Sabtu, 30 Juli 2011

Menjadi Seorang Ibu

Menjadi ibu, bagaimana rasanya? Entah. Aku belum mengalaminya. Namun, dari yang kulihat, sepertinya teman-temanku yang sudah memiliki momongan sepertinya bahagia. Yah, seperti kata orang, anak memang bisa jadi qurrota a'yun (penyejuk pandangan mata) bagi orang tuanya. Selain menyenangkan, mengasuh anak sepertinya juga repot. Menjadi ibu sama saja dengan mendapatkan pekerjaan 24 jam dalam sehari, tujuh hari dalam seminggu, tanpa libur, dan tanpa gaji tentunya. Bayi yang konon katanya bisa menyusu setiap tiga jam sekali, selain minum susu juga pipis dan pup. Pernah aku melihat kakakku makan sambil menyusui anaknya (saking tidak sempat makan karena sibuk dengan si bayi), dan saat sedang menyusui sambil makan si baby pup. Waw!

Aku jadi teringat salah satu kalimat dalam buku "Saatnya Untuk Menikah" karangan Fauzhil Adhim. Memilih istri sebaiknya yang bersifat waluud dan waduud (kalau tidak salah seperti itu kalimatnya). Waluud, dalam arti subur, dan waduud dalam arti penuh kasih sayang. Memilih istri berarti juga memilih calon ibu untuk anak-anak kelak. Dan untuk menjadi seorang ibu, butuh stok kasih sayang yang tak habis-habis. Pada contoh sederhana di paragraf sebelumnya, bila sang ibu tidak cukup kasih sayang, bisa jadi dia sudah marah atau kesal. Makan sudah susah, begitu makan malah disuguhi pup. Tapi, itulah, dengan kasih sayang yang melimpah, seorang ibu bisa bersabar menghadapi anaknya, betapapun nakal dan rewelnya. Bila si ibu tak punya cukup kasih sayang, lagi-lagi aku mencontek kalimat dalam buku "Saatnya Untuk Menikah", bisa-bisa "meskipun anaknya satu tapi nakal semua".

Ada banyak teori dalam mendidik anak. Itu semua ilmu. Dalam mengasuh anak memang butuh ilmu. Namun, dalam menerapkan ilmu itu juga butuh kasih sayang. Menghadapi anak yang "nakal", suka bereksperimen dengan perabot rumah, suka membanting-banting barang untuk mengetahui barang itu bisa pecah atau tidak, membongkar bonekanya hingga buntung dan membongkar mobil hingga bentuknya tak keruan, bisakah hanya bermodalkan teori? Tanpa hati yang penuh kasih sayang, semua teori akan menguap begitu saja bila berhadapan situasi demikian. Sikap persuasif, mengalihkan perhatian anak agar berhenti dari aktivitas merusak, atau memanfaatkan aktivitas bongkar pasang menjadi proses belajar, semua itu tentu butuh kesabaran dan kasih sayang.

Yah, begitulah. Memang betul kata pepatah. Kasih ibu sepanjang jalan. Bila kasihnya tidak sepanjang jalan, bagaimana dia bisa terus mendampingi dan menyayangi anaknya sampai dewasa? Semoga aku bisa menjadi ibu yang penuh kasih sayang. Aku termasuk orang yang galak, dan aku takut kelak akan jadi ibu yang mudah marah-marah pada anakku. Semoga tidak. Aku ingin jadi ibu yang membuat anak-anakku merasa disayangi, dicintai, dihargai, membuat anak-anakku berkata "Baitii Jannatii".

*lovely mom wannabe*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!