Jumat, 04 Januari 2013

The Lost Java: Tentang Konspirasi, Global Warming, dan Zionis

Apa yang akan terjadi bila es abadi di Antartika mencair? Naiknya permukaan air laut? Tenggelamnya daratan, terutama pulau-pulau kecil? Hanya itu? Tidak, Kawan. Ada ancaman yang lebih mengerikan: methane hydrate, gas metana yang terperangkap dalam struktur kristal air, membentuk solid berupa es. Kau tahu? Ada lebih kurang 400 miliar ton methane hydrate yang terpendam di es Abadi Antartika. Kalau es abadi tersebut mencair, gas methane hydrate akan terlepas sedikit demi sedikit, lalu terus naik hingga mencapai atmosfer. Lah, memangnya kenapa? Ah, iya. Aku belum memberitahumu tentang bahaya gas tersebut. Methane hydrate memiliki efek rumah kaca 25 kali lebih besar daripada gas karbon dioksida.


Itu sebabnya para ilmuwan GarPu (Garuda Putih) melakukan penelitian untuk mencari cara untuk membuat lapisan es abadi baru di Antartika agar gas tersebut tidak ‘terbebas’. Laboratorium GarPu – yang disebut Garpu Lab – berada di Indonesia dan dipimpin oleh Profesor Deni. Dan ternyata ada pihak yang berusaha menjebol jaringan elektronik di laboratorium tersebut. Oleh karena itu, Profesor Deni pun memutuskan untuk meminta para anggota GarPu yang baru saja selesai mengikuti IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) untuk segera datang ke GarPu Lab. Mereka adalah Gia Ihza, Dale Davis, dan Anjeli Joda. Davis membawa serta kekasihnya, Sharma – yang juga adik Joda, ke laboratorium. Selain mereka juga ada Rio, putra Profesor Riyadi. Lah, siapa lagi itu Riyadi? Selain Profesor Deni, ada dua profesor lain yang ikut andil dalam penelitian yang dilakukan GarPu Lab, yaitu Profesor Riyadi – yang melakukan penelitian di Colorado – dan Profesor Wahyu – yang melakukan penelitian di Himalaya.

Profesor Deni pun menugaskan Gia, Davis, Joda, dan Rio untuk menjalankan misi ke Antartika. Davis mengusulkan agar Sharma turut serta dalam misi tersebut dengan pertimbangan kemampuannya dalam bidang kedokteran. Sharma pun diikutkan. Mereka pun tergabung dalam kelompok WAR (Warriors of Antartic). Oh, iya, ada satu orang lagi: Mahmoud. Dia adalah pilot yang membawa mereka ke Antartika dan bisa dibilang menjadi pemandu mereka untuk menuju Vinson Massif, puncak tertinggi di benua tersebut. Betewe, betewe, memangnya misi mereka apa? Misi mereka adalah membuat semacam hujan buatan di Antartika. Dengan suhu Antartika yang begitu dingin, hujan buatan tersebut akan menjadi es. Dengan begitu, akan tercipta lapisan es abadi yang baru sehingga methane hydrate tetap “terlindung". Untuk memperluas sebaran es yang tercipta, mereka juga membawa formula untuk menciptakan badai.

Sayangnya, ternyata ada pihak yang mengganggu misi mereka. Dialah Profesor Keinan yang bekerja untuk Dark Star Knight, organisasi milik Zionis. Dia jugalah yang ternyata sudah membunuh Profesor Riyadi dan Profesor Wahyu. Ternyata Profesor Keinan mengincar formula yang mereka bawa. Untuk apa dia mengincar formula tersebut? Berhasilkah misi WAR di Antartika? Berhasilkah Profesor Keinan merebut formula dari WAR?

Itulah sekilas cerita dalam novel The Lost Java karya Kun Geia. Satu yang kusuka dari novel ini adalah desain sampulnya. Sederhana tapi manis. Asli. Nggak rame tapi tetep eye-catching. Tapiii... Isinya tidak semanis sampulnya. Dari segi ide cerita, novel terbitan IG Press ini sangat menarik. Temanya: global warming, konspirasi, zionis. Sayangnya gaya bahasanya tidak sesuai seleraku. Lumayan ngalar-ngalar menurutku. Dan ada satu lagi yang menggangguku: penggunaan sebutan Prof. dan Doktor. Apakah sebegitu penting menyebut gelar dalam dialog antartokoh? Selain itu, dalam novel ini kerap digambarkan tokoh-tokohnya memanggil “Prof. Deni”, “Prof. Wahyu”, “Prof. Riyadi”. Entah kenapa aku merasa penyingkatan tersebut ganjil. Apa mungkin aku terlalu terpengaruh oleh Harry Potter yang menyebut Professor Mc.Gonagal dan Professor Snape tanpa menyingkatnya menjadi Prof. Mc.Gonagal dan Prof. Snape sehingga aku merasa Profesor lebih enak didengar dibandingkan Prof? Aku merasa aneh juga ketika Mahmoud memanggil Gia dengan sebutan Doktor. Oh, ya, ada satu lagi yang aneh: di awal cerita disebutkan bahwa Davis dan Sharma adalah sepasang kekasih tapi tinggal bersama alias samen level tapi di akhir cerita disebutkan bahwa Davis adalah suami Sharma. Mana yang betul? Apa iya gara-gara tinggal bersama mereka dianggap suami istri? Brad Pitt saja tidak pernah mengakui Angelina Jolie sebagai istrinya meskipun mereka tinggal bersama. Lho? Kenapa jadi membahas gosip? Halah...

Kisah cinta antara Gia dan Husna juga membuat novel ini jadi membosankan. Khutbah di pernikahan mereka juga agak gimanaaa gitu. Isi khutbahnya, sih, bagus. Sangat bagus malah. Tapi, khutbah itu ibarat air mancur yang cuaaantiiik sekali tapi letaknya di kamar tidur bukan di taman. Mungkin dalam novel lain – terutama novel bergenre romantis – khutbah pernikahan ini akan sangat bagus. Tapi, dalam novel bertema konspirasi seperti The Lost Java ini khutbah tersebut terkesan too much. Penggunaan istilah ilmiah juga terkesan berlebihan. Penggunaan footnote untuk menjelaskan istilah ilmiah yang digunakan dalam cerita juga membuatku capek bolak-balik mengintip ke footnote. Padahal, bisa saja istilah tersebut dijelaskan lewat cerita, tidak perlu dibuat footnote. Apakah penulis novel ini terinspirasi oleh Dee (Dewi Lestari) yang menggunakan banyak footnote dalam novelnya? Penjelasan organisasi-organisasi Zionis juga membuatku seperti sedang ikut seminar. Perlu, ya, dijelaskan sedetail itu? Padahal tidak terlalu mempengaruhi jalannya cerita.

Ah, sudahlah. Jadi terlalu banyak mencela. Maaf, ya, Kun Geia... Semoga saja si Kun Geia ini tidak berniat untuk menjawab semua protesku dengan kalimat, “Nyela mulu. Emangnya bisa bikin novel yang lebih bagus dari punya gue?” Ya, sudah. Kutambahkan pujian dulu, ah. Ada bagian yang seru di novel ini yaitu bagian ketika Gia terkena frostbite. Yah, meskipun terkesan aneh juga. Masa iya, orang secerdas Gia bisa melakukan kecerobohan fatal dengan tidak mengenakan expedition mitten (sarung tangan yang sangat tebal yang bisa menahan suhu sampai -40° C)? Masa iya dalam misi sepenting ini Mahmoud sebagai pemandu tidak memeriksa perlengkapan yang digunakan orang-orang yang dipandunya sampai tidak tahu kalau Gia tidak memakai expedition mitten? Laaah, niat awal memuji. Tapi, kok, malah mencela lagi?

Sekali lagi maaf, ya, Kun Geia... Sungguh, aku berharap dia tidak berkata seperti yang kutakutkan di atas karena keahlianku adalah membaca dan memuji atau mencela novel, bukan membuat novel. Peace, ah, Kun Geia!

27 komentar:

  1. o mbak mila nggak suka istilah ilmiah ya? hmmmm

    BalasHapus
  2. Ini novel sains fiction ya? Asli karangan lokal? Wah musti punya nih aku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ho'oh, sanis fiction, penulisnya orang Indonesia. Harganya 63.000 *eh, napa pake nyebut harga?*

      Hapus
  3. Kalo sebutan prof. menurutku wajar kak, soalnya dosenku yang profesor waktu berdialog dg mahasiswa juga disebut Prof. Andrik, Prof Pawito, : "Jadi begini, Prof. Saya mau tanya, Prof." dsb. hehe.

    Jadi novel di atas mungkin seperti novelnya kak Rizki Ridyasmara, begitukah? Tujuannya mungkin ingin memberitahu pembaca bahwa ada konspirasi zionis, tapi dibalut dengan cerita yang membosankan. Terinspirasi oleh Dan Brown juga mungkin ya.... Tapi oom Dan Brown membuat novelnya dengan alur yang bagus. Betewe, katanya global warming cuma isu belaka lho kak... fufufufu ~au ahh gelap~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo cuma Prof -- tanpa diikuti nama -- mungkin masih enak didengar. Tapi, kalau udah diikuti nama jadi aneh.

      Belum baca novelnya Rizki Ridyasmara, siiih...
      Awal-awal juga berekspektasi ini mirip novel Dan Brown, soalnya settingnya Antartika, mirip sama Deception Point-nya Dan Brown. Tapi, ternyata gak seseru Dan Brown. *tuh, kan, jadi nyela lagi*
      Di novel ini juga diceritain kalo global warming cuma isu. Tapi, tokoh di dalamnya juga bilang kalo isu itu memang bener, hanya saja isu itu disalahgunakan untuk menakut-nakuti masyarakat gitu deh. Ah, embuh.

      Hapus
  4. ikutan nyimak kawan. sepertinya ceritanya menarik nih...hehehe

    terimakasih kawan sudah berbagi dan salam kenal.

    BalasHapus
  5. Kayaknya ide ceritanya bagus tuh ndah, mungkin balutan ceritanya yang kurang sesuai selera kamu ya hehehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ho'oh. Kayaknya bahasanya nggak sesuai seleraku :D

      Hapus
  6. Gaya bahasanya tinggi banget, jadi banyakmikir
    Lebih suka bacaan santai aja *lemot parah hehehe

    BalasHapus
  7. siapa bilang novel indonesia tidak berkualitas...ini adalah salah satu buktinya :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukti novel Indonesia berkualitas atau tidak berkualitas???

      Hapus
  8. pengambilan ide yg bagus nh..
    nyimak dahh..
    bagus nh posting..

    BalasHapus
  9. gak bisa dibaca sambil momong anak nih kalau banyak mikirnya :)

    BalasHapus
  10. awalnya saya kira karya ilmiahh..hehe

    ternyata bahas novel ya..

    tapi terimakasih , hari ini bw asik...

    setiap mampir ke blog temans apsti ada saja pelajarann..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, mengecoh, ya? Maaf...
      Tumben Rahma bw sambil komen :D

      Hapus
  11. sama seperti yg diatas, pas awal baca saya kira tulisan "nyata" real ternyata owh sebuah novel yg bener2 kerasa real :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, jadi nggak enak karna terkesan mengecoh...

      Hapus
  12. prof di indonesia emang udah jadi nama panggilan buat mereka yg udah punya gelar tersebut.
    setidaknya itu yg ada di kampus ku..
    makasih mba buat resensinya hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih buat resensinya? Memangnya ini siapa? Kun Geia ya? Kok pakai akun anoniiiiim? Gak asik ah.

      Hapus
    2. Oh, iya. Yang saya maksud singkatan prof di sini bukan ketika salah satu tokoh hanya memanggil prof melainkan ketika tokoh itu memanggil "prof deni, prof wahyu". Bagi saya itu masih janggal.

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!