Dua bulan lalu, ketika aku baru seminggu
bekerja di kantorku, aku bertemu dengannya untuk pertama kali. Sebenarnya aku
bertugas di Bagian Analisis tapi karena pekerjaan di Bagian Pengolahan Data
sedang membanjir lantaran ada proyek besar, aku pun diperbantukan di sana. Aku
menjadi salah satu entrior. Karena masih belum perpengalaman dalam hal entry data, aku pun sering bertanya pada
supervisor.
“Mbak, ini kenapa, ya? Kok, ada pesan
error begini?”
“Itu artinya penjumlahannya salah. Nilai
isian kolom lima ditambah kolom enam harusnya sama dengan nilai isian kolom
tujuh,” jelasnya.
“Mbak, ini kenapa lagi?”
“Kamu ngapain ngisi itu? Kalau pertanyaan
nomor lima isinya kode dua, pertanyaan enam dan tujuh kosongin aja,” katanya sembari
menghapus isianku yang dimaksud.
“Mbak, ini, kok, ada tulisan network
error?”
Si Mbak Supervisor pun segera mengecek
kotak kecil yang ada di sampingku.
“Itu kabelnya kendur, nggak pas nyolok di
switch-nya,” jawabnya sambil membenarkan posisi kabel abu-abu ke lubang di
kotak kecil di sampingku. Jadi, kotak itu namanya switch.
“Makanya, kamu duduknya jangan lasak!”
katanya. Sekilas aku melihat matanya. Tatapannya terkesan mengintimidasi,
meskipun aku tidak merasa terintimidasi.
Kemudian ada seorang staf yang mendatangi Si
Mbak Supervisor.
“Mbak, itu komputer yang baru di-install
ulang sistem operasinya nggak bisa nyambung ke jaringan. Katanya conflict,”
keluh staf tadi.
“Kamu salah isi IP address kali. Kalau
conflict berarti IP address-nya sama dengan komputer lain, padahal semua sudah
saya atur biar nggak ada yang sama. Kamu yakin IP address-nya sama kaya yang
tertulis di label yang di CPU?” tanyanya.
“Wah, nggak tahu Mbak. Saya tulis seingat
saya aja, cuma kira-kira,” jawab staf tadi sambil menunduk tak berani membalas
tatapan Si Mbak Supervisor yang mulai terlihat mengintimidasi.
Mulai saat itu aku tahu alasan
orang-orang di kantor menyebutnya Medusa. Tatapan matanya membuat orang tidak
berkutik, sama seperti tatapan Medusa yang membuat orang membatu. Dan sampai
saat ini aku pun mengenalnya sebagai Medusa tanpa tahu nama aslinya.
***
Jadi? Dia yang mau dijodohkan denganku?
Dia yang kata Ibu ganteng, pintar, sopan, alim, anak berbakti, dan menantu
idaman semua ibu? Maaf, Ibu. Setelah selama 27 tahun ini aku selalu setuju
dengan semua pendapatmu, kali ini aku harus tidak setuju. Ganteng? Iya, sih.
Pintar? Mungkin. Sopan? Hah! Jelas-jelas dia tadi memanggilku Medusa. Di mana
letak sopannya? Alim? Nggak yakin.
Cuma terlihat berjenggot tipis, bukan jaminan dia alim, kan?
Ingin sekali kusemprotkan saus ke
wajahnya. Tapi ... Ah, aku sudah terlanjur berjanji pada Ibu untuk bersikap
manis demi nama baik Ibu. Duh, Gusti,
paringana sabar.
***
“Anaknya Tante Kartika, ya?” tanya Pukat.
“Iya. Ternyata kamu anaknya Tante Tirta,
ya? Dunia sempit, ya?” Pawana berbasa-basi dan mencoba tersenyum meski tetap
saja senyumnya terlihat kaku.
“Sorry, saya lupa nama kamu. Siapa?”
“Pukat. Nama Mbak?”
“Pawana. Teman-teman, sih, manggilnya
Nana.”
“Saya telat banget, ya? Maaf, ya, Mbak,”
kata Pukat ketika sudah duduk di hadapan Pawana.
“Banget. Sampai lumutan saya nunggu kamu.
Sampai kelaparan juga. Akhirnya saya makan duluan,” cerocos Pawana. Judes. Sedetik
kemudian dia menyesal sikap judesnya karena teringat ancaman Ibu: jangan judes!
Dan Pukat hanya menanggapinya dengan tergelak.
Setelah menghabiskan sepiring nasi dan
ayam goreng sambil mengobrol basa-basi, Pukat mulai mencoba bicara serius.
“Saya belum ingin nikah,” katanya memulai
pembicaraan. Pawana hanya menatap Pukat dengan isyarat agar Pukat melanjutkan
perkataannya.
“Saya nggak nyaman dengan perjodohan ini,”
lanjut Pukat.
“Saya nggak memenuhi kriteria kamu?”
tanya Pawana to the point.
“Bukan itu maksud saya. Kan, saya bilang
tadi saya belum ingin nikah. Jadi, lebih baik perjodohan ini nggak dilanjutkan,”
Pukat serba salah.
“Ya, sudah. Silakan bilang itu ke Mama
kamu,” kata Pawana sambil bergegas mengemasi belanjaannya lalu pergi
meninggalkan Pukat.
makin asyik aja ceritanya mbak.
BalasHapusSifat judes-nya berkarakter saat pukat bilang nggak nyaman dengan perjodohan ini.
Ayo mbak segera diluncurkan cerita 5 nya. Jangan kelamaan. Soalnya ane tipe orang yang pengen langsung selesai membaca ceritanya. Jadi masih ingat jalan ceritanya.
hehehe, semoga bagian 5 nya tetep asyik ya :)
Hapustambah lagi daftar penulis yang ane sukai gaya penulisannya.
BalasHapus1. Nurmayantizain
2. Kak Mugniar
3. Kang uzay (azura-zie)
4. Pak Marsudiyanto
5. Pakde cholik
6. Blog ini setelah membaca cerita menjaring angin.
*tersipu malu*
Hapusganti bae jenenge
BalasHapuswedusa...
haha
Rika bae lah kang sing jenenge ganti WEDUSA :D
HapusPawana,apakah pukat yg membuatmu galau di fb?
BalasHapus#apaansik
kamu temenan ama Pawana di pesbuk?
Hapus*meninjau gosip*
Hapushahahhaha. Judes rek.
BalasHapusPawanan itu kak Milo bukan sih? jangan-jangan ini cerita berdasarkan kisah nyata?
Bukan ya? Lanjuuuttt.
Bukan kisah nyata, enhaaa! lihat dong labelnya, fiksi :p
HapusYang di awal bagian ini, kayak tiba-tiba lompat dari bagian sebelumnya.... Kalo itu flashback, disempilin tiba-tiba gini, malah bikin ceritanya kayak berhenti. Padahal beat-nya lagi kenceng sebelum ketemuan di warung fast-food itu.
BalasHapusSatu lagi, pertanyaannya: ini emang sengaja dibuat minim deskripsi setting atau gimana?
mampus, aye di-proofread!
Hapussaya nggak ngerti beat-beat-an. ngalir aja ini mah -_-
jadi, yaaa... jujur aja saya males bikin deskripsi :D :D :D