Sebentar lagi tepat satu tahun gempa
Jepang. Sebenarnya aku juga tidak akan ingat bila tidak membaca posting-an di blog seorang kawan. Hmm... Jujur, aku tidak terlalu tahu mengenai gempa Jepang ini. Dulu,
aku hanya mengikuti beritanya lewat detik.com dan okezone.com. Maklum, aku
tidak punya televisi. Dan sebuah kebohongan besar bila aku mengatakan aku
mengerti sepenuhnya perasaan para korban bencana itu. Yang bisa mengerti
perasaan mereka tentunya juga orang yang pernah mengalami hal yang sama.
Sedangkan aku? Aku hanya bisa mengira-ngira apa yang mereka rasakan. Sedih,
trenyuh, takut, itu yang kurasakan. Tapi, tentu itu belum seberapa dibandingkan
perasaan mereka yang mengalami bencana itu sendiri, mereka yang kehilangan
sanak keluarga, kehilangan tempat tinggal.
Sama seperti gempa dan tsunami Aceh.
Ketika melihat foto-foto kondisi Aceh saat tsunami yang kulihat di Museum
Tsunami rasanya hatiku benar-benar pilu. Tapi, ketika kawanku yang menjadi
saksi hidup kejadian itu mulai bercerita, aku kehilangan kata-kata. Padahal, cuma
sedikit yang dia katakan. Dia baru berkata, “Waktu itu udah kaya kiamat.”
Kalimat yang pendek. Tapi, perasaan yang mengiringi ucapannya benar-benar
membuatku tak bisa bicara banyak walau untuk sekadar menunjukkan empati. Lalu
dia pun menggambarkan keadaan saat itu, ketika dia mengungsi di Kodam dan dari
sana melihat jalan-jalan disapu tsunami. Dan lagi-lagi aku tak bisa
membayangkannya. Terlalu mengerikan.
Selama tinggal di Aceh aku memang kerap
mengalami gempa. Apalagi posisi tempat tinggalku di Kabupaten Aceh Barat Daya
yang tidak terlalu jauh dari Kabupaten Simeulue. Apa hubungannya? Berdasarkan
pengalaman selama ini, sebagian besar dari gempa yang kualami pusatnya di
Simeulue atau perairan dekat kabupaten itu. Daerah itu memang sering dilanda
gempa, sampai-sampai kalau kami yang tinggal di pesisir barat Aceh merasakan
gempa, yang pertama kami tuduhkan adalah “pusatnya pasti di Simeulue”. Padahal
belum tentu benar, hehehe... Berhubung kabupatenku lumayan dekat dengan
Simeulue, gempa yang berpusat di sana pun terasa sampai tempat tinggalku. Gempa
yang kualami biasanya kekuatannya sekitar 5 skala Richter dan berlangsung hanya
dalam hitungan detik. Alhamdulillaah tanpa disertai tsunami, semoga saja tidak
akan pernah mengalaminya, Aamiiin.. Biarpun skala kecil, tetap saja aku panik.
Seperti beberapa hari yang lalu ketika ada gempa 5,5 skala Richter yang
berpusat di Aceh Tengah. Guncangannya terasa kuat. Meja tempat aku sedang
bekerja bergoyang kencang. Melihat kawan kantorku langsung lari keluar, aku pun
ikut lari.
Bayangkan... Baru gempa 5,5 skala Richter
saja rasanya sudah tak karuan. Panik. Takut. Lalu bagaimana dengan gempa Aceh
dan Jepang yang berskala sekitar 9 skala Richter. Disertai tsunami pula. Sungguh
tak terbayangkan betapa dahsyatnya. Aku tidak menemukan kata-kata yang tepat
untuk menggambarkan kejadian itu.
Tapi, musibah bukanlah alasan untuk terus
larut dalam kesedihan. Bangkit adalah satu-satunya pilihan. Aah, lagi-lagi aku
tak menemukan kata-kata yang tepat. Entah bagaimana memberi motivasi pada mereka
yang mengalami musibah itu. Aku bukan Mario Teguh ataupun Andri Wongso yang ahli mencetuskan kalimat yang bisa memotivasi orang lain. Aku
hanya bisa mengutip salah satu ayat dari surat Al Insyiroh: Sesungguhnya
sesudah kesulitan ada kemudahan. Percayalah!
Tulisan ini diikutkan pada Giveaway Satu Tahun dari blog celoteh .:tt:.
sy selalu kagum dg orang2 yang mampu bangkit dr apapun kesulitan yg pernah mereka hadapi
BalasHapusBetul. Ketabahan dan ketangguhan mereka benar-benar mengagumkan.
HapusSetuju sob, dibalik sesulitan pasti ada kemudahan :)
BalasHapuswah..gempa kita juga ngalami pada tahun 2006.. di Jogja..
BalasHapusOh, iya. Jadi ingat. Waktu itu teman saya yang dari Bantul langsung pulang kampung karna dengar berita gempa. Alhamdulillah keluarganya selamat.
Hapuswalaupun inyong belum pernah mengalami gempa besar tapi kalau dengar gempa rasanya merinding
BalasHapusbetul. cuma dengar berita saja kadang ngeri
Hapuswow, dulu saja ngalamain gempa kecil perut langsung mual pengin muntah, apalagi sampe 5 keatas ya, haduuueeh .... :p
BalasHapusgak usah dibayangin, saja aja takut mbayanginnya
HapusmasyaAllah...
BalasHapusKunjungan balik sobat
Hapussaya tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya mbak
semua orang panik menyelamatkan diri
pasti rasanya campur aduk gak karuan
nice share mbak
@ Nurmayanti Zain & rizki_ris: begitulah bencana
Hapussemua terjadi untuk yang terbaik, InsyaAllah
HapusSetuju :)
HapusSebuah bencana memang menyisakan luka yang tak akan pernah terlupakan, tetapi dengan bencana itulah Allah menguji kita untuk menjadi lebih baik :)
BalasHapusnice post teman, sangat bermanfaat. moga menang ya GA-nya :D
Salam..
Sepatu! Sepakat dan setuju :)
Hapusbencana ini juga yang membuat temanq hilang entah kemana, kasihan ortunya cpz dia anak tunggal. Semoga Allah menempatkannya di tempat terbaiknya
BalasHapusYang Mbak Yeyen itu yah? Aaamiiin... Semoga mendapat tempat terbaik di sisi Alloh.
HapusMbak, ngilang kemana? Mudik ya? Hehehe
BalasHapusGak ngilang, kok. Masih eksis :p
Hapusbenar mb, sesudah kesulitan itu ada kemudahan..sesudah kesulitan ada kemudahan...
BalasHapusYup. Setelah kesulitan, ada kemudahan. Gak mungkin, kan, Tuhan cuma memberi kesulitan..
HapusMba Milati... congrats atas kemenangan artikel ini yaaaa...... :)
BalasHapusMakasih, Mbak :)
Hapusselamaaatt, yaa.......
BalasHapus