Aku suka Pukat? Yang benar saja. Mas Wukir ini ada-ada saja. Memangnya
kalau aku membelikan Pukat makanan berarti aku menyukainya? Dia, kan, bukan
satu-satunya teman laki-laki yang kubelikan makanan. Eh, tunggu. Sepertinya ...
Selain Mas Wukir, sepertinya memang cuma Pukat teman laki-laki yang kubelikan
makanan. Selama ini aku tidak sudi berbaik hati pada teman laki-laki termasuk
tidak sudi membelikan makanan. Tapi, bukan berarti aku suka Pukat, kan? Aku
tidak suka Pukat. Aku hanya ... Aku hanya ... Aku hanya suka senyumnya, aku
hanya suka tatapan matanya yang tetap tenang meskipun aku melancarkan tatapan
penuh intimidasi, aku hanya suka bercanda dengannya. Hanya itu. Bukan berarti aku suka
Pukat, kan?
***
Setelah beberapa jam berkutat dengan komputer, saatnya aku melarikan
diri. Yeah, sudah saatnya makan siang. Itu berarti sudah saatnya kabur ke
kantin dan MAKAN! Biasanya di jam makan siang begini kantin ramai. Terlambat
sedikit saja, meja sudah penuh. Untungnya ada Matari yang ruangannya paling
dekat kantin. Dialah yang paling dulu pergi ke kantin untuk mencari tempat
duduk untuk Sasi dan aku. Begitu pun hari ini. Saat aku datang, Matari sudah
duduk (sok) manis di meja paling ujung. Masih ada empat kursi kosong lagi. Saat
aku baru duduk, Sasi pun datang. Lengkap sudah. Tinggal memesan makanan. Hari
itu kami bertiga memesan makanan yang sama: gado-gado. Sepertinya aku sedang
beruntung hari ini.
“Katanya kemarin server rusak, Na? Trus gimana entry-nya?” tanya Sasi.
“Aplikasi buat server-nya udah ku-install di PC biasa kemarin siang.
Jadi, tadi pagi udah mulai entry lagi. Tinggal nunggu data yang diambil dari server.
Lagi diurus sama Mas Wukir. Barusan juga server-nya udah dikirim ke vendor buat
dibenerin,” jawabku panjang lebar sebelum mereka berdua bertanya lebih lanjut.
Tak lama kemudian, pesanan pun datang. Tiga piring gado-gado tersaji
di meja. Sungguh menggoda.
“Mas Wukir memang the one you can always count on!” gumam Matari dan
disambut anggukan Sasi yang duduk di sampingnya.
“Yup!” jawabku singkat karena sibuk menghajar gado-gado.
Tiba-tiba ada dua orang menghampiri meja kami. Pukat dan Baruna.
“Boleh gabung nggak? Meja lain udah penuh,” kata Pukat yang berdiri
sambil membaca sepiring makanan – entah apa makanannya. Sepertinya dia belum
ahli dalam kompetisi perebutan meja kantin jadi dia membeli makanan dulu baru
mencari tempat duduk. Ah, dasar newbie!
“Silakan!” jawab Sasi. Baruna langsung duduk di sampingnya sedangkan
Pukat duduk di sebelahku.
Gado-gadoku sudah habis. Aku pun tersenyum pada Sasi yang langsung
paham arti senyumku. Dia memberikan jagung rebus yang ada di gado-gadonya
padaku. Saat aku melihat Matari, dia langsung melengos.
“Nggragas! Lain kali kamu pesan gado-gado nggak usah pake sayur. Pake
jagung rebus aja sepiring,” Matari mengomel meskipun tetap saja dia memberikan
jagung rebusnya padaku.
Pukat yang duduk di sampingku pun tiba-tiba meletakkan jagung rebus di
piringku. Rupanya dia juga beli gado-gado. Ah, memang hari ini hari keberuntunganku.
“Pukat manis banget kalau sama Mbak Nana,” sindir Baruna. Pukat hanya
tersenyum mendengarnya.
“Oh, ya, Mbak. Mau tahu nggak apa yang dibilang Mas Sunu waktu entry
malam tiga hari yang lalu?”
“Apa?” aku penasaran pada cerita Baruna.
“Kata Mas Sunu, Pukat itu ibarat pawangnya Mbak Nana. Soalnya Mbak
Nana ramah dan baik banget sama Pukat, nggak kaya ke cowok lain. Jinak banget.
Ups!” Baruna menutup mulutnya setelah menyadari sudah kelepasan bicara.
Pawang? Jinak? Memangnya aku binatang buas? Benar-benar cari mati Si
Sunu!
***
Sudah seminggu setelah tragedi server rusak. Semua dokumen sudah
selesai di-entry. Pagi tadi Pawana menerima email dari Wukir. Isinya hasil
entry di server yang rusak. Berarti Pawana tinggal menggabungkan data itu
dengan data hasil entry terakhir, kemudian divalidasi. Beban pekerjaan Bagian
Pengolahan Data sudah sedikit ringan sehingga staf bagian lain yang tadinya
dibajak pun akan segera ‘dikembalikan’, termasuk Pukat dan Baruna. Bahkan, staf
Bagian Pengolahan Data besok justru dipinjamkan ke Bagian Diseminasi, salah
satunya Sunu. Dan berarti selesai pula penderitaan Sunu yang selama seminggu
harus menghadapi sikap judes Pawana gara-gara omongannya ke Baruna yang
dibocorkan ke Pawana.
“Makasih, teman-teman, atas bantuannya!” kata Pawana ketika dokumen
terakhir selesai di-entry.
“Sama-sama!” jawab semua pasukan entry data.
“Jadi, besok saya nggak perlu ke ruangan ini lagi?” tanya Pukat
retoris.
“Iya, nggak perlu. Kembalilah ke habitat asalmu, Kisanak!” canda
Pawana.
“Yah, nggak bisa sering-sering ketemu kamu, dong! Nanti kamu kangen
sama aku,” Pukat mulai menggoda Pawana.
Perasaan Pawana campur aduk, antara kesal karena Pukat yang makin
berani menggodanya dan senang karena digoda. Perasaan yang rumit. Dia pun
berusaha diam, tidak menunjukkan ekspresi apapun, baik senang ataupun marah.
“Wuih, makin mesra aja. Udah, nikah aja sana!” Baruna merasa mendapat
angin untuk meledek Pawana dan Pukat, sejenak dia lupa betapa galaknya Pawana
dan betapa bahaya kalau meledeknya.
Pawana hanya melirik ke arah Baruna. Bengis. Baruna langsung mengemasi
tasnya lalu bergegas ke ruangannya. Kabur.
*bersambung
Membelikan makanan bukan berarti suka kan, mbak? :)
BalasHapus#salam kenal
yup :D
Hapuskomen apa yah..?
BalasHapustar salah lagi
suer belum baca...
*jadi disambit sandal gak..?
njelehi :(
Hapusngko, tak balang sendal sing wis bodol :p
Biasanya karena godaan ringan akan menumbuhkan rasa cinta lho. Sikap bisa ditutupi tapi hati tak bisa dibohongi.
BalasHapusYang 10 besok diterbitkan kan?
belum sempat ngelanjutin. sorry ya :D
HapusOke deh, bukan berarti suka pada Pukat.
BalasHapusHanya suka pada apa2 yang ada pada Pukat. Toss ya :D
iya. toss!
Hapuspukat itu makanan?
BalasHapushaaaaaaaaaah? pasti nggak baca ceritanya deh...
Hapuspukat itu apa mbak?
BalasHapusdi cerita ini pukat itu nama orang -_-
Hapus