mendapat giliran untuk maju. Kalau hari ini selamat dari ‘penunjukan’,
tetap harus bersiap untuk ditunjuk besok atau lusa. Pernah suatu kali aku
sedang malas jadi merebahkan kepalaku di meja tapi tidak tidur. Dan tanpa
kusadari si ibu sudah berdiri di samping mejaku sambil meletakkan kapur di
mejaku. Itu artinya aku disuruh mengerjakan salah satu soal di papan tulis. Mungkin
dikiranya aku tidur, jadi aku disuruh maju agar tidak mengantuk lagi. Untung saja
aku bisa mengerjakannya.
Selain disuruh mengerjakan soal di papan
tulis, kami juga mendapat PR. Setiap pertemuan hampir selalu disuruh
mengerjakan soal di LKS lalu dikumpulkan seminggu kemudian. Jadi, dalam
seminggu bisa jadi kami harus mengerjakan lima puluh soal. Mantap! Tapi, kami
lebih cerdas dari si ibu. Bisa dibilang mengerjakan PR adalah fardhu kifayah,
alias kalau satu orang sudah mengerjakan, yang lain tidak wajib mengerjakan. Jadi, biasanya ada dua murid di kelas sebelah yang rajin
mengerjakan PR dan kami cukup memfotokopi hasilnya lalu menyalinnya di buku PR
kami. Hihihi, nakal sekali... Dan si ibu ternyata sangat teliti. PR kami
dinilai. Kalau ada tulisan yang penuh coret-coretan atau bekas correction pen
(type-X maksudnya), nilainya akan dikurangi. Sewaktu ada kawanku yang korupsi jumlah
soal pun ketahuan dan mendapat catatan di buku PR-nya. Hadeuh! Masalah pengurangan
nilai karena coret-coretan dan type-X ini pun berlaku sewaktu ulangan. Kalau tidak
salah pernah ada kawanku yang ulangannya salah semua. Mestinya nilainya nol. Tapi,
karena banyak coretan atau type-X, nilainya pun jadi minus. Kata Bu A, “Jadi
kamu utang nilai sama saya, ya!” Gubrak!
Selain mengajar kelas 2, ibu itu pun
mengajar kelas 3. Dan ternyata murid-murid kelas 3 pun jadi korban. Pernah aku
mendengar kakak kelas di perpustakaan berbincang dengan kawannya, “Habis ini
pelajaran Bu A. Pembantaian.” Hahaha, emang iya. Kami seperti dibantai oleh
soal-soalnya. Dan sepertinya murid kelas 3 lebih parah nasibnya. Awalnya aku
menertawakan kakak-kakak kelas itu. Tapi, Alloh menakdirkan aku senasib dengan
mereka. Di kelas 3 aku diajar Bu A lagi. Dan di hari pertama Bu A mengajar kami
(setelah naik kelas 3), beliau langsung menuliskan di papan tulis tugas
semester ganjil dan genap. Untuk tugas semester ganjil, kami disuruh mencari
soal EBTANAS/UAN (kalau tidak salah) tujuh tahun terakhir, memfotokopinya, lalu
mengerjakannya. Seperti biasa, dalam mengerjakan soal, langkah-langkah kami
harus lengkap, runut, tidak boleh ujug-ujug muncul hasilnya. Sedangkan untuk
tugas semester genap, kami harus mencari soal UMPTN/SPMB (apa namanya
sekarang?) lima tahun terakhir, dan tentunya mengerjakannya. Mampuuus...
Meskipun kelihatannya berat, akhirnya aku
bisa juga mengerjakannya. Dan tanpa mencontek. Yah, ada beberapa soal, sih,
yang aku tidak bisa mengerjakannya jadi terpaksa melihat punya teman. Lebih kurang
tiga soal yang jawabannya mencontek dari teman. Di akhir semester genap, kami
pun jadi merasa hebat. Murid SMA seumuran kami sudah membuat dua buah buku,
pembahasan soal EBTANAS/UAN dan pembahasan soal UMPTN/SPMB. Hanya saja buku
kami dijilid sederhana dan tidak punya ISBN.
Kalau diingat-ingat, Bu A adalah guru
paling keren. Dalam menerangkan materi, Bu A sangat jelas. Bukan cuma memberi
rumus tapi juga menjelaskan konsepnya, dari rumus A diturunkan jadi rumus B,
dan sebagainya. Pembantaian yang beliau lakukan lewat PR dan tugas, termasuk
usahanya untuk ‘memaksa’ murid-muridnya berlatih. Untuk menguasai Matematika,
tentu saja butuh berlatih, kan? Juga ketika menyuruh murid-muridnya mengerjakan
soal di depan kelas. Dengan cara itu, beliau bisa mengetahui bila ada yang
tidak paham dan bingung dalam mengerjakan soal. Bu A juga termasuk guru yang
bertanggung jawab. Bu A pernah tidak mengajar untuk beberapa hari karena pergi
umroh. Hal ini tentu saja menyenangkan bagi kami. Jam kosong gitu, loh! Bebaaaas! Tapi, ternyata
beliau justru merasa berhutang. Dan setelah kembali, Bu A ‘membayar’ hutang
tersebut dengan memberi kami pelajaran tambahan sepulang sekolah. Mestinya kami
bersyukur karena materi yang tadinya kami pelajari sendiri bisa diperdalam
melalui penjelasan dari masternya. Tapi, namanya juga anak sekolah. Mendapat tembahan
pelajaran adalah hal yang menyebalkan, hehehe... Bu A juga perhatian, terutama
pada murid yang nilainya mengkhawatirkan. Kami pernah mengadakan uji coba UAN.
Dan ternyata ada beberapa anak yang nilainya di bawah target. Bu A pun dengan
sukarela memberi ‘les’ pada mereka sepulang sekolah. Dan setiap bertemu salah
satu temanku – yang nilainya mengkhawatirkan itu – Bu A akan menyapa dan
berkata, “Belajar yang rajin, ya!”
Sebenarnya masih banyak cerita kami
bersama Bu A. Tapi, tak usah diceritakan saja, lah. Yang jelas, aku beruntung
diajar oleh guru senior dan penuh dedikasi seperti Bu A dan guru lain yang satu
spesies dengannya. Semoga semakin banyak guru yang berkualitas dan berdedikasi
di negeri ini.
wakakakakak ini tenan bu guru A, eeh dlu juga ada lho guru bahasa indonesia ku kalau kasih tugas ada setipoan gitu nilainya jelek,lha parah guru A pake nilai minus kayak mata minus ae, wakakakak :p
BalasHapusCerita SMA itu menyenangkan walaupun dag dig dug dueer :D
Embeeer! Fenomenal itu kejadian nilai minus. Bikin sejarah, ada murid utang nilai sama guru.
HapusKalo guru Bahasa Indonesia-ku malah ga terlalu ngurusin tip ex2 an.
ee.. judulnya sepertinya kurang hot gitu.. :D
BalasHapusPerlu diganti judulnya jadi "Kawah Merapi" biar hot?
Hapuswah, matematika ya? kalo guru matematikaku ganteng ey, jadi lumayan ada sedikit hawa segar saat belajar matematika :D Cara ngajarnya enak lagi, :3
BalasHapusBeuh, kalo gitu mah malah jadi merhatiin gurunya, bukan pelajarannya :p
Hapustapi ga ada guru yg akan tega ngasih nilai muridnya minus di raport :D
BalasHapus*kalau nilai minus di ulangan sih iya...
Beuh, kalo sampe nilai di rapor minus, sadisnya udah level alakazam ibu itu -__-"
Hapussadiiisss guru nya hahaha...
BalasHapustapi murid2 nya jantungnya pasti pd kuat semua, kan udah biasa olahraga jantung :p
Berhubung olah raganya udah bertahun2 yang lalu, sekarang udah gak sesehat dulu jantungnya :D
HapusSebetulnya maksudnya dikurangi nilai anak yang sering banyak nyoret/tip ex itu apa ya? Karna curiga hanya nyalin atau karna apa? Kalau karna curiga, kasihan juga anak yang ngerjain PR di rumah, tapi banyak coretan... :P
BalasHapusKayaknya karena nggak rapi Nuel jadi nilainya dikurangi.
Hapusbaca ini jadi inget deg degkahn kalau disuruh mau tapi ga bisa mengerjakannya.... apalagi tidak belajar.. khan malu ya.... hehehhee
BalasHapusKalo nggak bisa juga ujung-ujungnya diajarin gurunya :D
HapusSama banget ini kayak guru Fisika SMA aku, bu D.
BalasHapusTiap mau quiz, anak2 udah langsung heboh ngetem nomor soal yang bakal dikerjain, dan kalo ada yg ga kebagian, langsung minta ke 1 anak pinter di kelas yang udah ngerjain semua soal quiznya. Hahaha
Salam kenal yaah :D
Beuh, SMA udah pake quiz2an, yah? Ckckck!
HapusYah, begitulah. Anak pinter dan rajin memang bisa diandalkan :D
Bu A itu guru teladan. Dia memastikan seluruh muridnya mengerti dengan materi yang diberikannya. Beruntung dirimu Mbak punya guru seperti ini di SMA. Semoga beliau sekarang masih sehat ya..
BalasHapusIya, bener-bener guru teladan.
HapusAamiin, semoga beliau masih sehat.
Ish, keren kali gurunya. Karena dulu suka banget Matematika jadi pengen diajar Ibu A. Pastinya ujin gak lagi jadi momok ya..
BalasHapusSalut buat Bu A.
Teteeeeep, ujian momok buat kami. Lha, wong kami generasi kedua yang kena UN yang pake nilai minimal buat lulus -__-'
Hapus