Sabtu, 01 September 2012

Ayahku (Bukan) Pembohong

Gambar pinjam dari sayakamukalian.wordpress.com
Sejatinya aku tidak pernah bisa membenci cerita-cerita Ayah, aku bahkan menggunakannya dalam hidupku, mulai dari yang terlihat seperti desain-desain yang kubuat, hingga yang tidak terlihat seperti pemahaman hidup dan perangaiku.

Tetapi aku membenci Ayah yang yakin sekali bilang itu kisah nyata. Seolah-olah ia terlibat dalam cerita, menunggang layang-layang, mengunyah apel emas, dan bersahabat baik dengan Sang Kapten.

Begitulah sebenarnya yang dirasakan Dam. Dam bukannya tidak suka ayahnya bercerita pada Zas dan Qon, kedua anaknya. Dia hanya tidak suka ayahnya bercerita seolah-olah cerita itu memang nyata. Dia tidak suka ayahnya bercerita seolah-olah ayahnya memang ‘terlibat’ dalam cerita itu.

Dulu, sewaktu Dam masih seumuran Zas dan Qon, dia juga percaya sepenuhnya pada cerita ayahnya sebagaimana Zas dan Qon juga percaya pada cerita kakeknya. Misalnya pada cerita tentang Lembah Bukhara, lembah paling indah di dunia. Dia percaya ayahnya pernah ke sana dan makan apel emas yang dihasilkan di lembah tersebut. Juga cerita tentang Sang Kapten, pemain bola kesayangannya. Dia percaya bahwa ayahnya pernah mengenal Sang Kapten sewaktu kuliah di luar negeri – saat itu Sang Kapten masih berumur delapan tahun. Dia juga percaya bahwa ayahnya memang pernah bertemu Suku Penguasa Angin dan pernah naik layang-layang bersama mereka. Dia menganggap semuanya itu nyata, bukan imajinasi.

Tapi, semua mulai berubah setelah dia sekolah di Akademi Gajah, tepatnya di tahun kedua. Ketika dia dan kawannya, Retro, sedang dihukum membersihkan perpustakaan, mereka menemukan buku cerita Apel Emas Lembah Bukhara. Ketika Dam mengatakan bahwa ayahnya pernah ke Lembah Bukhara, Retro pun menduga bahwa ayahnya pernah membaca buku tersebut lalu menceritakannya kepada Dam dan seolah-olah dia pernah ke sana. Dan keesokan harinya ketika mereka kembali membersihkan perpustakaan, mereka menemukan buku lainnya, yaitu buku tentang Suku Penguasa Angin. Lagi-lagi Retro berpendapat bahwa ayah Dam mengutip cerita dari buku tersebut dan bercerita seolah-olah dia pernah bertemu mereka.

Dan ketika pulang di saat liburan, Dam kembali mendengarkan cerita ayahnya. Kali ini tentang si Raja Tidur, profesor universitas ternama Eropa, bisa menggunakan dua belas bahasa, dan menguasai delapan cabang ilmu. Dia adalah hakim yang sangat adil dan dia juga hakim yang berani memenjarakan presiden. Dam pun bertanya, “Apakah si Raja Tidur benar-benar ada, Yah?” Pertanyaan itu membuat ayah Dam tersinggung. Namun, hari-hari berikutnya ayah Dam sudah tidak lagi mengingat pertanyaan Dam yang menyinggung itu. Hingga di malam perayaan ulang tahun ibunya, demi melihat apel yang dihidangkan sebagai makanan penutup, Dam kelepasan bertanya, “Apakah apel emas itu sungguhan, Yah?” Kali ini ayahnya benar-benar marah karena dituduh berbohong. Hingga kemudian Dam pun membuat kesimpulan: “Cerita-cerita Ayah adalah cara ia mendidikku agar tumbuh menjadi anak yang baik, memiliki pemahaman hidup yang berbeda. Cerita Ayah adalah hadiah, hiburan, dan permainan terbaik yang bisa diberikan Ayah, karena kami hidup sederhana, apa adanya.”

Dan ketika mengetahui ibunya sakit keras – sebenarnya ibunya sakit sejak sebelum Dam lahir, tapi Dam baru mengetahui ketika dia sudah di tahun ketiga di Akademi Gajah – Dam berhenti mempercayai cerita ayahnya.

Itu adalah sekilas tentang cerita dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong terbitan Gramedia Pustaka Utama. Novel setebal 304 halaman ini menceritakan masa kecil Dam, masa remaja Dam, dan masa dewasanya (ketika sudah punya dua anak: Zas dan Qon) dengan alur maju mundur. Misalnya, ketika ayah Dam bercerita kepada Zas dan Qon tentang Penguasa Angin, setelah itu setting berganti menjadi cerita ketika Dam kecil sedang mendengarkan cerita ayahnya. Sepertinya Tere Liye memang ahli dalam membuat alur cerita semacam ini, dan sepertinya memang suka menggunakannya. Buktinya dia sudah menggunakan alur semacam ini (setahuku) di novelnya yang lain yang berjudul Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin dan Negeri Para Bedebah, juga di sebagian novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah.

Novel yang terbit pertama pada April 2011 ini termasuk menarik karena ide ceritanya lain dari yang lain: seorang ayah yang suka bercerita kepada anaknya. Novel ini juga sarat nilai moral. Ada pelajaran untuk bersabar menghadapi musuh seperti dalam kisah Suku Penguasa Angin yang terus bersabar menghadapi penjajah selama 200 tahun. Ada pelajaran untuk mencintai lingkungan seperti dalam kisah Lembah Bukhara. Ada pelajaran tentang semangat, kerja keras, dan pantang menyerah dari cerita Sang Kapten.

Tapi, ada satu yang mengusikku. Nama-nama tokohnya. Nama sebagian tokohnya berbau India. Sebut saja Jarjit – musuh besar Dam ketika sekolah – dan Taani – teman masa kecil yang akhirnya jadi istri Dam. Hmm, Jarjit? Apa Tere Liye terinspirasi oleh salah satu tokoh Upin Ipin? Lalu, Taani? Jangan-jangan dia terinspirasi setelah menonton film Rab Ne Bana Di Jodi? Hihihi, kok, malah jadi menuduh begini? Abaikan saja. Yang jelas, novel ini mengharukan, terutama saat  ayah Dam berkata, “Boleh aku memeluk kau?” Akhir cerita ini juga mengharukan. Dam mendapatkan bukti bahwa ayahnya tidak berbohong – tepat ketika pemakaman ayahnya. Pokoknya, novel ini menarik!

20 komentar:

  1. Sebenernya saia rada males buat komen begini (karena bisa bikin orang sebel sama saia): Cerita buku ini mirip banget sama film The Big Fish.

    Di The Big Fish, ayahnya bercerita tentang negeri dongeng (dan cerita petualangan laen) dan hal-hal yang ada di sana. Waktu pertama kali datang ke negeri dongeng itu, Ayahnya ngelempar sepatu trus nyangkut di semacam kebal gitu. Di akhir cerita, anaknya dateng ke negeri dongeng itu dan ngeliat sepatu ayahnya nyangkut di kabel. Dari situ dia tahu ayahnya gak boong.

    Mirip plek! -_______-"

    Masalahnya lagi, The Big Fish itu film yang dapet Oscar. Jadi, kalo ada orang yang mau ngecek, gampang banget. :D

    Kalo sekedar mirip, heee ... mungkin bisa kalo hanya beberapa element. Tapi kalo udah plot, ide, tokoh, twist, sampe setiing.... *speechless*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di akhir novel ini juga ada catatan penulis tentang itu, bahwa banyak yang menganggap novel ini mirip novel The Big Fish (gak disebut tentang film nya), sedangkan dia sendiri belum pernah baca novel itu. Jadi, mungkin ini termasuk kasus "kesejiwaan" kali, yaaa..

      Hapus
    2. hmm, memang ada yg kesejiwaan bgtu?
      tapi mungkin juga sih, krn kadang sy sendiri sering menemukan banyak "ide" yang sebenarnya mengendap dikepala justru keluar dengan sempurna di jurnal/blog orang lain.

      tapi, tidak amat sangat identik sih

      Hapus
    3. Kalo aku pribadi, sih, menganggap kesejiwaan itu bukan hal mustahil. Bisa saja terjadi meskipun amat jarang. Ide dalam kepala manusia besar kemungkin berbeda satu sama lain. Tapi tidak mustahil kalau ada dua orang atau lebih yang memiliki ide mirip atau bahkan nyaris persis. Tapi nggak tahu juga novel ini termasuk plagiat atau sekadar kesejiwaan. Wallohu a'lam.

      Hapus
  2. beberapa tahun lalu, saya sepertinya pernah membaca beberapa buku dengan thema yang serupa..tapi saya sudah lupa judulnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah, kok, gak inget, sih? Kan, lumayan buat referensi.

      Hapus
  3. belum baca bukunya juga buku the big fish

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nanti kalo udah baca The Big Fish, di share ya..

      Hapus
  4. tere liye sepertinya mmg paling jago klo yg mengharu biru yah. ane belum baca yg ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Etapi novel yang Negeri Para Bedebah ga mengharu biru loh.. Malah seru.

      Hapus
  5. yup mirip sama film the big fish saya pernah nonton bbrp kali filmnya.. :)

    BalasHapus
  6. betul sekali setelah baca reviewnya disini... ceritanya mirip big fish.... coba deh dilihat sama tidak ya....

    BalasHapus
  7. ceritanya mirip film disney yah.. pokoknya tipikal film krluarga

    BalasHapus
  8. Iya bener banget mbak. Tere Liye memang piawai banget dalam membuat alur maju mundur. Perasaan di sebagian besar novelnya memakai alur seperti ini. Namun sayangnya saya sendiri belum memiliki novel yang satu ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, suka nyampur2in gitu. tapi kok ya nyambung.

      Hapus
  9. millati, coba deh nonton film big fish. aq sih ga nemu novelnya di Indonesia. aq baca duluan novel yg ayahku (bukan) pembohong, dan baru-baru ini nonton filmnya. ga tau ya siapa menginspirasi siapa, tapi bener-bener plek plek mirip dari jalan ceritanya, plotnya, settingny, dll.

    BalasHapus
    Balasan
    1. yah, anonim. pake Name/URL kan bisa. ato minimal kalo anonim kasih nama lah. berasa ngomong ama hantu.

      ampe sekarang saya juga belum nemu bukunya ataupun nonton filmnya. susah nyari film lama di kampung -_-

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!