“Nana!” teriak Matari. Napasnya
terengah, tampaknya dia baru saja berlari demi segera sampai di ruangan kerja
Pawana. Pawana yang dipanggil pun menoleh.
“Tari, di mana-mana kalau masuk
ruangan orang lain itu ketuk pintu atau salam. Ini malah teriak nggak jelas!”
sembur Pawana. Sasi yang sedang duduk di samping Pawana hanya tersenyum. Maklum
dengan kelebihan kedua kawannya itu, yang satu kelebihan energi dan semangat,
yang satu lagi kelebihan emosi.
Matari menyodorkan kartu undangan
berwarna merah hati pada Pawana lalu segera duduk di kursi di depan meja kerja
kawan akrabnya itu.
“Minggu depan Lia nikah, Na,”
kata Matari yang hanya ditanggapi Pawana dengan “oh” panjang.
“Alhamdulillah kalau gitu.
Akhirnya Lia ketemu jodohnya juga,” sahut Sasi sambil membaca undangan yang
tadi dibawa Matari.
“Kok, kalian santai gitu? Kalian
nggak sadar? Kalau Lia nikah, berarti di antara SEMUA teman kuliah seangkatan,
tinggal kita bertiga yang belum nikah!” Matari berapi-api berusaha menyadarkan
kedua kawannya akan kenyataan pahit yang akan mereka hadapi.
“So what?” tanya Pawana sambil tetap
berkutat dengan laptopnya. Dia tetap acuh tak acuh sedangkan Sasi sudah mulai
terpengaruh kalimat-kalimat Matari nan dramatis bin lebay.
“Kamu nggak iri sama teman-teman
kita yang udah nikah? Kamu nggak pengen nikah, Na?” tanya Sasi.
“Kenapa aku mesti nikah? Give me
a reason!”
“Kalau kita udah nikah, kan,
enak. Ada yang bayarin kontrakan, beliin baju, jadi nggak pusing mikirin
masalah finansial,” kata Matari sambil bertopang dagu, mungkin membayangkan
indahnya pernikahan.
“Ah, aku masih sanggup memenuhi
kebutuhan hidupku sendiri,” jawab Pawana.
“Kalau udah nikah, ada yang
nganterin kita ke mana-mana,” Matari masih keukeuh
menunjukkan pada Pawana “keuntungan” menikah.
“Aku punya motor, aku bisa naik
motor, aku punya SIM, jadi aku bisa pergi ke mana-mana sendiri, nggak perlu
dianterin siapapun,” jawab Pawana tak kalah keukeuh-nya.
“Nikah itu ibadah, Nana,” Sasi
mulai mencoba memberikan alasan menikah yang lebih ‘lurus’.
“Tingkat keimananku belum
setinggi itu, Sasi. Aku belum bisa melakukan segala sesuatu dengan alasan
ibadah, kerja buat ibadah, nikah buat ibadah,” jawab Pawana lagi.
Sasi dan Matari hanya
berpandangan dan menghela napas. Tidak
akan bisa menang berdebat dengan Pawana.
Tak lama kemudian salah seorang
staf Pawana datang ke ruangan.
“Bu, komputer yang baru kemarin
dikirim dari kantor pusat nggak bisa dipake buat entry data. Katanya nggak bisa
nyambung ke server,” katanya.
“Sudah kamu cek kabel
jaringannya? Sudah kamu cek Firewall di komputernya? Sudah kamu cek IP
address-nya?” tanya Pawana bertubi-tubi yang semuanya dijawab dengan gelengan.
“Masa kaya gitu aja mesti
diajarin? Cek dulu sana! Kalau masih belum berhasil, nanti saya yang ke ruang
entry,” perintah Pawana pada stafnya yang demi mendengar perintahnya langsung angkat kaki dari ruangan.
“Galak banget kamu, Na! Kasihan
staf-staf kamu. Kayaknya kamu perlu punya suami buat jadi pelampiasan emosi
kamu,” canda Sasi.
Pawana langsung menjentikkan
jarinya. Matari dan Sasi saling berpandangan. Firasat buruk.
“Benul! Aku butuh suami buat jadi
pelampiasan tantrumku. Aku mau nikah!” teriak Pawana berapi-api.
bersambung
bersambung
Absen dulu~
BalasHapusKemaren baru baca sampe nomer dua pake hape. Susah komen di hape. Gak seenak komen lewat laptop. Baca ampe nomer lima dulu yak baru komen lagi tentang isinya. :D
Ish, PHP. Ditungguin komennya, tapi nggak komen-komen :p
Hapusitu, tokoh Pawana, gambaran dari diri mbak Milo bukan sih? hehe.
BalasHapusBukan ya? Lanjut ke part 2 ahh.
Ih, enha kepo deh :D
Hapus