Kamis, 27 Juni 2013

Menjaring Angin (1)

“Nana!” teriak Matari. Napasnya terengah, tampaknya dia baru saja berlari demi segera sampai di ruangan kerja Pawana. Pawana yang dipanggil pun menoleh.

“Tari, di mana-mana kalau masuk ruangan orang lain itu ketuk pintu atau salam. Ini malah teriak nggak jelas!” sembur Pawana. Sasi yang sedang duduk di samping Pawana hanya tersenyum. Maklum dengan kelebihan kedua kawannya itu, yang satu kelebihan energi dan semangat, yang satu lagi kelebihan emosi.

Matari menyodorkan kartu undangan berwarna merah hati pada Pawana lalu segera duduk di kursi di depan meja kerja kawan akrabnya itu.

“Minggu depan Lia nikah, Na,” kata Matari yang hanya ditanggapi Pawana dengan “oh” panjang.

“Alhamdulillah kalau gitu. Akhirnya Lia ketemu jodohnya juga,” sahut Sasi sambil membaca undangan yang tadi dibawa Matari.

“Kok, kalian santai gitu? Kalian nggak sadar? Kalau Lia nikah, berarti di antara SEMUA teman kuliah seangkatan, tinggal kita bertiga yang belum nikah!” Matari berapi-api berusaha menyadarkan kedua kawannya akan kenyataan pahit yang akan mereka hadapi.

So what?” tanya Pawana sambil tetap berkutat dengan laptopnya. Dia tetap acuh tak acuh sedangkan Sasi sudah mulai terpengaruh kalimat-kalimat Matari nan dramatis bin lebay.
“Kamu nggak iri sama teman-teman kita yang udah nikah? Kamu nggak pengen nikah, Na?” tanya Sasi.

“Kenapa aku mesti nikah? Give me a reason!

“Kalau kita udah nikah, kan, enak. Ada yang bayarin kontrakan, beliin baju, jadi nggak pusing mikirin masalah finansial,” kata Matari sambil bertopang dagu, mungkin membayangkan indahnya pernikahan.

“Ah, aku masih sanggup memenuhi kebutuhan hidupku sendiri,” jawab Pawana.

“Kalau udah nikah, ada yang nganterin kita ke mana-mana,” Matari masih keukeuh menunjukkan pada Pawana “keuntungan” menikah.

“Aku punya motor, aku bisa naik motor, aku punya SIM, jadi aku bisa pergi ke mana-mana sendiri, nggak perlu dianterin siapapun,” jawab Pawana tak kalah keukeuh-nya.

“Nikah itu ibadah, Nana,” Sasi mulai mencoba memberikan alasan menikah yang lebih ‘lurus’.

“Tingkat keimananku belum setinggi itu, Sasi. Aku belum bisa melakukan segala sesuatu dengan alasan ibadah, kerja buat ibadah, nikah buat ibadah,” jawab Pawana lagi.

Sasi dan Matari hanya berpandangan dan menghela napas. Tidak akan bisa menang berdebat dengan Pawana.
Tak lama kemudian salah seorang staf Pawana datang ke ruangan.

“Bu, komputer yang baru kemarin dikirim dari kantor pusat nggak bisa dipake buat entry data. Katanya nggak bisa nyambung ke server,” katanya.

“Sudah kamu cek kabel jaringannya? Sudah kamu cek Firewall di komputernya? Sudah kamu cek IP address-nya?” tanya Pawana bertubi-tubi yang semuanya dijawab dengan gelengan.

“Masa kaya gitu aja mesti diajarin? Cek dulu sana! Kalau masih belum berhasil, nanti saya yang ke ruang entry,” perintah Pawana pada stafnya yang demi mendengar perintahnya  langsung angkat kaki dari ruangan.

“Galak banget kamu, Na! Kasihan staf-staf kamu. Kayaknya kamu perlu punya suami buat jadi pelampiasan emosi kamu,” canda Sasi.

Pawana langsung menjentikkan jarinya. Matari dan Sasi saling berpandangan. Firasat buruk.

“Benul! Aku butuh suami buat jadi pelampiasan tantrumku. Aku mau nikah!” teriak Pawana berapi-api.


bersambung

4 komentar:

  1. Absen dulu~

    Kemaren baru baca sampe nomer dua pake hape. Susah komen di hape. Gak seenak komen lewat laptop. Baca ampe nomer lima dulu yak baru komen lagi tentang isinya. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ish, PHP. Ditungguin komennya, tapi nggak komen-komen :p

      Hapus
  2. itu, tokoh Pawana, gambaran dari diri mbak Milo bukan sih? hehe.
    Bukan ya? Lanjut ke part 2 ahh.

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!