Minggu, 06 Januari 2013

Bidadari Bidadari Surga: Novel tentang Kasih Sayang Seorang Kakak

Dengarkanlah kabar bahagia ini.
Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilah wajah). Yakinlah, wanita-wanita salehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir, sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga parasnya cantik luar biasa.


Kisah ini tentang Laisa dan keempat adiknya: Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta. Meskipun secara fisik Laisa sangat berbeda dengan mereka, meskipun Laisa tidak memiliki hubungan darah dengan mereka, Laisa akan selalu menjadi kakak mereka. Laisa akan selalu menjadi kakak terbaik mereka. Laisa akan selalu menjadi kakak mereka yang tidak pernah terlambat datang untuk mereka.

Umur Laisa sebelas tahun ketika ia mengatakan kepada Mamak Lainuri bahwa dia ingin berhenti bersekolah. Ia tahu Mamak tidak punya cukup uang untuk membeli seragam Dalimunte. Ia pun memutuskan berhenti sekolah. Biar Dalimunte saja yang sekolah. Ia memutuskan untuk membantu Mamak bekerja agar kelak Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta juga bisa sekolah.

Ternyata keputusan Laisa tidaklah salah. Dengan pengorbanannya, adik-adiknya menjadi orang-orang sukses. Dalimunte menjadi profesor di bidang Fisika, Wibisana dan Ikanuri memiliki pabrik – atau lebih tepatnya bengkel modifikasi – mobil, dan Yashinta menjadi petugas konservasi – atau semacamnya, lah – bagi hewan-hewan langka.

Kecerdasan Dalimunte sudah terlihat sejak kecil. Dia suka membuat penemuan ini, lah, itu, lah. Salah satunya adalah kincir air yang ia buat untuk mengalirkan air dari sungai melewati cadas setinggi lima meter menuju ladang-ladang di kampung mereka. Awalnya Dalimunte gugup dalam menjelaskan rancangan kincir airnya di dalam rapat kampung. Tapi, Laisa dengan penuh percaya diri mengatakan bahwa rancangan Dalimunte akan berhasil. Orang-orang pun percaya. Dan nyatanya kincir air itu memang berfungsi dengan baik. Ladang mereka yang biasanya hanya mengandalkan air hujan kini bisa diairi dengan irigasi.

Kecintaan Yashinta pada alam pun sudah terpupuk sejak kecil. Ia mulai mencintai alam sejak Laisa mengajaknya melintasi hutan demi melihat berang-berang yang sudah membuat ‘bendungan’ di sungai. Sebenarnya bukan Laisa yang mengajaknya melainkan Yashinta memaksa Laisa untuk mengajaknya setelah Laisa kelepasan menceritakan tentang berang-berang yang dilihatnya di sungai, apalagi dengan tambahan seruan “lucu sekali”.

Wibisana dan Ikanuri? Ah, entah bagaimana menceritakannya. Mereka bengal, suka membolos. Entah berapa kali Laisa harus mengejar-ngejar mereka sambil mengacung-acungkan sapu lidi ketika tahu mereka membolos. Tapi, bagaimanapun juga mereka masih termasuk anak yang baik. Mereka juga termasuk kakak yang menyayangi adik mereka, Yashinta. Terbukti, setelah membolos sekolah lalu ‘bekerja’ membantu tauke desa berjualan di pasar, mereka membawa pulang oleh-oleh yang sangat diinginkan Yashinta: krayon dua belas warna. Kebengalan mereka jauh berkurang setelah kejadian di Gunung Kendeng, ketika Laisa menyelamatkan mereka berdua yang hampir diterkam harimau.

Kemudian mereka beranjak dewasa. Sudah saatnya untuk menikah. Meskipun sudah memiliki tambatan hati, tak sampai hati mereka melintas (atau nglangkahi dalam Bahasa Jawa). Namun, pada akhirnya satu per satu dengan berat hati melintas. Pertama, Dalimunte menikah dengan Cie Hui. Lalu disusul Wibisana yang menikahi Jasmine dan Ikanuri menikahi Wulan, di hari yang sama.

Hingga kemudian Mamak Lainuri mengirim SMS:
Pulanglah. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah....

Pesan itu dikirimkan ke nomor keempat adik Laisa. Dalimunte saat itu sedang memberikan ceramah dalam simposium. Ikanuri dan Wibisana baru saja tiba di Roma, Italia, untuk urusan bisnis. Yashinta sedang mengamati alap-alap kawah dari puncak Semeru. Mereka semua bergegas pulang demi membaca pesan tersebut. Apa yang terjadi? Sakit apakah kakak mereka itu?

Itu adalah sekilas cerita yang ada dalam novel Bidadari Bidadari Surga karya Tere Liye. Sebenarnya buku ini bukan termasuk incaranku. Aku membelinya dengan alasan ekonomis. Aku berniat memesan novel Kisah Sang Penandai lewat tbodelisa. Berhubung ongkos kirim ke Blangpidie sangat mahal, sepertinya sayang kalau cuma membeli satu buku. Kuputuskan untuk membeli dua buku lainnya yaitu Bidadari Bidadari Surga dan Moga Bunda Disayang Allah. Yah, tidak menyesal juga membeli buku ini. Lumayan membuat air mata berderai-derai. Ditambah lagi aku tidak dapat menonton film yang diadaptasi dari novel ini. Tak bisa menonton filmnya, membaca novelnya saja pun tak masalah.

Aku sangat suka desain sampulnya. Dibandingkan novel-novel Tere Liye yang lain yang kumiliki, yang desain sampulnya menurutku nggak manis blas, novel yang satu ini berbeda. Perpaduan warnanya, gradasinya, sangat manis. Setelah diintip di halaman KDT, ternyata desainernya Eja-creative14. Selain sampulnya manis, isi ceritanya pun manis. Entah memang ceritanya yang bagus atau seleraku yang memang cocok dengan yang disuguhkan oleh Tere Liye. Sepertinya, sih, memang ceritanya bagus. Buktinya sudah berkali-kali cetak ulang. Yang kubeli sendiri merupakan cetakan kesebelas (April 2012). Seperti biasa Tere Liye menggunakan alur maju mundur yang entah kenapa masih bisa kupahami dengan baik jalan ceritanya. Karakter tokoh-tokohnya juga lumayan kuat, terutama Wibisana dan Ikanuri yang menyebalkan. Aku suka cara kejam Tere Liye dalam mendeskripsikan kedua anak itu. Dan sepertinya Tere Liye suka menggunakan karakter-karakter seperti itu. Dalimunte entah kenapa mengingatkanku pada Pukat. Bedanya, Pukat cerdas tapi bengal sedangkan Dalimunte cerdas dan penurut. Yashinta pun mengingatkanku pada Eliana. Sama-sama pencinta lingkungan, sama-sama keras kepala. Ikanuri dan Wibisana? Mungkin kenakalannya mirip Burlian dan Pukat (tentunya kalau kecerdasan Pukat dikurangi, hehehe).

Tapi, aku sedikit terganggu dengan kehadiran Tere Liye menjelang akhir cerita. Nggak penting, hehehe... Ada yang ganjil juga di halaman 95. Ikanuri bertanya, “Juwita dan Sekar sudah tiba di mana?” Hmm, siapakah Sekar? Istri Wibisana? Padahal di paragraf terakhir di halaman tersebut dikatakan bahwa istri Wibisana bernama Wulan. Eh, tapi di halaman 282 disebutkan bahwa Ikanuri melamar Wulan dan Wibisana melamar Jasmine. Yang benar yang mana? Satu lagi. Di halaman 96. Juwita dan Delima memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi. Membiarkan saja putri-putri tunggal mereka membawanya. Putri-putri tunggal mereka? Putri-putri tunggal Juwita dan Delima? Sepertinya penulis bermaksud menulis seperti ini: Jasmine dan Wulan memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi. Membiarkan saja putri-putri tunggal mereka membawanya. Aneh, sudah cetakan kesebelas tapi masih ada kesalahan semacam ini. Apakah aku terlalu berbakat untuk nyacat sampai kesalahan ini pun kutemukan? Ah, sudahlah. yang jelas, novel ini menarik!

NB: Kutipan di awal tulisan ini setahuku bukan ayat Al Qur'an ataupun hadits, jadi tidak perlu ada yang mendebatnya

23 komentar:

  1. baca sinopsi'a keren sih, tapi lebih suka baca sastra jadul soalnya sensasi lebih enak :)

    BalasHapus
  2. Aku nangis bplak-balik bacanya :)

    Nunggu film ini, semoga segera ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya udah tayang Desember kemarin deh...

      Hapus
    2. Meski Milo sedkit bercanda dengan mengakui bahwa tulisan-tulisan semacam ini hanya pencitraan,:) tapi bagiku tidak. Tetapi yang pasti, tulisanmu di bagian buku bacaan seperti ini lambat laun *karena aku suka mengikuti* menjadi lebih berkarakter. Menjadi ahli memang tergantung 'jam terbang' rupanya... :)

      Hapus
    3. Wah, berarti sudah semakin 'berkarakter' yah? Hmm... Aku malah nggak ngerti di mana letak karakternya (>,<")

      Hapus
  3. Novelnya emang keren mbak...sayang sekali aku baru selesai baca separo, keseringan "diganggu anak-anak" klo mau baca hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, begitu, ya, kalau sudah punya anak. Dirusuhi terus. Tapi, tetep lebih seru main sama anak kan dibanding baca novel :p

      Hapus
  4. wah .. jadi ingin baca novelnya nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buruan cari di perpus, Mbak. Siapa tahu di perpus sana ada..

      Hapus
  5. aku baru baca beberapa halaman, gara-gara nonton traillernya kemarin coba ikhsan dah gede pengen deh nonton

    BalasHapus
    Balasan
    1. kan nonton cuma bentar, Ikhsan suruh main ama bapaknya aja :D

      Hapus
  6. kayaknya nih novel layak dibaca deh..... cari cari ah... terima kasih ya referensinya bagus..

    BalasHapus
  7. Coba dikasih tau ke penerbitnya, Mil. Siapa tau editornya emang kelewat atau gimana, kan sayang kalo novel bagus masih ada 'cacat'nya :)

    BalasHapus
  8. saya suka tere liye :)
    pengen baca negeri para pedebah sambil nunggu amelia terbit..

    BalasHapus
  9. aku suka juga denga tulisannya..
    ini ada yang sudah nonton filmnya?
    bagus ngak ya kira-kira

    BalasHapus
  10. nyan ka ku pateh...bereh that crita jih

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!