Minggu, 28 Juli 2013

Menjaring Angin (9)

Aku suka Pukat? Yang benar saja. Mas Wukir ini ada-ada saja. Memangnya kalau aku membelikan Pukat makanan berarti aku menyukainya? Dia, kan, bukan satu-satunya teman laki-laki yang kubelikan makanan. Eh, tunggu. Sepertinya ... Selain Mas Wukir, sepertinya memang cuma Pukat teman laki-laki yang kubelikan makanan. Selama ini aku tidak sudi berbaik hati pada teman laki-laki termasuk tidak sudi membelikan makanan. Tapi, bukan berarti aku suka Pukat, kan? Aku tidak suka Pukat. Aku hanya ... Aku hanya ... Aku hanya suka senyumnya, aku hanya suka tatapan matanya yang tetap tenang meskipun aku melancarkan tatapan penuh intimidasi, aku hanya suka bercanda dengannya. Hanya itu. Bukan berarti aku suka Pukat, kan?

***

Setelah beberapa jam berkutat dengan komputer, saatnya aku melarikan diri. Yeah, sudah saatnya makan siang. Itu berarti sudah saatnya kabur ke kantin dan MAKAN! Biasanya di jam makan siang begini kantin ramai. Terlambat sedikit saja, meja sudah penuh. Untungnya ada Matari yang ruangannya paling dekat kantin. Dialah yang paling dulu pergi ke kantin untuk mencari tempat duduk untuk Sasi dan aku. Begitu pun hari ini. Saat aku datang, Matari sudah duduk (sok) manis di meja paling ujung. Masih ada empat kursi kosong lagi. Saat aku baru duduk, Sasi pun datang. Lengkap sudah. Tinggal memesan makanan. Hari itu kami bertiga memesan makanan yang sama: gado-gado. Sepertinya aku sedang beruntung hari ini.

“Katanya kemarin server rusak, Na? Trus gimana entry-nya?” tanya Sasi.

“Aplikasi buat server-nya udah ku-install di PC biasa kemarin siang. Jadi, tadi pagi udah mulai entry lagi. Tinggal nunggu data yang diambil dari server. Lagi diurus sama Mas Wukir. Barusan juga server-nya udah dikirim ke vendor buat dibenerin,” jawabku panjang lebar sebelum mereka berdua bertanya lebih lanjut.

Tak lama kemudian, pesanan pun datang. Tiga piring gado-gado tersaji di meja. Sungguh menggoda.

“Mas Wukir memang the one you can always count on!” gumam Matari dan disambut anggukan Sasi yang duduk di sampingnya.

“Yup!” jawabku singkat karena sibuk menghajar gado-gado.

Tiba-tiba ada dua orang menghampiri meja kami. Pukat dan Baruna.

“Boleh gabung nggak? Meja lain udah penuh,” kata Pukat yang berdiri sambil membaca sepiring makanan – entah apa makanannya. Sepertinya dia belum ahli dalam kompetisi perebutan meja kantin jadi dia membeli makanan dulu baru mencari tempat duduk. Ah, dasar newbie!

“Silakan!” jawab Sasi. Baruna langsung duduk di sampingnya sedangkan Pukat duduk di sebelahku.

Gado-gadoku sudah habis. Aku pun tersenyum pada Sasi yang langsung paham arti senyumku. Dia memberikan jagung rebus yang ada di gado-gadonya padaku. Saat aku melihat Matari, dia langsung melengos.

“Nggragas! Lain kali kamu pesan gado-gado nggak usah pake sayur. Pake jagung rebus aja sepiring,” Matari mengomel meskipun tetap saja dia memberikan jagung rebusnya padaku.

Pukat yang duduk di sampingku pun tiba-tiba meletakkan jagung rebus di piringku. Rupanya dia juga beli gado-gado. Ah, memang hari ini hari keberuntunganku.

“Pukat manis banget kalau sama Mbak Nana,” sindir Baruna. Pukat hanya tersenyum mendengarnya.

“Oh, ya, Mbak. Mau tahu nggak apa yang dibilang Mas Sunu waktu entry malam tiga hari yang lalu?”

“Apa?” aku penasaran pada cerita Baruna.

“Kata Mas Sunu, Pukat itu ibarat pawangnya Mbak Nana. Soalnya Mbak Nana ramah dan baik banget sama Pukat, nggak kaya ke cowok lain. Jinak banget. Ups!” Baruna menutup mulutnya setelah menyadari sudah kelepasan bicara.

Pawang? Jinak? Memangnya aku binatang buas? Benar-benar cari mati Si Sunu!

***

Sudah seminggu setelah tragedi server rusak. Semua dokumen sudah selesai di-entry. Pagi tadi Pawana menerima email dari Wukir. Isinya hasil entry di server yang rusak. Berarti Pawana tinggal menggabungkan data itu dengan data hasil entry terakhir, kemudian divalidasi. Beban pekerjaan Bagian Pengolahan Data sudah sedikit ringan sehingga staf bagian lain yang tadinya dibajak pun akan segera ‘dikembalikan’, termasuk Pukat dan Baruna. Bahkan, staf Bagian Pengolahan Data besok justru dipinjamkan ke Bagian Diseminasi, salah satunya Sunu. Dan berarti selesai pula penderitaan Sunu yang selama seminggu harus menghadapi sikap judes Pawana gara-gara omongannya ke Baruna yang dibocorkan ke Pawana.

“Makasih, teman-teman, atas bantuannya!” kata Pawana ketika dokumen terakhir selesai di-entry.

“Sama-sama!” jawab semua pasukan entry data.

“Jadi, besok saya nggak perlu ke ruangan ini lagi?” tanya Pukat retoris.

“Iya, nggak perlu. Kembalilah ke habitat asalmu, Kisanak!” canda Pawana.

“Yah, nggak bisa sering-sering ketemu kamu, dong! Nanti kamu kangen sama aku,” Pukat mulai menggoda Pawana.

Perasaan Pawana campur aduk, antara kesal karena Pukat yang makin berani menggodanya dan senang karena digoda. Perasaan yang rumit. Dia pun berusaha diam, tidak menunjukkan ekspresi apapun, baik senang ataupun marah.

“Wuih, makin mesra aja. Udah, nikah aja sana!” Baruna merasa mendapat angin untuk meledek Pawana dan Pukat, sejenak dia lupa betapa galaknya Pawana dan betapa bahaya kalau meledeknya.

Pawana hanya melirik ke arah Baruna. Bengis. Baruna langsung mengemasi tasnya lalu bergegas ke ruangannya. Kabur.


*bersambung

12 komentar:

  1. Membelikan makanan bukan berarti suka kan, mbak? :)

    #salam kenal

    BalasHapus
  2. komen apa yah..?
    tar salah lagi
    suer belum baca...

    *jadi disambit sandal gak..?

    BalasHapus
    Balasan
    1. njelehi :(

      ngko, tak balang sendal sing wis bodol :p

      Hapus
  3. Biasanya karena godaan ringan akan menumbuhkan rasa cinta lho. Sikap bisa ditutupi tapi hati tak bisa dibohongi.

    Yang 10 besok diterbitkan kan?

    BalasHapus
  4. Oke deh, bukan berarti suka pada Pukat.
    Hanya suka pada apa2 yang ada pada Pukat. Toss ya :D

    BalasHapus
  5. Balasan
    1. haaaaaaaaaah? pasti nggak baca ceritanya deh...

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!