Senin, 18 Juli 2011

Tentang Si Miskin

Saat menyaring sesuatu, pasir misalnya, bukankah sebaiknya semuanya disaring dan tak hanya menyaring sebagian pasir yang diambil? Bila yang dibutuhkan memang sedikit, mungkin tak apa menyaring sebagian. Tapi, bila ingin mendapatkan semua pasir halus – yang sesuai kriteria kita – bukankah sebaiknya semuanya (meski tidak harus sekaligus) diletakkan pada ayakan untuk disaring? Begitupun bila kita ingin mendapatkan data penduduk miskin. Menurutku – yang ilmunya masih pas-pasan ini – alangkah baiknya bila melakukan sensus saja dengan variabel-variabel yang dibutuhkan. Dengan sensus, kita bisa mendapatkan data keterangan mengenai kondisi sosial ekonomi seluruh rumah tangga. Dengan begitu kita bisa mengetahui polanya dan menentukan batasan miskin atau tidak. Dan semestinya setiap daerah dianalisis polanya secara terpisah karena bisa jadi gaya hidup di masing-masing daerah berbeda. Ada yang lebih memilih membelanjakan uangnya untuk aset barang berharga, ada yang lebih fokus membelanjakan uangnya untuk sandang pangan dan papan saja, ada yang membelanjakan untuk barang tak bergerak (misalnya tanah, sawah, kebun). Otomatis kriteria kaya-miskin di tiap daerah berbeda. Bisa jadi di satu daerah seseorang tidak dianggap kaya karena tidak punya barang mewah, tapi di tempat lain dia termasuk kaya karena sawahnya luas.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa mengetahui kondisi sosial ekonomi suatu daerah cukup dengan survei. Iya, aku tahu. Dengan survei bisa tahu kondisi sosial ekonomi mulai dari pengeluaran perkapita, garis kemiskinan, konsumsi makanan dan nonmakanan. Iya, kita bisa mendapatkan data suatu daerah. Tapi, untuk mendapatkan data rumah tangga, menurutku lebih baik disensus terlebih dahulu. Kita memang bisa mendapatkan data garis kemiskinan. Tapi, tanpa sensus kita tidak bisa mendapatkan data penduduk mana saja yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan. Bukankah begitu?
Iya, baiklah. Mungkin kau berpendapat PP*S 2011 ini sudah menggunakan sensus dan sudah menyaringnya sesuai kondisi perumahan. Mungkin memang diasumsikan bahwa kondisi perumahan merupakan kriteria utama untuk menentukan kadar kemiskinan suatu rumah tangga. Tapi, bila dari hasil saringan itu harus menambah exclusion error dan mengeluarkan inclusion error tanpa kriteria yang jelas, bagaimana?
Sudahlah. Akan sangat memusingkan membahas penentuan suatu rumah tangga miskin bagi orang awam sepertiku. Sepertinya memang hanya Allah yang tahu jumlah penduduk miskin di dunia ini. Bukankah jumlah penduduk dunia yang tahu pasti juga hanya Allah. Jadi, presiden, gubernur, dan bupati bila ingin mendapatkan data penduduk miskin, minta saja pada Allah. Sekarang kita bahas mengenai pengentasan kemiskinan. Sebenarnya program pemerintah sudah cukup baik. Mulai dari “memberi ikan” seperti pemberian BLT sampai “memberi pancing” seperti PNPM. Lalu, di mana salahnya? Mungkin karena salah sasaran? Konon katanya banyak yang kaya mengaku miskin. Apa uang sudah membuat seseorang kehilangan harga dirinya hingga mengaku miskin padahal mampu? Entah.
Kalau dipikir-pikir, orang yang banyak diberi bantuan materi sepertinya tidak akan kaya. Yang kaya biasanya orang yang biasa susah tapi tetap gigih berusaha. Kalau terlalu sering dibantu, malah jadi menggantungkan terlalu banyak harapan pada pihak yang membantu. Memang sih, awalnya tetap harus dibantu. Ibarat membantu nelayan yang kelaparan. Yang kita berikan bukan pancing, tapi ikan dulu agar dia tidak kelaparan sehingga punya tenaga untuk memancing. Kalau dia sudah putus asa untuk memancing? Nah, itu masalah besar. Bukan hal mudah bagi pemerintah untuk membuka lapangan kerja sebanyak mungkin. Yang lebih memungkinkan adalah membuat masyarakat agar bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Mengembangkan mental wirausaha. Hahaha, bicara apa aku ini… Aku sendiri tak bermental wirausaha. Tak apalah, setidaknya ini bisa jadi wacana.
Oh, ya… Untuk masalah bantuan, bukankah bila zakat kekayaan dilaksanakan dengan benar dan disalurkan dengan benar, semestinya banyak orang miskin yang mendapat bantuan? Bayangkan bila sepuluh orang di satu desa berzakat dan zakatnya diberikan pada sepuluh orang miskin di desanya. Lumayan itu… Seperti subsidi silang… Eh, aku bicara begini padahal aku juga belum berzakat, hehehe…
Ah, sudahlah. Bingung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!