Kamis, 25 Juli 2013

Menjaring Angin (8)

Sudah seminggu aku selalu pulang malam. Lembur. Aku harus meng-entry sekaligus mengawasi ketiga stafku yang sedang meng-entry. Eh, sebenarnya bukan cuma mengawasi tiga orang itu. Aku juga mengawasi Pukat dan Baruna, staf Bagian Analisis yang kubajak demi mengejar deadline entry data. Untungnya bulan ini Bagian Analisis belum terlalu sibuk. Sasi dan Matari? Ah, lupakan mereka. Bagian Survei juga sedang sibuk-sibuknya sebagaimana Bagian Pengolahan Data, jadi Sasi tak bisa diganggu. Malam hari adalah jadwalnya memeriksa dokumen survei agar sudah clean ketika diserahkan ke Bagian Pengolahan untuk di-entry. Matari? Dia sudah stress mengatur keuangan, SPJ ini, SPJ itu, laporan keuangan. Dan mengajaknya meng-entry malam sama saja mencari bencana. Bisa-bisa setiap menemukan kesalahan dia mengomel, “Ini yang bikin aplikasi siapa, sih? Error melulu!”

***

“Udah jam sembilan, Mbak. Nggak pulang?” tanya Pukat.

“Iya, bentar lagi. Mau backup hasil entry dulu,” Pawana beranjak menuju server.

Setelah mem-backup hasil entry sementara, Pawana pun berkemas-kemas. Pukat juga ikut berkemas-kemas.

“Ngapain kamu? Mau pulang juga?” tanya Pawana.

“Mau nganterin Mbak Nana pulang. Udah malam,” jawab Pukat.

“Sunu, saya pulang dulu, ya! Kalau udah selesai, jangan lupa backup, terus matikan server. Kalau nanti ada error yang nggak bisa ditangani, biarin aja error. Jangan dipaksa clean. Catat aja error-nya lalu serahin ke saya besok. OK?” kata Pawana pada salah satu stafnya dan kemudian beranjak meninggalkan ruang entry data setelah stafnya itu memberi tanda OK.

“Kamu pinter cari alesan, ya!” kata Pawana pada Pukat begitu mereka keluar dari ruang entry data.

“Alesan apa?” tanya Pukat.

“Bilang aja kamu nggak mau ngentry sampai pagi. Pakai alesan nganterin saya pulang,” sindir Pawana. Pukat hanya tertawa kecil.

“Tapi masih lumayan, lah. Setidaknya kamu masih mau bantu ngentry sampai malam. Makasih.”

“Cuma makasih? Nggak ada imbalan? Beliin kue misalnya.”

“Kamu mau kue apa? Kue nastar? Bolu? Black forest? Atau kue cucur?” canda Pawana.

“Kue cucur boleh juga. Aku suka. Buruan kamu jalan. Aku ngikutin dari belakang,” Pukat bersiap-siap menyalakan sepeda motornya.

“Panggil apa tadi? ‘Kamu’? Heh, yang sopan sama senior!” Pawana mulai memasang tatapan Medusa-nya.

“Memang kenapa, Nana? Nggak boleh?”

“Nana? Nggak pake ‘mbak’?” Pawana makin menajamkan tatapan Medusa-nya. Dan sayangnya, tatapan itu tidak mempan untuk Pukat. Dia tidak membatu. Dia justru tersenyum. Pawana pun segera menyalakan sepeda motornya.

Dan sejak hari itu, selama seminggu Pukat selalu mengantar Pawana pulang.

***

Pawana memulai pagi hari di kantor dengan rusuh. Sibuk dengan server di hadapannya yang tak juga mau menyala.

“Sunu, seminggu terakhir kamu yang selalu matiin server, kan?” tanya Pawana. Sunu hanya mengangguk.

“Servernya kamu apain semalam? Kenapa tiba-tiba server nggak mau hidup hari ini?” cecar Pawana.

“Semalam nggak apa-apa, kok. Waktu saya matiin jam tiga pagi tadi servernya masih baik-baik aja,” jawab Sunu ketakutan.

“Terus, backup tadi pagi mana?” tanya Pawana, berharap mereka tak perlu mengulang entry. Sayangnya Sunu justru menggeleng lemah.

Pawana merasa buntu. Atasannya, Kepala Bidang Pengolahan dan Diseminasi, sedang dinas luar. Rekannya, sesama kepala seksi di Bidang Pengolahan dan Diseminasi, sedang mengikuti pelatihan dan jelas tak bisa diganggu. Hingga kemudian dia ingat seseorang yang bisa membantunya. Wukir.

***

“Datanya masih bisa diselametin, kan?” tanya Pawana cemas.

“Tenang. Datanya masih bisa diambil. Tapi, nggak bisa langsung ambil sekarang. Aku bawa dulu harddisk-nya. Nanti kukirim data yang udah kalian entry,” jawab Wukir. Pawana menghela napas lega.

“Terus? Entry-nya?” tanya Pawana, kembali cemas.

“Kamu ganti aja server-nya pakai PC biasa. Install aplikasinya di situ. Lanjut entry. Kalau data dari server lama udah ditarik, tinggal digabung,” jelas Wukir berusaha menenangkan Pawana.

“Udah bisa entry?” tanya Pukat yang tiba-tiba muncul.

“Belum. Besok baru bisa mulai lagi,” jawab Pawana.

“Oh, gituuu. Oh, ya, makasih kue cucurnya. Mintanya minggu lalu, baru dikasih hari ini. Kalau gitu, aku balik ke ruanganku aja,” kata Pukat sambil melambaikan tangan pada Pawana.

“Kue cucur???” tanya Wukir setelah Pukat pergi. Pawana hanya diam.

“Lima tahun aku kenal kamu, belum pernah sekalipun kamu kasih makanan ke cowok. Kamu royal kalau nraktir temen cewek. Tapi, sama cowok? Pelitnya minta ampun. Kok, bisa kamu beliin dia kue?” Wukir memandang Pawana tak percaya.

“Aku juga pernah nraktir Mas Wukir,” jawab Pawana.

“Aku nggak masuk hitungan Adek Manis. Kamu anggep aku kakak, bukan temen cowok!”

“Kamu suka dia?” tanya Wukir to the point.

Pawana tersentak mendengar pertanyaan Wukir yang tak diduganya sama sekali. Melihat ekspresi Pawana, Wukir segera tahu bahwa jawabannya adalah ‘iya’. Dia hanya tersenyum lalu mengacak rambut Pawana.

“Jangan sampai patah hati lagi,” katanya.


*bersambung

18 komentar:

  1. Orang yang jatuh cinta rupanya terbaca lewat ekspresinya ya kak. Makin seru aja ceritanya. Pengen rasanya aku di kirimin softcopy-nya. Biar tak bacanya sampai selesai. Nungguinnya lama banget sih kak :-)

    Dari blog ini. Cerpen inilah yang mampu membuat aku datang kesini terus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe, ini emang belum selesai saya tulis ceritanya :D

      ceritanya lagi sibuk jadi ceritanya gak selesai-selesai.

      Hapus
    2. ceritanya lagi sibuk dikejar deadline entry data nih yee?
      :3

      Hapus
    3. dikejar deadline libur lebaran :p

      Hapus
  2. emang cucur nyampe aceh ya..?
    kirain di jawa doang
    di kalimantan aja belum pernah nemu

    BalasHapus
    Balasan
    1. kan setting ceritanya di Jakarta -_________-

      Hapus
    2. pasti oom Rawins lupa ama setting tempatnya mbak. Becoz, Pawana itu = mbak Milo banget. huahahaha.
      XD

      Hapus
    3. hehehe, segitu miripnya yak :D

      Hapus
    4. lah aku bacanya loncat loncat
      apalagi nek disambi meeting malah ga pake baca langsung komen

      *sampluk panci

      Hapus
    5. eman-eman pancine nggo nyampluk rika :p

      Hapus
    6. kalo begitu sepatu bae atuh, yu...
      aja kelalen sepasang sisan nomer 42
      sekalian dusbuknya juga boleh...
      :D

      Hapus
    7. ngko, ya, tak nggoleti sepatu sing wis rusak ndipit :p

      Hapus
  3. Dasar Pukat, nggak punya sopan santun. Panggilnya nggak pake mbak.
    Huuh, entah kenapa, kalo ada anak yg lebih muda dariku, trus manggil nama doank, rasanya gimanaaaaa gitu. ;(

    Btw, jangan patah hati lagi ya mbak ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku sih gapapa dipanggil nama doang gak pake mbak, asal jangan dipanggil mas :D

      iya, insya Alloh aku nggak patah hati lagi. biar Pawana aja yang patah hati :D

      Hapus
  4. hihihi senyum2 sendiri baca yang ini ikutan berbunga-bunga...next

    BalasHapus
  5. pawana beliin es krim dong, nanti aku bantu entry...colek @Pukat hihihi

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!