Rabu, 30 Januari 2013

Markisane Mendhot

Minggu wingi aku balik maring Brebes. Jebule wit markisa nang umah lagi mendhot nemen. Lagi bada wingi, sing tak critakna nang postingan kiye, tah ora patiya mendhot. Uwohe akeh nemen. Nganti keder mangane. Kaligane malah ditawak-tawakna maring wong sing liwat. Abahe ya bolak-balik nawani tangga sing liwat ngarep umah.

Ora percaya? Keh, tak todokna wit markisa sing uwohe pating glantung


Nang ngarep umah ya ana sing pating glantung. Endep nemen. Yen pan ngempet yang kari nyawel tok. Kyeh gambare


Rabu, 23 Januari 2013

Curhat Kamera Saku

Tadi pagi aku berburu foto lagi. Objeknya? Masih di halaman rumah. Kali ini yang kujadikan sasaran adalah bonsai beringin yang dua hari lalu daunnya sempat kufoto. Sayangnya, kemarin bonsainya digunduli Abah. Jadi, tinggal ranting-rantingnya dan daun-daun kecil. Susah juga memotret makro dengan kamera saku Panasonic Lumix DMC-S3. Kenapa? Sampai saat ini aku tidak menemukan fitur makro manual di kamera tersebut. Hanya adalah pilihan Intelligent Auto dan Scene Mode. Untuk Scene Mode ini ada sepuluh pilihan scene, misalnya Scenery (untuk memotret landscape), Party (untuk memotret indoor), dan sebagainya. Mode Intelligent Auto dalam kamera ini sebenarnya sudah lumayan oke. Kalau aku memotret pemandangan misalnya, si kamera ini otomatis mengaktifkan Scenery. Kalau memotret benda dalam jarak dekat (tapi tidak terlalu dekat), biasanya (tapi tidak selalu) fitur makro akan langsung aktif. Sayangnya, kadang aku mau fokus ke benda A, tapi kamera malah fokus ke benda B dan membuat benda A justru terlihat kabur (blur). Untuk mengakalinya aku harus menggeser-geser posisi dan mengatur jarak dengan benda. Riweuh! Sebenarnya kamera ini sudah cocok, sih, untuk amatiran sepertiku. Ada Intelligent Auto-nya. Jadi, aku tidak perlu repot mengatur macam-macamnya. Tapi... Kalau mendengar teman-teman menyuruhku mengatur ini itu, misalnya mengaktifkan fitur makro secara manual, mengatur apperture, exposure, dan sebagainya aku jadi senewen. Di mana ngaturnyaaa? Tapi, tidak apalah. Masih mending punya kamera saku daripada tidak punya sama sekali. Semoga kelak aku akan semakin memahami kamera ini sehingga bisa menghasilkan foto yang bagus.

Oh, iya. Ini dia sebagian foto-foto tadi pagi. Masih berburu embun dan sepertinya yang didapat justru sisa hujan semalam.

Senin, 21 Januari 2013

Sisa Hujan Semalam

Kemarin sore aku tiba di rumah. Dan pagi ini aku sudah mulai norak-norak bergembira dengan kameraku. Awalnya aku ingin mengambil gambar embun gara-gara sempat iri melihat foto hasil jepretan teman-teman yang ada embunnya dan hasilnya bagus. Lalu, setelah melihat halaman depan, tidak ada embun. Yang ada justru bekas hujan. Iya, semalam hujan deras. Setelah berkali-kali memotret-menghapus-memotret lagi, kudapatkan juga hasil yang lumayan -- tapi tetap amatiran, hehehe... Seperti kata Nurin, keahlian dipengaruhi oleh jam terbang. Jadi, anggap saja ini merupakan proses latihan untuk menambah jam terbang agar nanti hasil potretanku bisa bagus. Oh, ya, semua tanaman ini Abahku yang menanam dan merawat. Halaman depan dan samping rumah jadi penuh tanaman sejak Abahku pensiun. Sepertinya bakat terpendamnya adalah jadi petani, hehehe...

Rabu, 16 Januari 2013

Aku dan Televisi

Gimana rasanya hidup tanpa televisi? Nggak bosen? Nggak ada hiburan, dong! Adikku juga pernah bertanya padaku bagaimana rasanya tidak punya televisi. Menurutku, sih, biasa saja. Mau lihat berita? Buka saja portal berita di internet. Mau menonton film? Cari saja DVD atau copy saja dari teman, hehehe... Masih bosan? Main game saja. Aku juga diuntungkan oleh jam kerja yang lumayan panjang: pukul 7.30 sampai 16.00. Waktu yang kuhabiskan di kos (dalam keadaan sadar, bukan tidur) hanya sebentar. Jadi, tidak terlalu berpengaruh apakah aku punya televisi atau tidak, kan?

Itu jawabanku sekarang. Kalau pertanyaan serupa diajukan sewaktu aku masih SMA sudah jelas aku akan menjawab, “Hidupku hampa tanpa televisi.” Yah, kalau saat itu televisi di rumahku rusak, tentunya aku akan uring-uringan karena tidak bisa menonton Endless Love, Winter Sonata, All About Eve, Meteor Garden, Amigos X Siempre, Inuyasha, Detective Conan, dan semua acara kesukaanku. Well, I was television-addicted. Aku bisa tahan menonton televisi selama berjam-jam, menonton semua acara yang ada mulai dari film kartun, gosip, sampai FTV. Yang paling jarang kutonton adalah berita, apalagi berita kriminal yang isinya pembunuhan.

Selasa, 15 Januari 2013

Ada Satu

aku sungguh percaya
Kau bisa memerahkan langit yang biru
dalam sekejap
tanpa sempat kukedipkan mata

aku sungguh percaya
Kau bisa menurunkan salju di manapun
bahkan di tepian pantai di khatulistiwa

aku sungguh percaya
Kau selalu memberi yang kami minta

dan aku pun tak pernah ragu meminta
meminta segalanya
tanpa tahu malu

tapi
ada satu yang tak berani kuminta
meski Engkau telah berjanji
memberikan semua yang kami minta
meski aku tahu Engkau takkan pernah ingkar janji

ada satu yang tak berani kuminta
dan aku tak mengerti kenapa

Minggu, 13 Januari 2013

Saat Kau Merasa

Saat kau merasa lelah menjalani hidup
ingatlah ia yang lelah membawamu ke sana kemari
ingatlah ia yang begitu lelah menjagamu selama sembilan bulan
agar kelak kau bisa terlahir dan memiliki kehidupan

Saat kau merasa ingin mati
ingatlah ia yang bertaruh nyawa
berjuang antara hidup dan mati
demi melihatmu terlahir ke dunia

Saat kau merasa tak ada yang merindukanmu
ingatlah ia yang begitu merindukanmu
begitu sabar menantimu selama sembilan bulan
dan begitu bahagia ketika akhirnya kau hadir

Saat kau merasa tak punya siapa-siapa
ingatlah ia yang terjaga sepanjang malam ketika kau demam
ingatlah ia yang sibuk seharian menemanimu bermain

Saat kau tak tahu lagi hendak ke mana
pulanglah
pulanglah saja
bukankah Ibu adalah 'rumah' yang paling hangat untuk anak-anaknya?




Tuhan sungguh menyayangimu
dengan mengirimkan malaikat bernama "IBU"
untukmu

The Railway Children: Novel Anak yang Sederhana

    “Terowongan ini tak ada ujungnya,” keluh Phyllis – dan memang, rasa-rasanya terowongan itu panjang sekali.
     “Jangan ngawur,” kata Peter tegas. “Segala sesuatu pasti ada akhirnya. Yang penting, kita terus maju.”

My Pinky Bear is reading The Railway Children
Roberta, Peter, dan Phyllis adalah tiga bersaudara yang tinggal bersama ibu mereka di Pondok Tiga Cerobong – begitulah orang-orang menyebut tempat tinggal mereka yang memiliki tiga cerobong asap. Sebelumnya mereka tinggal di rumah di pedesaan itu. Mereka sebelumnya tinggal di Vila Edgecombe, di sebuah rumah yang indah dengan dinding bata merah dan jendela-jendela besar menghadap ke kebun. Tak hanya rumah yang indah. Kehidupan mereka pun menyenangkan. Mereka punya ibu yang selalu siap bermain dengan mereka, membacakan cerita, dan membantu mereka menyelesaikan PR. Bila mereka sedang sekolah, Ibu menulis cerita untuk mereka lalu membacakannya keras-keras setelah acara minum teh di sore hari. Mereka juga punya ayah yang sempurna – tak pernah marah, selalu adil, dan selalu siap diajak bermain – kalaupun tidak siap diajak bermain, dia akan memberi alasan yang bagus dan menjelaskannya dengan cara yang lucu dan menarik. Itu saja? Tentu tidak. Mereka juga selalu memperoleh apa yang mereka inginkan: baju-baju bagus, perapian yang hangat, kamar bermain yang penuh mainan, dan dinding kamar berlapis kertas dinding bergambar tokoh-tokoh dongeng.

Mereka bahagia, tapi tidak menyadari betapa bahagianya mereka sampai suatu saat kehidupan yang menyenangkan di Vila Edgecombe itu terpaksa ditinggalkan. Malam itu, dua pria datang ke rumah mereka untuk menemui Ayah. Hingga kemudian Ayah harus pergi bersama mereka – kata Ibu: urusan dinas. Selama beberapa minggu Ibu jarang ada di rumah. Hingga kemudian Ibu mengatakan pada anak-anak bahwa mereka akan pindah ke pedesaan. Ya, ke Pondok Tiga Cerobong itulah mereka pindah. Bobbie – nama panggilan Roberta – dan kedua adiknya berhenti sekolah sehingga mereka punya banyak waktu bermain-main di sekitar stasiun kereta api. Ibu pun setiap hari mengurung diri di kamar seharian untuk menulis cerita dan baru keluar pada waktu minum teh di sore hari lalu membacakan cerita-cerita itu pada ketiga anaknya. Cerita-cerita itu kemudian dikirim ke redaksi majalah. Ayah pun tak kunjung pulang.

Jumat, 11 Januari 2013

Perubahan itu Selalu Terjadi


“Kamu nggak berubah dari dulu. Kaya gitu terus.”
“Kamu nggak berubah. Masih aja ngaco.”

Benarkah ada orang yang SAMA SEKALI tidak berubah seiring berjalannya waktu? Mustahil. Dari segi fisik, tentu saja setiap orang mengalami perubahan. Dari bayi merah tumbuh menjadi anak-anak, lalu menjadi remaja, beranjak dewasa, kemudian menua. Perubahan fisik pada seseorang terjadi terus-menerus – kecuali pada penghuni Neverland seperti Peterpan yang tidak tumbuh menjadi dewasa.

Apakah yang berubah hanya fisik? Tentu saja tidak. Sifat, pola pikir, sudut pandang terhadap suatu masalah, cara menghadapi masalah, seiring berjalannya waktu semua itu mengalami perubahan. Bahkan, seseorang yang cenderung membenci perubahan pun tetap mengalami perubahan dalam dirinya, baik disadarinya ataupun tidak. Dalam hidupnya, setiap orang menghadapi berbagai masalah, mengalami berbagai peristiwa, memikirkan berbagai hal. Semua itulah yang mempengaruhi pemikiran seseorang. Tentu saja pengaruhnya tidak sama antara satu orang dengan yang lainnya. Ada satu orang yang tadinya lemah dan pengecut tapi setelah mengalami beberapa masalah yang berat dia justru menjadi kuat. Dia berpikir, “Aku sudah mengalami banyak masalah. Kalaupun aku harus menghadapi satu masalah lain lagi, itu tak jadi soal. Aku sudah biasa.” Ada yang sebaliknya, awalnya pemberani tapi setelah menghadapi banyak masalah dia berubah jadi penakut. Dia berpikir, “Aku tak menduga akan menghadapi masalah sebanyak ini. Masalah apa lagi yang akan datang? Aku sungguh takut.” Perubahan bisa terjadi ke arah positif, bisa juga ke arah negatif seperti contoh tadi. Yang jelas, perubahan itu selalu terjadi.

Selasa, 08 Januari 2013

Selera Buku

Ketika temanku bertanya, “Buku 99 Cahaya di Langit Eropa bagus nggak?” aku menjawab, “Menurutku, sih, bagus. Nggak tahu, deh, kalau menurut kamu.” Yah, aku berusaha untuk tidak melewatkan kata “menurutku”. Kenapa? Karena ukuran bagus atau tidaknya sebuah buku – khususnya novel karena yang sering kubaca cuma novel – amat relatif. Novel merupakan salah satu bentuk karya seni. Dan penilaian terhadap karya seni sangat relatif – kalau tidak bisa dibilang subjektif. Misalkan ada seorang anak mengerjakan sebuah soal Matematika dengan benar. Kalau ada sepuluh orang yang menilai, besar kemungkinan kesepuluh orang tersebut memberi nilai yang sama terhadap anak tersebut. Sedangkan kalau anak tersebut diminta menggambar pemandangan lalu hasilnya dinilai oleh sepuluh orang, besar kemungkinan masing-masing dari kesepuluh orang tersebut memberi nilai yang berbeda. Begitu juga sebuah novel. Kalau sepuluh orang diminta memberi penilaian terhadap sebuah novel, misalnya satu bintang untuk nilai jelek sampai lima bintang untuk nilai sangat bagus, bisa jadi penilaiannya sangat bervariasi. Ada yang memberi satu bintang, ada yang memberi dua bintang, ada juga yang memberi lima bintang.

Itu tergantung selera. Masa? Iya! Masing-masing orang punya preferensi sendiri. Misalnya dari segi tema cerita, ada yang menggemari cerita romantis seperti Twilight (eh, Twilight romantis nggak, sih?), ada yang menggemari fiksi fantasi seperti Eragon dan Harry Potter, ada yang menggemari cerita detektif seperti Lima Sekawan, ada yang menggemari cerita horor seperti... seperti entah apa contohnya, dan ada juga yang menggemari cerita komedi seperti Lupus. Kalau orang yang menggemari cerita horor ditanya pendapatnya mengenai Twilight mungkin dia akan memberi nilai satu bintang sambil berkomentar, “Please, deh! Apa-apaan, masa vampire nggak ada serem-seremnya gitu!” Atau kalau orang yang suka cerita romantis diminta menilai cerita Sherlock Holmes (misalnya yang Study in Scarlett), mungkin dia akan berkomentar, “Beuh, ceritanya bikin puyeng. Nggak ada romantis-romantisnya pula.”

Minggu, 06 Januari 2013

Bidadari Bidadari Surga: Novel tentang Kasih Sayang Seorang Kakak

Dengarkanlah kabar bahagia ini.
Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilah wajah). Yakinlah, wanita-wanita salehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir, sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga parasnya cantik luar biasa.


Kisah ini tentang Laisa dan keempat adiknya: Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta. Meskipun secara fisik Laisa sangat berbeda dengan mereka, meskipun Laisa tidak memiliki hubungan darah dengan mereka, Laisa akan selalu menjadi kakak mereka. Laisa akan selalu menjadi kakak terbaik mereka. Laisa akan selalu menjadi kakak mereka yang tidak pernah terlambat datang untuk mereka.

Umur Laisa sebelas tahun ketika ia mengatakan kepada Mamak Lainuri bahwa dia ingin berhenti bersekolah. Ia tahu Mamak tidak punya cukup uang untuk membeli seragam Dalimunte. Ia pun memutuskan berhenti sekolah. Biar Dalimunte saja yang sekolah. Ia memutuskan untuk membantu Mamak bekerja agar kelak Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta juga bisa sekolah.

Ternyata keputusan Laisa tidaklah salah. Dengan pengorbanannya, adik-adiknya menjadi orang-orang sukses. Dalimunte menjadi profesor di bidang Fisika, Wibisana dan Ikanuri memiliki pabrik – atau lebih tepatnya bengkel modifikasi – mobil, dan Yashinta menjadi petugas konservasi – atau semacamnya, lah – bagi hewan-hewan langka.

Kecerdasan Dalimunte sudah terlihat sejak kecil. Dia suka membuat penemuan ini, lah, itu, lah. Salah satunya adalah kincir air yang ia buat untuk mengalirkan air dari sungai melewati cadas setinggi lima meter menuju ladang-ladang di kampung mereka. Awalnya Dalimunte gugup dalam menjelaskan rancangan kincir airnya di dalam rapat kampung. Tapi, Laisa dengan penuh percaya diri mengatakan bahwa rancangan Dalimunte akan berhasil. Orang-orang pun percaya. Dan nyatanya kincir air itu memang berfungsi dengan baik. Ladang mereka yang biasanya hanya mengandalkan air hujan kini bisa diairi dengan irigasi.

Jumat, 04 Januari 2013

The Lost Java: Tentang Konspirasi, Global Warming, dan Zionis

Apa yang akan terjadi bila es abadi di Antartika mencair? Naiknya permukaan air laut? Tenggelamnya daratan, terutama pulau-pulau kecil? Hanya itu? Tidak, Kawan. Ada ancaman yang lebih mengerikan: methane hydrate, gas metana yang terperangkap dalam struktur kristal air, membentuk solid berupa es. Kau tahu? Ada lebih kurang 400 miliar ton methane hydrate yang terpendam di es Abadi Antartika. Kalau es abadi tersebut mencair, gas methane hydrate akan terlepas sedikit demi sedikit, lalu terus naik hingga mencapai atmosfer. Lah, memangnya kenapa? Ah, iya. Aku belum memberitahumu tentang bahaya gas tersebut. Methane hydrate memiliki efek rumah kaca 25 kali lebih besar daripada gas karbon dioksida.


Itu sebabnya para ilmuwan GarPu (Garuda Putih) melakukan penelitian untuk mencari cara untuk membuat lapisan es abadi baru di Antartika agar gas tersebut tidak ‘terbebas’. Laboratorium GarPu – yang disebut Garpu Lab – berada di Indonesia dan dipimpin oleh Profesor Deni. Dan ternyata ada pihak yang berusaha menjebol jaringan elektronik di laboratorium tersebut. Oleh karena itu, Profesor Deni pun memutuskan untuk meminta para anggota GarPu yang baru saja selesai mengikuti IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) untuk segera datang ke GarPu Lab. Mereka adalah Gia Ihza, Dale Davis, dan Anjeli Joda. Davis membawa serta kekasihnya, Sharma – yang juga adik Joda, ke laboratorium. Selain mereka juga ada Rio, putra Profesor Riyadi. Lah, siapa lagi itu Riyadi? Selain Profesor Deni, ada dua profesor lain yang ikut andil dalam penelitian yang dilakukan GarPu Lab, yaitu Profesor Riyadi – yang melakukan penelitian di Colorado – dan Profesor Wahyu – yang melakukan penelitian di Himalaya.

Kamis, 03 Januari 2013

Kakao

Apa yang bisa kita lihat ketika jalan-jalan di Kabupaten Aceh Barat Daya? Sawah. Sampai daerah ini dijuluki Nanggroe Breuh Sigupai. Selain sawah? Kebun. Ada kebun kakao (coklat), ada kebun pala (bukan Kebon Pala yang di Jakarta, lho), ada kebun durian (yang ini sangat menggoda iman), dan kebun-kebun lainnya. Seringnya, sih, kebunnya ditanami bermacam-macam tanaman, bukan semacam saja. Jadi, dalam satu kebun bisa ada pohon durian, rambutan, pinang, pala, dan sebagainya. Ada juga perkebunan kelapa sawit yang banyak berada di Kecamatan Babahrot, kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Nagan Raya.

Kali ini aku akan bercerita tentang kakao. Di kabupaten ini tanaman kakao termasuk pating tlekcek, berserakan. Di hampir setiap desa yang kukunjungi, ada saja pohon kakao, entah ditanam di kebun atau hanya di halaman rumah. Biasanya pohonnya tidak terlalu tinggi, paling sekitar dua meteran (kalau aku tidak salah menaksir). Seperti ini gambar pohonnya

Pohon kakao yang buahnya berwarna hijau


Pohon kakao yang buahnya berwarna merah


Selasa, 01 Januari 2013

Tentang Membaca


“Mila, kan, suka baca,” begitu kata salah seorang kawanku. Dan temanku itu bukan orang pertama yang menganggap aku suka membaca. Ada beberapa orang yang berpendapat seperti itu. Ada yang mengatakan bahwa minat bacaku tinggi. Apakah ini berarti pencitraan yang kulakukan di blog – dengan  membuat resensi-resensian buku – sudah berhasil? Hehehe...

Kalau dipikir-pikir, minat bacaku tidak begitu tinggi. Aku lebih sering ‘membaca’ Facebook ataupun blogwalking dibandingkan membaca buku. Aku juga tidak suka membaca di kendaraan sebagaimana kebiasaan orang-orang di negara maju (misalnya Jepang). Buku-buku yang kubaca pun bukan buku ‘berat’. Bukan buku tentang ekonomi, bukan buku tentang statistik, bukan buku agama, bukan buku tentang pemrograman, juga bukan buku tentang politik (yang terakhir ini amit-amit). Pokoknya bukan buku yang membuatku terkesan pintar, hehehe... Aku lebih sering membaca buku fiksi – tapi bukan teenlit ataupun chicklit. Bisa dilihat dari buku yang kutulis resensi-resensiannya di blog ini. Hampir semuanya fiksi. Kalaupun bukan fiksi, tetap saja isinya cerita. Meski harus kuakui, biarpun formatnya bukan buku ilmiah, buku-buka yang kubaca tetap memberikan banyak ‘ilmu’.

Lalu, kenapa banyak yang menganggap minat bacaku tinggi? Mungkin karena faktor pembanding. Dibandingkan ketinggian langit, sebuah gedung berlantai sepuluh mungkin tidak ada apa-apanya. Tapi, kalau dibandingkan dengan rumah tipe 21, tentu saja gedung berlantai sepuluh termasuk tinggi. Mungkin begitu juga yang terjadi padaku. Dibandingkan dengan para kutu buku sejati, minat bacaku mungkin tidak seberapa. Tapi, dibandingkan orang-orang yang tidak tertarik untuk membaca, mungkin aku termasuk lumayan. Dibandingkan para pencandu buku, mungkin aku tidak ada apa-apanya. Namun, bila dibandingkan orang-orang yang memang tidak tertarik membaca, aku sudah lumayan. Aku masih bisa menikmati aktivitas membaca meskipun terbatas pada buku-buku yang sesuai seleraku. Mungkin itu sebabnya ibuku menganggapku rajin membaca. Waktu kecil aku cukup ‘dibungkam’ dengan majalah Bobo ketika liburan. Setelah dibelikan majalah Bobo bekas seharga seribu tiga, aku tidak banyak merengek minta jalan-jalan. Dibadingkan dengan adikku yang – setahuku – tidak tertarik untuk membaca baik buku ataupun majalah – apapun genrenya – wajar saja bila ibuku menganggapku rajin membaca. Pertanyaannya sekarang: separah apakah minat baca orang-orang di negeri ini sampai-sampai orang sepertiku dianggap rajin membaca? Entah. Tak perlu dibahas di sini. Aku bukan pakarnya.