Sabtu, 30 Juli 2011

Lupa Judulnya

Ini puisi (sepertinya puisi terakhir) yang pernah ku-post di blog-ku di Friendster. Berhubung blog itu sudah raib, lebih baik kudokumentasikan di sini saja.

Aku kerap bertanya, "Tuhan, kenapa Engkau kirimkan aku ke tanah ini?"
Semula aku menduga, aku dikirim ke sini untuk sekeping hati yang menantiku
Semula aku menduga, di sini aku akan bertemu pangeran belahan jiwa
Kupikir, itulah jawaban-Nya

Aku seperti burung rantau yang diajak membuat sarang jauh dari pohon tempatku lahir
Ketika aku telah bersedia mengorbankan hati ini jauh dari ayah bunda
Ketika bunda telah memberi segenap restu terbaiknya
Ketika ayah telah menyerahkan segala keputusan di tanganku
Ternyata...
Sarang itu hanya ilusi
Aku terjatuh dari puncak pohon tertinggi
Sayapku patah
dan ayah bundaku terlalu jauh untuk menolongku

Tuhan,sungguh, aku tak ingin membenci takdir-Mu
Rasa sakit ini, mungkin jawaban dari tanyaku
Mungkin Engkau ingin aku belajar kuat dengan memberiku sakit ini
Mungkin Engkau ingin aku tak mematahkan sayap siapapun
karena aku telah tahu sakitnya ketika patah sayap

Tuhan, kali ini aku tak bertanya lagi "kenapa"
Aku hanya bisa memohon
Sembuhkanlah luka sayapku
Karena Engkau Sebaik-baik Penyembuh
Aaamiiiiiin...

Menjadi Seorang Ibu

Menjadi ibu, bagaimana rasanya? Entah. Aku belum mengalaminya. Namun, dari yang kulihat, sepertinya teman-temanku yang sudah memiliki momongan sepertinya bahagia. Yah, seperti kata orang, anak memang bisa jadi qurrota a'yun (penyejuk pandangan mata) bagi orang tuanya. Selain menyenangkan, mengasuh anak sepertinya juga repot. Menjadi ibu sama saja dengan mendapatkan pekerjaan 24 jam dalam sehari, tujuh hari dalam seminggu, tanpa libur, dan tanpa gaji tentunya. Bayi yang konon katanya bisa menyusu setiap tiga jam sekali, selain minum susu juga pipis dan pup. Pernah aku melihat kakakku makan sambil menyusui anaknya (saking tidak sempat makan karena sibuk dengan si bayi), dan saat sedang menyusui sambil makan si baby pup. Waw!

Aku jadi teringat salah satu kalimat dalam buku "Saatnya Untuk Menikah" karangan Fauzhil Adhim. Memilih istri sebaiknya yang bersifat waluud dan waduud (kalau tidak salah seperti itu kalimatnya). Waluud, dalam arti subur, dan waduud dalam arti penuh kasih sayang. Memilih istri berarti juga memilih calon ibu untuk anak-anak kelak. Dan untuk menjadi seorang ibu, butuh stok kasih sayang yang tak habis-habis. Pada contoh sederhana di paragraf sebelumnya, bila sang ibu tidak cukup kasih sayang, bisa jadi dia sudah marah atau kesal. Makan sudah susah, begitu makan malah disuguhi pup. Tapi, itulah, dengan kasih sayang yang melimpah, seorang ibu bisa bersabar menghadapi anaknya, betapapun nakal dan rewelnya. Bila si ibu tak punya cukup kasih sayang, lagi-lagi aku mencontek kalimat dalam buku "Saatnya Untuk Menikah", bisa-bisa "meskipun anaknya satu tapi nakal semua".

Ada banyak teori dalam mendidik anak. Itu semua ilmu. Dalam mengasuh anak memang butuh ilmu. Namun, dalam menerapkan ilmu itu juga butuh kasih sayang. Menghadapi anak yang "nakal", suka bereksperimen dengan perabot rumah, suka membanting-banting barang untuk mengetahui barang itu bisa pecah atau tidak, membongkar bonekanya hingga buntung dan membongkar mobil hingga bentuknya tak keruan, bisakah hanya bermodalkan teori? Tanpa hati yang penuh kasih sayang, semua teori akan menguap begitu saja bila berhadapan situasi demikian. Sikap persuasif, mengalihkan perhatian anak agar berhenti dari aktivitas merusak, atau memanfaatkan aktivitas bongkar pasang menjadi proses belajar, semua itu tentu butuh kesabaran dan kasih sayang.

Yah, begitulah. Memang betul kata pepatah. Kasih ibu sepanjang jalan. Bila kasihnya tidak sepanjang jalan, bagaimana dia bisa terus mendampingi dan menyayangi anaknya sampai dewasa? Semoga aku bisa menjadi ibu yang penuh kasih sayang. Aku termasuk orang yang galak, dan aku takut kelak akan jadi ibu yang mudah marah-marah pada anakku. Semoga tidak. Aku ingin jadi ibu yang membuat anak-anakku merasa disayangi, dicintai, dihargai, membuat anak-anakku berkata "Baitii Jannatii".

*lovely mom wannabe*

Jumat, 22 Juli 2011

Tentang Hidup dan Naik Motor

Dulu, saat awal-awal belajar mengendarai sepeda motor dengan Mery, aku sulit sekali mengatur kekuatan tanganku dalam menarik gas. Kadang terlalu kuat, kadang terlalu lemah. Pernah aku jatuh ketika pulang kantor. Jalan keluar dari parkiran memang agak horror bagi newbie sepertiku. Menanjak, agak sepit, lalu setelah sampai di atas tanjakan harus buru-buru belok kiri bila tidak ingin menabrak pondasi bangunan kantor sebelah yang memang lebih tinggi dari bangunan kantorku. Aku pernah diajari kawanku bila di tanjakan harus menarik gas kuat-kuat sehingga bisa naik. Aku pun melakukannya. Alhasil, aku menarik gas terlalu kencang dan... brak! Aku menabrak tanah sekitar pondasi bangunan sebelah, tanpa refleks untuk mengerem. Tak tanggung-tanggung. Seumur-umur baru kali ini aku jatuh sampai terguling. Alhamdulillah, kepalaku terlindung helm, dan aku memakai jaket tebal, sehingga lukaku tidak parah. Hanya lecet dan memar di kaki. Dan kemudian aku dinasihati bapak kosku, "Kalau nanjak tarik gasnya gak usah terlalu kencang, secukupnya aja asal bisa naik". Hmm, berbeda dengan nasihat kawanku. Tapi, setelah pengalaman jatuh itu, aku lebih setuju dengan nasihat bapak kosku.

Begitu juga dengan kehidupan. Kita harus tahu kapan harus "menarik gas" sekuat tenaga, kapan santai-santai saja, kapan harus mengerem. Kita tidak bisa menarik gas kencang setiap saat. Kita tidak bisa mengerahkan seluruh effort sepenuhnya untuk setiap pekerjaan. Ada prioritasnya. Kita juga harus tahu kapan harus "berhenti" sebelum "menabrak". Kita harus tahu batas-batas sampai di mana kita bisa bertindak.

Dan tadi pagi aku juga hampir mengalami kecelakaan. Aku baru saja dari SPBU untuk isi bahan bakar motorku. Dan untuk ke kantor, di perempatan aku harus belok menyeberang ke kanan. Aku melihat spion untuk melihat ada kendaraan di belakangku atau tidak. Karena kendaraan di belakang cukup jauh, aku pun menyeberang ke kanan. Dan ternyataaa... Ada mobil besar di depanku. Haisyy! Aku langsung tarik gas untuk cepat-cepat menyeberang. Kulihat petugas yang mengatur lalu lintas memandangku. Sampai aku jauh pun dia masih memandangku. Hehehe, aku cuma bisa "nyengir kuda". Aku tahu aku salah. Kesalahanku adalah terlalu fokus melihat spion dan mengabaikan kondisi di depanku. Persis seperti hidupku beberapa waktu lalu. Aku terlalu fokus pada masa lalu. Kenapa, kenapa, dan kenapa, selalu itu yang terngiang di kepalaku. Hingga aku kehilangan fokusku akan masa kini dan masa depan. Tak ada salahnya melihat ke masa silam, tapi tak boleh berlarut-larut seperti yang pernah kulakukan. Hanya menyakiti diri sendiri.

Dan sekarang, yang harus kupikirkan adalah sesegera mungkin membuat SIM agar aman bila ada razia, hehehe...

Terus Berusaha

Jurus Dua Golok

Kyai menunjukkan dua buah golok, yang satu tajam dan yang satunya lagi tumpul. Ia mengayunkan golok tajam dengan setengah hati untuk mematahkan sebatang bambu. Lalu? Bambu itu tidak patah. Kemudian dia mengayunkan golok yang tumpul dengan sungguh-sungguh. Bambu itu masih belum patah. Ia pun terus-menerus mengayunkan golok tumpul tersebut dengan sekuat tenaga. Akhirnya bambu itu pun patah.

Lebih kurang begitulah salah satu bagian cerita Ranah 3 Warna karya A Fuadi (dengan redaksi cerita yang berbeda tentunya). Kita bisa menafsirkan cerita itu dengan bebas, termasuk mengaitkannya dengan kesungguhan dan kegigihan. Seseorang yang memiliki sumber daya berlimpah (misalnya kecerdasan, kondisi fisik yang sempurna, fasilitas lengkap) bila tidak bersungguh-sungguh tidak akan sukses. Sedangkan seseorang dengan sumber daya yang terbatas, bila bersungguh-sungguh, tidak kenal putus asa, tentu bisa sukses.

Kisah ini sejalan dengan "mantra" dalam novel ini: man shobaro zhofiro, siapa yang bersabar akan beruntung. Bila "mantra" man jadda wajada dalam novel Negeri 5 Menara adalah pemantik api semangat, "mantra" novel lanjutannya ini adalah penjaga agar api yang sudah menyala itu tidak padam, terus menyala, meski sekencang apapun angin yang bertiup. Bersabar, terus berusaha, terus berjuang!

*saatnya menyemangati diri sendiri*

Selasa, 19 Juli 2011

Korban Definisi yang Rancu

“Kamu tahu bedanya aplikasi sama sistem informasi?” tanya dosen pembimbing skripsiku. Seperti biasa, dengan polosnya – atau mungkin lebih tepat dikatakan dengan bodohnya – aku menjawab, “Nggak tahu.” Dan kemudian si bapak pun menyuruhku mencari tahu perbedaan dua hal itu. Akhirnya, seorang Millati Indah – yang sangat anti kepada perpustakaan terutama pada ibu galak penjaganya – memberanikan diri  menghadapi situasi horor (lebaaay!!!) di perpustakaan demi sebuah jawaban. Dan hasilnya, NOTHING. Ketika malam pun aku bergerilya di warnet, biasanya di warnet sebelah Alfam*rt yang amat sangat bising penuh suara musik backsound game online. Hasilnya sama, NOTHING. Aku tidak menemukan artikel yang membahas perbedaan sistem informasi  dan aplikasi. Mungkin salah keyword? Entah. Yang jelas, artikel yang kutemukan rata-rata membahas pengertian sistem informasi, bukan perbedaannya dengan aplikasi.
Akhirnya, kalau tidak salah (karena ingatanku sudah mulai memudar, hehehe, tanda penuaan dini?) dosenku memberiku clue. Aku harus mencari tahu dulu macam-macam software. Lagi-lagi kalau tidak salah,  buku pertama yang kubaca adalah buku Software Engineering karangan Pressman. Dalam buku itu dijelaskan tentang system software, real-time software, business software, dan sebagainya. Aku pun menghadap si bapak dengan membawa hasil print berisikan macam-macam software yang tercantum di buku Pressman tadi. Ternyata SALAH. Si bapak pun memberitahu bahwa software dibedakan menjadi tiga: system software, application software, dan satunya aku lupa, hehehe. Kalau tidak salah embedded software. Kalau tidak salah, lho, ya… Aku pun disuruh mencari tahu mengenai ketiganya.
Lagi-lagi, perpustakaan menjadi pelarian. Buku karangan Potter, buku Sistem Informasi Manajemen yang menjadi referensi ketika tingkat 1 (lupa siapa penulisnya),tidak memberi jawaban. Pada buku karangan Potter memang disebutkan ada dua macam software yaitu system software dan application software, tapi penjelasannya kurang rinci. Akhirnya aku menemukan sebuah buku tebal bersampul hijau dan berbahasa Inggris (bahasa yang sedikit sekali kukuasai). Judulnya kalau tidak salah Computer and Information System, ada subjudulnya tapi aku lupa kalimatnya, seingatku sepertinya artinya dengan pendekatan hardware. Salah dua penulisnya bernama belakang Szymanski, entah penulisannya benar atau tidak. Dalam buku itu dijelaskan -- lagi-lagi cuma dua macam softwaresystem software dan application software. System software adalah sistem yang menghubungkan (membantu komunikasi) antara hardware dengan software lain (misalnya application software). Contoh dari system software ini adalah sistem operasi. Sedangkan application software adalah software “berhubungan” langsung dengan user. Lebih kurang, lagi-lagi kalau tidak salah, seperti itulah penjelasan dua software itu.
Lalu ada penjelasan mengenai sistem informasi. Aku pun jadi berpikir, salah satu komponen dalam sistem informasi adalah software, dan salah satu macam atau kategori software adalah application software. Jangan-jangan yang dimaksud aplikasi adalah application software? Jangan-jangan aplikasi adalah komponen dari sistem informasi? Saat aku menanyakan “kecurigaan”ku pada Eny, dia seperti ragu, oh tidak, dia memang benar-benar meragukan pemikiranku.
Akhirnya aku kembali menghadap dengan laporan, “Saya Cuma nemu dua macam software, yang satu nggak ketemu.” Dan aku juga menyatakan masih tidak mengerti perbedaan sistem informasi dan aplikasi. Dan tahukah apa yang dikatakan si bapak? Dia pun akhirnya menjelaskan -- mungkin dengan sedikit dongkol karena harus berhadapan dengan mahasiswi sebodoh aku -- bahwa sistem informasi terdiri atas hardware, software, dan entah apa lagi. Software dibedakan menjadi system software, application software, dan satu lagi entah. Application software inilah yang kerap disebut aplikasi. Nah, lho! Sama dengan kecurigaanku. Ternyata…
Sudah terlanjur bercerita sejauh ini. Kita lanjutkan saja obrolan meskipun sudah terjawab pertanyaan yang di awal. Di mata kuliah Rekayasa Piranti Lunak alias Software Engineering si bapak pun menjelaskan tentang software. Software terdiri atas program (sepertinya yang dimaksud di sini adalah program yang kita tulis alias source code), data, dan dokumentasi. Jadi hubungannya seperti ini. Program adalah salah satu komponen dari software (termasuk application software atau aplikasi). Software adalah salah satu komponen dari sistem informasi. Jadi, wahai para pengembang aplikasi, jangan lupa untuk menyertakan dokumentasi dalam 'aplikasi' yang kalian buat, karena tanpa dokumentasi, 'aplikasi' yang kalian buat bukanlah aplikasi. Halah, mbulet.
Dan baru saja aku membaca tulisan di majalah PC Media edisi 07/2011 yang mempertanyakan definisi program. Katanya program adalah sekumpulan instruksi blab la bla. Padahal dalam program kosong dan program sederhana bisa saja tidak ada instruksi sama sekali. Definisi kadang harus dibuat sejelas dan sebaku mungkin. Namun, bicara soal definisi juga bisa membuang-buang waktu karena memang kadang beda konsep antara satu ahli IT dengan lainnya (harap dicatat, aku tidak masuk dalam ahli tersebut). Jadi, apa definisi program? MENEKETEHE!!!

Senin, 18 Juli 2011

Tentang Si Miskin

Saat menyaring sesuatu, pasir misalnya, bukankah sebaiknya semuanya disaring dan tak hanya menyaring sebagian pasir yang diambil? Bila yang dibutuhkan memang sedikit, mungkin tak apa menyaring sebagian. Tapi, bila ingin mendapatkan semua pasir halus – yang sesuai kriteria kita – bukankah sebaiknya semuanya (meski tidak harus sekaligus) diletakkan pada ayakan untuk disaring? Begitupun bila kita ingin mendapatkan data penduduk miskin. Menurutku – yang ilmunya masih pas-pasan ini – alangkah baiknya bila melakukan sensus saja dengan variabel-variabel yang dibutuhkan. Dengan sensus, kita bisa mendapatkan data keterangan mengenai kondisi sosial ekonomi seluruh rumah tangga. Dengan begitu kita bisa mengetahui polanya dan menentukan batasan miskin atau tidak. Dan semestinya setiap daerah dianalisis polanya secara terpisah karena bisa jadi gaya hidup di masing-masing daerah berbeda. Ada yang lebih memilih membelanjakan uangnya untuk aset barang berharga, ada yang lebih fokus membelanjakan uangnya untuk sandang pangan dan papan saja, ada yang membelanjakan untuk barang tak bergerak (misalnya tanah, sawah, kebun). Otomatis kriteria kaya-miskin di tiap daerah berbeda. Bisa jadi di satu daerah seseorang tidak dianggap kaya karena tidak punya barang mewah, tapi di tempat lain dia termasuk kaya karena sawahnya luas.
Mungkin ada yang berpendapat bahwa mengetahui kondisi sosial ekonomi suatu daerah cukup dengan survei. Iya, aku tahu. Dengan survei bisa tahu kondisi sosial ekonomi mulai dari pengeluaran perkapita, garis kemiskinan, konsumsi makanan dan nonmakanan. Iya, kita bisa mendapatkan data suatu daerah. Tapi, untuk mendapatkan data rumah tangga, menurutku lebih baik disensus terlebih dahulu. Kita memang bisa mendapatkan data garis kemiskinan. Tapi, tanpa sensus kita tidak bisa mendapatkan data penduduk mana saja yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan. Bukankah begitu?
Iya, baiklah. Mungkin kau berpendapat PP*S 2011 ini sudah menggunakan sensus dan sudah menyaringnya sesuai kondisi perumahan. Mungkin memang diasumsikan bahwa kondisi perumahan merupakan kriteria utama untuk menentukan kadar kemiskinan suatu rumah tangga. Tapi, bila dari hasil saringan itu harus menambah exclusion error dan mengeluarkan inclusion error tanpa kriteria yang jelas, bagaimana?
Sudahlah. Akan sangat memusingkan membahas penentuan suatu rumah tangga miskin bagi orang awam sepertiku. Sepertinya memang hanya Allah yang tahu jumlah penduduk miskin di dunia ini. Bukankah jumlah penduduk dunia yang tahu pasti juga hanya Allah. Jadi, presiden, gubernur, dan bupati bila ingin mendapatkan data penduduk miskin, minta saja pada Allah. Sekarang kita bahas mengenai pengentasan kemiskinan. Sebenarnya program pemerintah sudah cukup baik. Mulai dari “memberi ikan” seperti pemberian BLT sampai “memberi pancing” seperti PNPM. Lalu, di mana salahnya? Mungkin karena salah sasaran? Konon katanya banyak yang kaya mengaku miskin. Apa uang sudah membuat seseorang kehilangan harga dirinya hingga mengaku miskin padahal mampu? Entah.
Kalau dipikir-pikir, orang yang banyak diberi bantuan materi sepertinya tidak akan kaya. Yang kaya biasanya orang yang biasa susah tapi tetap gigih berusaha. Kalau terlalu sering dibantu, malah jadi menggantungkan terlalu banyak harapan pada pihak yang membantu. Memang sih, awalnya tetap harus dibantu. Ibarat membantu nelayan yang kelaparan. Yang kita berikan bukan pancing, tapi ikan dulu agar dia tidak kelaparan sehingga punya tenaga untuk memancing. Kalau dia sudah putus asa untuk memancing? Nah, itu masalah besar. Bukan hal mudah bagi pemerintah untuk membuka lapangan kerja sebanyak mungkin. Yang lebih memungkinkan adalah membuat masyarakat agar bisa menciptakan lapangan kerja sendiri. Mengembangkan mental wirausaha. Hahaha, bicara apa aku ini… Aku sendiri tak bermental wirausaha. Tak apalah, setidaknya ini bisa jadi wacana.
Oh, ya… Untuk masalah bantuan, bukankah bila zakat kekayaan dilaksanakan dengan benar dan disalurkan dengan benar, semestinya banyak orang miskin yang mendapat bantuan? Bayangkan bila sepuluh orang di satu desa berzakat dan zakatnya diberikan pada sepuluh orang miskin di desanya. Lumayan itu… Seperti subsidi silang… Eh, aku bicara begini padahal aku juga belum berzakat, hehehe…
Ah, sudahlah. Bingung.

Selasa, 12 Juli 2011

Mati

Aku bukan tipe orang yang ber-muhasabah di saat momen pertambahan (mungkin juga bisa disebut pengurangan) usia. Namun, kali ini tampaknya aku ditegur. Tepat ketika hari ulang tahunku, ketika aku memikirkan umurku yang sudah seperempat abad, aku mendapat kabar tentang kawanku yang meninggal ketika menjelang persalinan. Usianya sebaya denganku. Kaget, pasti. Baru sekitar satu setengah bulan lalu aku makan semeja dengannya, suaminya, dan Tiwi. Dia yang biasanya tidak terlalu ramah, malam itu terlihat friendly. Bahkan, dia menegurku, "Millati kok diem aja". Dan sekarang, ia sudah tak ada. Umur manusia memang hanya Allah yang tahu.

Tiba-tiba aku berpikir, bagaimana bila setelah ini giliranku? Dosaku masih banyak. Aku juga belum sempat minta maaf pada orang-orang yang pernah jadi korban sifat dan sikap burukku. Aku takut mati. Lebih tepatnya aku takut kehidupan setelah mati.

Dan ketika melihat teman-teman begitu bersedih kehilangan kawanku itu, aku jadi berpikir... Bila aku yang meninggal, akankah mereka kehilangan? Atau akan lebih banyak yang bersyukur bila aku meninggal? Entahlah. Semoga saja, setidaknya keluargaku mendoakan aku bila aku meninggal kelak.

Sabtu, 09 Juli 2011

Trouble is A Friend - Lenka

Ini lagu yang sangat cocok untukku saat ini. Trouble is A Friend. Awalnya aku sering mendengar lagu ini diputar oleh teman-teman kos. Semula aku tak begitu peduli. Tapi, musiknya lumayan asyik. Aku jadi tertarik untuk men-download-nya. Lho, kenapa tidak minta pada mereka saja? Kan bisa dikirim lewat bluetooth? Kan malu, hehehe... Ketika mendengar ada lirik "trouble is a friend", aku jadi makin tertarik. Pertama, aku mencari liriknya dulu. Ternyata, mantap. Lalu, lanjut men-download lagunya.
Ini dia liriknya.

Trouble he will find you no matter where you go, oh oh
No matter if you're fast, no matter if you're slow, oh oh
The eye of the storm or the cry in the mourn, oh oh
You're fine for a while but you start to lose control

He's there in the dark, he's there in my heart
He waits in the wings, he's gotta play a part
Trouble is a friend, yeah trouble is a friend of mine, oh oh!

Trouble is a friend but trouble is a foe, oh oh
And no matter what I feed him he always seems to grow, oh oh
He sees what I see and he knows what I know, oh oh
So don't forget as you ease on down the road

He's there in the dark, he's there in my heart
He waits in the wings, he's gotta play a part
Trouble is a friend, yeah trouble is a friend of mine, oh oh
So don't be alarmed if he takes you by the arm
I won't let him win, but I'm a sucker for his charm
Trouble is a friend, yeah trouble is a friend of mine, oh oh!

Oh how I hate the way he makes me feel
And how I try to make him leave, I try
Oh oh, I try!

He's there in the dark, he's there in my heart
He waits in the wings, he's gotta play a part
Trouble is a friend, yeah trouble is a friend of mine, oh oh

So don't be alarmed if he takes you by the arm
I won't let him win, but I'm a sucker for his charm
Trouble is a friend, yeah trouble is a friend of mine, oh oh!
Ooo, oh ooo, ooo ahh

dikutip dari sini

Jumat, 08 Juli 2011

Menghadapi Tembok

1 Juli 2011
Aku kembali meng-add seseorang yang dulu ku-remove. Tadinya aku ingin meng-add dia pada 11 Juli, sebagai langkah awal resolusiku menghadapi "tembok"ku. Tapi, entah kenapa malam itu aku ingin sekali meng-add-nya. Akhirnya, kulawan ego-ku, kulawan kehawatiranku akan semua resiko, kulawan ketakutanku atas segala kemungkinan buruk bila kembali berteman dengannya. Dulu, aku enggan kembali meng-add-nya karena banyak alasan. Pertama, harga diri. Dulu aku yang meng-add-nya, lalu aku yang sudah me-remove-nya. Masa aku harus meng-add untuk kedua kali. Dia tampaknya santai-santai saja sewaktu ku-remove. Kalau dia memang butuh untuk berteman denganku, kenapa bukan dia yang memulai? Lagipula, selama berteman dengannya, aku sudah mulai terjangkit beberapa gejala OCD (Obsessive Compulsive Disorder). Namun, entah kenapa waktu itu aku ingin meng-add dia. Ya, sudah.

Setelah meng-add dia, aku merasa lega. Jujur, aku merasa menang, meskipun mungkin menurut orang lain aku kalah. Aku berhasil menekan egoku dan rasa gengsiku untuk memulai sebuah pertemanan. Semoga ini bisa jadi awal usahaku untuk menghadapi "tembok"ku, rasa sakitku bila melihat dia bersama orang lain. Untuk bisa menyembuhkan rasa sakit, salah satu caranya dalah dengan MENGHADAPINYA. Dan, menjelang usia seperempat abad, AKU HARUS BISA MENGHADAPI RASA SAKITKU. Harus bisa. SEMANGAT!!!

Rabu, 06 Juli 2011

Menjelang

Saat ini aku sedang menghitung hari. Ya, menghitung hari menjelang ulang tahunku yang ke-25. Entah umurku sampai hari itu atau tidak.

Dulu, aku sangat menanti momen ulang tahun, entah kenapa. Dan sekarang, aku justru bersedih menghitung setiap menit menjelang usia seperempat abad, lagi-lagi aku tak tahu kenapa. Aku tak tahu apa yang membuatku sedih. Mungkin ada keinginan yang seharusnya terwujud sebelum usiaku seperempat abad, tapi hingga kini masih di awang-awang. Mungkin usia 25 akan memberiku lebih banyak tuntutan. Mungkin, mungkin, dan mungkin.

Dulu, aku sering mengharapkan hadiah ulang tahun, meski itu hal yang mendekati mustahil. Dan kali ini aku belajar untuk berhenti mengharapkan hadiah. Kalaupun hendak meminta, aku ingin meminta hadiah pada Allah. Aku ingin meminta hati yang baru, jiwa yang baru, otak yang baru. Aku ingin hati yang lebih kuat, lebih teguh, lebih lapang, lebih jernih, lebih sabar... Di tengah kehidupan yang penuh beban, hatiku yang sekarang - yang cengeng, lemah, dan rapuh - takkan sanggup menanggung semua yang dibebankan padaku. Aku juga mengharapkan jiwa yang lebih kuat, yang tak mudah remuk ketika badai ujian melanda. Otak yang baru, aku juga mengharapkan itu. Aku butuh otak yang multitasking. Aku butuh otak yang bisa digunakan untuk memikirkan beberapa hal secara bersamaan.

Hmm, tampaknya kurang bersyukur ya bila aku meminta hati, jiwa, dan otak yang baru? Bagaimana kalau permohonannya diubah saja? Aku tahu. Aku tahu sekarang apa yang ingin kuminta. Aku ingin meminta separuh hati untuk melengkapi hatiku yang juga cuma separuh. Separuh hati yang akan selalu menguatkanku. Aku ingin meminta belahan jiwa untuk jiwaku ayng memang cuma sebelah. Belahan jiwa yang akan selalu meneduhkanku. Apakah akau terkabul? Ah, aku tak meminta sepasang telinga, Allah sudah memberikannya padaku. Itu untuk hal yang tak kuminta sama sekali. Dan kali ini, aku meminta belahan jiwa. Aku harus yakin bahwa Allah akan mengabulkan doaku.