Dua anak lelaki berjalan telanjang kaki menapaki
rerumputan. Sesekali mata mereka melihat ke bawah, khawatir menginjak kotoran
kambing atau lembu yang sering ber’tamasya’ ke pantai Rindu Alam. Makin dekat
ke pantai, rerumputan makin jarang. Yang tersentuh oleh kaki mereka kini hanya
pasir putih.
Setelah berjalan sebentar, mereka pun
sampai di dekat karang. Dengan tangkas mereka naik ke atas karang lalu duduk di
atasnya. Lalu, ritual kebiasaan mereka pun dimulai. Menikmati suasana senja di
pesisir barat Sumatera lalu menanti mentari terbenam di Samudera Hindia. Bila beruntung,
mereka bisa melihat lumba-lumba.
“Pe-er dari Bu Suri sudah kaukerjakan?”
tanya Salman tanpa mengalihkan pandangannya dari birunya laut, berharap akan
ada lumba-lumba yang muncul.
“Belum. Aku malas. Kenapa pula Bu Suri
memberi tugas membuat puisi? Aku, kan, benci puisi,” sahut Darwis sambil
mengacak-acak rambut keritingnya. Sebal.
Refleks Salman pun menoleh. “Kenapa
benci?”
“Puisi itu aneh. Bisa-bisanya wajah orang
disamakan dengan rembulan. Rembulan itu tidak punya mata, tidak punya hidung,”
kata Darwis berapi-api.
“Kau ingat pelajaran IPA kemarin? Bulan
itu tidak bersinar. Bulan cuma memantulkan sinar matahari. Dan kaulihat
puisi-puisi di buku pelajaran? Katanya bulan bersinar! Apa itu bukan bodoh
namanya?”
Salman hanya terdiam dan menghela napas.
Menyesali pertanyaannya yang membuatnya harus mendengarkan luapan kekesalan Darwis.
“Nah, satu lagi. Kau ingat minggu lalu?
Kita diberi contoh puisi yang kata-katanya ‘ombak menari’. Kaulihat sana! Mana
ombak menari?” lanjut Darwis sambil mengarahkan tangannya ke arah pantai.
Salman terdiam, tidak menjawab. Lebih
tepatnya tidak mau menjawab. Ia lebih suka memperhatikan perahu-perahu nelayan
di tengah lautan, sambil menunggu munculnya lumba-lumba tentunya.
“Hei, kau ini dengar tidak apa yang
kubilang tadi?” Darwis menyikut keras kawannya yang kurus itu. Untung saja
Salman tidak sampai terjatuh dari atas karang.
Salman melirik malas. “Kau ini
memperhatikan pelajaran Bu Suri tentang kiasan? Ya, yang kaubilang wajah
seperti rembulan itu termasuk kiasan. Kita juga sudah belajar majas, kan? Ombak
menari itu termasuk majas,” jelasnya.
“Tetap saja aneh. Kiasan dan majas itu
aneh. Puisi itu ANEH!”
“Ya, sudah. Kaubuat puisi yang tidak
pakai kiasan dan tidak pakai majas. Apa payahnya?” sahut Salman sambil
merebahkan badan. Bosan menunggu lumba-lumba yang tak kunjung muncul.
“Memangnya boleh?” tanya Darwis.
“Memangnya tidak boleh? Memangnya Bu Suri
bilang harus pakai kiasan?” Salman balik bertanya.
Darwis hanya menggeleng. Seingatnya
memang hanya disuruh membuat puisi. Itu saja.
“Memang boleh?” Darwis masih ragu.
Ditatapnya kawannya yang masih santai memandang langit. Yang ditanya malah
membalikkan badan. Mengalihkan pandangannya ke sisi pantai yang menjorok ke
laut. Darwis yang penasaran pun menggoyang-goyangkan badan kawannya itu. Bosan
diusik, Salman pun kembali duduk.
“Kalau tidak dilarang, berarti boleh. Macam
orang disuruh buat lemang. Kalau tak diberitahu harus buat lemang pakai ketan
atau ubi, berarti terserah dia. Mau pakai ketan boleh, pakai ubi pun boleh. Yang
penting lemang. Pe-er kita pun sama. Cuma disuruh buat puisi, tidak ada aturan
pakai kiasan atau tidak. Artinya, pakai kiasan boleh, tidak pun boleh. Yang penting
puisi,” jawab Salman panjang lebar.
“Kalau dimarahi karena tidak pakai
kiasan?”
“Belum apa-apa sudah takut dimarahi. Yang
penting kerjakan dulu sesuai perintah. Kalau nanti dimarahi, ya, jawab saja
seperti yang kubilang tadi. Tidak dijelaskan harus pakai kiasan atau tidak,”
kali ini gantian Salman yang sebal.
“Kau yakin aku tidak akan dimarahi?”
tanya Darwis lagi. Salman benar-benar sebal. Alih-alih menjawab pertanyaan
Darwis, dia justru berteriak, “Lumba-lumba!” Darwis pun menoleh. Benar. Ada beberapa
lumba-lumba yang melompat-lompat. Perbincangan tentang puisi pun terlupakan.
lohsama dong aku juga gakbisa mengartikan puisi tapi tidak benci loh semoga sukses ya ngontesnya
BalasHapusTokoh ini benci bukan karena nggak bisa mengartikan. Cuma nggak suka sama diksi-nya yang aneh.
Hapuskalo aku suka bikin puisi tapi yang suaranya aneh2, kayak yang ditulis Sutardjo C. Bashri (Namanya mungkin salah tuls).
BalasHapusSemoga menang fiksinya.
sutardji calzoum bachri *sok ngeralat*
Hapusyes! sutardji!
BalasHapustapi saya juga suka damono.. :D
Saya nggak suka dua-duanya :D
Hapussukses ya ngontesnya :)
BalasHapusMakasih :)
Hapussaya juga kalau bikin puisi punya masalah yang sama.... dengan kata kata kiasan seperti ini.... tapi kalau dibuatnya bagus jadi indah ya,,,,
BalasHapusYang penting makna puisinya, bukan keindahannya :p
HapusIkutan lomba terus nih mbak mill, semoga menang kontesnya mbak :)
BalasHapusHehe, penasaran saya kalo ada lomba/kontes/GA :D
Hapusaku juga benci puisi... eeee sebenarnya sih ga benci cuma entah kenapa agak sulit mengartikan yang tersirat dibalik untaian kata kiasan tersebut
BalasHapusSaya, sih, cuma sebel kalo ada yang sok-sokan pake kata yang susah.
Hapusaahh, meskipun saya suka baca puisi, tapi jujur, saya ga terlalu pandai nulis puisi. lebih sering nulis cerpen. hihi
BalasHapusSudah terdaftar sebagai peserta Hajatan Anak Pertama ya, mbak
Terima kasih atas partisipasinya.
Ditunggu ya pengumumannya ;)
hehehe, saya tunggu hadiahnya. menang gak menang, tetep kirim hadiah, yaaaaa! *ini mah ngrampok*
Hapushahahaha asyik sekali nih. Yah namanya juga Selera, dan yang namanya selera memang tidak dapat diperdebatkan. Dari Brebes ya. Saya ada teman juga dari Brebes dan sekantor sama saya. katanya Brebes ngetop sama Telur Asin. Benarkah?
BalasHapusSalam dari Blogger Pontianak. Numpang Follow ya
Iya, Brebes terkenal dengan telur asinnya.
HapusKalau pas menjumpai puisi yg bisa aku pahami bahasa dan maksudnya, aku suka2 saja. tapi, kalo pas ketemu puisi yg bahasanya super indah sampai susah memahaminya, ya terpaksa tepok jidat lalu mendengus panjang terus lempar ke tong sampah deh itu puisi. hehe
BalasHapushahaha, iya. sebel saya kalo bahasanya sok indah tapi malah akhirnya pesannya nggak sampai.
HapusAku juga sebal sama tugas puisi...
BalasHapusYang banyak kiasan seringnya dinilai lebih apik dibanding yang nggak pakai kiasan... padahal kan belum tentu T.T
Wajahmu kayak rembulan,
grenjel-grenjel sih akeh kukule... -____-"
Unaaaaaaa! Itu dia yang sering diomongin aku sama temen-temenku. Kalo muka kaya bulan, malah gak halus, gak mulus, jerawatan. Kan, bulan permukaannya nggak rata. Kata temenku jeglag jeglug.
HapusBanyak, kok, puisi yang nggak pake kiasan tapi bagus.
Keren, pemilihan kalimatnya bagus :D
BalasHapusMohon difollowback, terimakasih :}
Gak janji, ya. Kalo saya mood ntar saya folbek. Kalo nggak mood ya, maaf :)
Hapus