Salah satu hal yang sulit kulakukan
adalah mendelegasikan tugas pada orang yang tidak akrab denganku. Dan sayangnya,
aku tidak akrab dengan semua KSK (petugas) di kantorku. Kadang, terkesan aku “memonopoli”
pekerjaan dan tidak memberi kesempatan pada orang lain untuk mengerjakannya. Setidaknya
itu kesan yang kutangkap dari pernyataan ‘seseorang’. Padahal, sebenarnya aku
hanya merasa tidak enak hati memberi pekerjaan pada orang yang tidak akrab
denganku. Kalau dengan teman akrabku, aku bisa dengan ringan hati – bahkan,
mungkin kadang terkesan semena-mena – memintanya membantuku menyelesaikan
pekerjaan. Kalau dengan yang lain? Rasanya rikuh
(apa sinonim kata rikuh dalam Bahasa
Indonesia?). Lagipula, aku pernah beberapa kali meminta tolong pada para KSK
untuk membantuku meng-entry hasil
pencacahan, dan mereka memberikan berbagai macam alasan: mau turun ke lapangan,
mau memeriksa dokumen, pokoknya macam-macam, tapi intinya tidak mau. Karena beberapa kali
mereka menolak, aku pun malas meminta tolong lagi. Jadilah aku sering mengerjakan
tugas hanya dengan bantuan dua orang temanku.
Hingga akhirnya ada satu pekerjaan yang
mau tidak mau membuatku harus meminta tolong pada para KSK. Sebenarnya tiap
semester kami harus meng-update peta
desa-desa yang mengalami pemekaran. Tentu saja aku bingung. Aku tidak tahu
bagaimana menyuruh mereka. Awalnya aku meminta tolong pada empat orang. Yang
satu merespon dengan baik, yang satu ogah-ogahan,
yang satu melaporkan bahwa menurut geuchik (kepala desa) batas desanya belum
jelas jadi belum bisa digambar petanya, dan yang satu bertanya, “Ini ada
uangnya nggak?” Pertanyaan itu
membuatku merasa... merasa... entah bagaimana perasaanku saat itu. Antara marah,
bingung, capek hati, dan entah apa lagi. Yang pasti, pertanyaan itu membuatku ‘mogok’
mengurusi peta. Aku memutuskan untuk fokus pada tugas lain saja.
Dan beberapa bulan kemudian, ada surat
yang menginstruksikan untuk meng-update
peta desa pemekaran untuk persiapan Sensus Pertanian. Itu artinya, pekerjaan
yang beberapa bulan kutunda mau tidak mau harus diselesaikan. Dan itu berarti
aku harus meminta tolong lagi pada para KSK. Karena aku sudah tidak enak hati,
aku pun meminta tolong pada kawanku, sebut saja Z untuk menyuruh mereka. Setahuku,
mereka lumayan patuh pada kawanku ini. Kawanku ini pun mengiyakan tapi tidak
menjanjikan mereka mengerjakan segera dengan alasan banyak pekerjaan lapangan. Aku
benar-benar berharap bantuannya, jadi aku berkali-kali memintanya untuk
menyuruh para KSK membuat peta. Jawabannya hanya iya iya saja. Tapi, ternyata
dia jugs tidak enak hati karena para KSK sedang sibuk. Dia pun tentunya lebih
mengutamakan mereka untuk segera menyelesaikan pekerjaan lapangan. Sampai aku
pun kesal dan berkata, “Kerjaan IPDS (IPDS itu seksi tempat aku bertugas) selalu
jadi prioritas terakhir. Nyebelin!”
Deadline
pun terlewati. Aku baru menagih peta dari beberapa orang – yang auranya tidak
membuatku rikuh ataupun bete. Satu orang tidak perlu kutagih
justru meminta sendiri bahan padaku. Satu orang, sebut saja Pak M, belum
kutagih karena auranya membuat rikuh dan aku meminta Q menagih padanya. Satu lagi
belum kutagih karena dia sudah kusuruh dari beberapa bulan lalu dan reaksinya ogah-ogahan dan auranya sungguh
membuatku bete level insane, sebuat saja namanya R. Dan aku
pun mengandalkan Z untuk menagih pada R. Apakah Z menagih pada dua orang itu?
Ternyata tidak. Akhirnya aku ‘mengenakkan hatiku’ untuk ‘menyuruh’ kedua orang
itu.
Lalu, pagi hari ketika aku sedang membuat
peta, kudengar suara R di dapur. Kebetulan ruanganku dekat dengan dapur, jadi
kalau ada orang berbincang keras di dapur, aku bisa mendengar. Dan si R
ternyata mengatakan kepada bos bahwa aku baru menyuruhnya membuat peta, jadi
wajar kalau dia terlambat menyelesaikan. Rasanya... rasanya... rasanya... Aku
tidak bisa menemukan kata yang lebih tepat selain kata ‘sakit’. Kalau Pak M
yang mengatakan hal tersebut, mungkin aku terima. Aku memang terlambat meminta
Pak M membuat peta. Sedangkan R? Sudah sejak beberapa bulan lalu kuminta.
Aku tidak tahan mendengarnya. Langsung kunyalakan
musik di laptop sekeras-kerasnya. Lagunya pun lagu rock. Tujuanku agar aku tidak mendengar kata-kata mereka sehingga
aku tidak down dan kehilangan mood bekerja. Tapi, tetap saja
kata-katanya terngiang di telingaku. Aku membuat peta sambil menangis. Untungnya
petanya tidak sampai basah dan rusak.
Selain R, ternyata KSK yang lain juga
bersuara sumbang. Seakan semuanya menyalahkanku atas keterlambatanku memberikan
tugas. Awalnya aku ingin membela diri. Tapi, setelah kupikir-pikir, memang aku
salah dalam hal ini. Yah, meskipun aku merasa itu bukan sepenuhnya salahku,
tetap saja aku punya andil kesalahan. Aku juga ingin menyalahkan Z. Tapi, buat
apa? Tetap saja yang lain menyalahkanku. Dan menyalahkan Z pun tidak
mempercepat pekerjaan. Akhirnya aku pun sampai pada kondisi “ya, sudahlah”.
Kalau mereka mau menyalahkanku, ya, sudahlah, silakan menyalahkanku. If they want to blame, then just blame me.
Kalau mereka mau membenciku, ya, sudahlah, benci saja aku. Bahkan, aku yang
biasanya curhat kepada temanku dengan tujuan mendapatkan pembelaan, pada saat
itu curhat hanya sekadar ingin mencurahkan isi hati, tidak mengharapkan
pembelaan. Kalaupun yang kucurhati ikut menyalahkanku, ya, sudahlah. Ketika
mereka mengeluh, “Capek!” aku ingin sekali menjawab, “Bukan cuma kalian yang
capek!” Tapi, lagi-lagi, ya, sudahlah. Tak ada gunanya juga aku pamer pada mereka
kalau aku juga capek.
Gara-gara kejadian tidak menyenangkan itu,
aku jadi belajar untuk tidak mengandalkan orang lain. Awalnya saja bilang ‘iya’
tapi ujung-ujungnya tidak membantu juga. Aku juga jadi tahu rasanya ketika ada
yang membicarakan kejelekanku di belakangku. Sakit, bo! Jadi, aku harus belajar
untuk tidak menjelek-jelekkan orang di belakang. Yah, setidaknya dikurangi,
lah, kebiasaan menjelek-jelekkan orang. Eh, tulisan ini tidak termasuk
menjelek-jelekan, kan? Dengan kejadian itu, aku juga semakin percaya pada
pepatah “setiap kuda merasa bahwa bebannya yang terberat”. Setiap manusia
merasa masalahnya yang terberat. Seperti yang dikeluhkan mereka: capek. Sepertinya
setiap manusia (termasuk aku) merasa dirinyalah yang paling lelah. Padahal,
semuanya juga lelah. Dan dengan kejadian itu, aku HARUS belajar untuk
mendelegasikan tugas. Tidak ada cerita ‘tidak enak hati’. Semoga aku bisa
belajar melakukannya.
Tulisan ini diikutsertakan pada Monilando’s First Giveaway
pertamax :p
BalasHapuskok blog nya nggak bisa di scrool ya?
semoga menang
:D
Kalo di Chrome emang nggak bisa di-scroll, hehehe
HapusKok aku di chrome bisa... hihihi...
HapusKSK itu kepanjangannya apa mbak?
Semoga menang aja deh ya mbak :D
Ah, maca cih, Un? Kayaknya kalo di Chrome nggak bisa pake scroll, bisanya pake tombol panah gitu.
Hapussusah ngandalin orang lain, sudah habits bangsa ini, jadi kerjakan saja tugas kita, ga usah suruh2 yg lain
BalasHapusIya, susah.
HapusDi kantormu apa gak ada Job Deskripsinya si Ndah??
BalasHapusKalau ada kan jelas, pelimpahan tugas, siapa2 yang bisa kamu suruh.
Hmm.. lomba ya Ndah, semoga menang deh :)
Ada, sih..
Hapushihihi, memang ya mbak, kadang mending dikerjain sendiri...
BalasHapusbtw kerja di BPS ya mbak?
Hehehe, jadi nyebut instansi deh.
Hapusmemang agak gimana gitu meminta bantuan kepada orang yang lain yang memang tidak terlalu akrab dengan kita. Jadinya agak riweuh (kalau bahasa sundanya). Paling enak memang mengerjakannya sendiri. Cuma ya itu, tidak semua pekerjaan bisa kita atasi sendiri. Jadi musti kerjasama dengan orang lain untuk menyelesaikannya.
BalasHapusIya, ada beberapa pekerjaan yang memang mesti minta bantuan orang lain.
Hapussuka dengan paragraf terakhir....
BalasHapuswaw... kontes! langsung tkp deh... ;p
BalasHapusmungkin ada baiknya mbak harus berani kasih orang lain kepercayaan. jadinya kalau ada masalah kayak gini lagi, mbak gak sepenuhnya disalahkah... :)
BalasHapusbukan nggak ngasih kepercayaan. cuman bosen ditolak :D
Hapus