Dengarkanlah kabar bahagia ini.Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin karena keterbatasan fisik, kesempatan, atau tidak pernah ‘terpilih’ di dunia yang amat keterlaluan mencintai materi dan tampilah wajah). Yakinlah, wanita-wanita salehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, berbagi, berbuat baik, dan bersyukur. Kelak di hari akhir, sungguh akan menjadi bidadari-bidadari surga. Dan kabar baik itu pastilah benar, bidadari surga parasnya cantik luar biasa.
Kisah ini tentang Laisa dan keempat adiknya: Dalimunte, Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta. Meskipun secara fisik Laisa sangat berbeda dengan mereka, meskipun Laisa tidak memiliki hubungan darah dengan mereka, Laisa akan selalu menjadi kakak mereka. Laisa akan selalu menjadi kakak terbaik mereka. Laisa akan selalu menjadi kakak mereka yang tidak pernah terlambat datang untuk mereka.
Umur Laisa sebelas tahun ketika ia mengatakan kepada Mamak Lainuri
bahwa dia ingin berhenti bersekolah. Ia tahu Mamak tidak punya cukup uang untuk
membeli seragam Dalimunte. Ia pun memutuskan berhenti sekolah. Biar Dalimunte
saja yang sekolah. Ia memutuskan untuk membantu Mamak bekerja agar kelak
Wibisana, Ikanuri, dan Yashinta juga bisa sekolah.
Ternyata keputusan Laisa tidaklah salah. Dengan pengorbanannya,
adik-adiknya menjadi orang-orang sukses. Dalimunte menjadi profesor di bidang
Fisika, Wibisana dan Ikanuri memiliki pabrik – atau lebih tepatnya bengkel
modifikasi – mobil, dan Yashinta menjadi petugas konservasi – atau semacamnya,
lah – bagi hewan-hewan langka.
Kecerdasan Dalimunte sudah terlihat sejak kecil. Dia suka membuat
penemuan ini, lah, itu, lah. Salah satunya adalah kincir air yang ia buat untuk
mengalirkan air dari sungai melewati cadas setinggi lima meter menuju
ladang-ladang di kampung mereka. Awalnya Dalimunte gugup dalam menjelaskan
rancangan kincir airnya di dalam rapat kampung. Tapi, Laisa dengan penuh
percaya diri mengatakan bahwa rancangan Dalimunte akan berhasil. Orang-orang
pun percaya. Dan nyatanya kincir air itu memang berfungsi dengan baik. Ladang
mereka yang biasanya hanya mengandalkan air hujan kini bisa diairi dengan
irigasi.
Kecintaan Yashinta pada alam pun sudah terpupuk sejak kecil. Ia mulai
mencintai alam sejak Laisa mengajaknya melintasi hutan demi melihat berang-berang
yang sudah membuat ‘bendungan’ di sungai. Sebenarnya bukan Laisa yang
mengajaknya melainkan Yashinta memaksa Laisa untuk mengajaknya setelah Laisa
kelepasan menceritakan tentang berang-berang yang dilihatnya di sungai, apalagi
dengan tambahan seruan “lucu sekali”.
Wibisana dan Ikanuri? Ah, entah bagaimana menceritakannya. Mereka
bengal, suka membolos. Entah berapa kali Laisa harus mengejar-ngejar mereka
sambil mengacung-acungkan sapu lidi ketika tahu mereka membolos. Tapi,
bagaimanapun juga mereka masih termasuk anak yang baik. Mereka juga termasuk
kakak yang menyayangi adik mereka, Yashinta. Terbukti, setelah membolos sekolah
lalu ‘bekerja’ membantu tauke desa berjualan di pasar, mereka membawa pulang
oleh-oleh yang sangat diinginkan Yashinta: krayon dua belas warna. Kebengalan
mereka jauh berkurang setelah kejadian di Gunung Kendeng, ketika Laisa
menyelamatkan mereka berdua yang hampir diterkam harimau.
Kemudian mereka beranjak dewasa. Sudah saatnya untuk menikah. Meskipun
sudah memiliki tambatan hati, tak sampai hati mereka melintas (atau nglangkahi dalam Bahasa Jawa). Namun,
pada akhirnya satu per satu dengan berat hati melintas. Pertama, Dalimunte
menikah dengan Cie Hui. Lalu disusul Wibisana yang menikahi Jasmine dan Ikanuri
menikahi Wulan, di hari yang sama.
Hingga kemudian Mamak Lainuri mengirim SMS:
Pulanglah. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungkin
minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi nanti malam. Benar-benar tidak ada
waktu lagi. Anak-anakku, sebelum semuanya terlambat, pulanglah....
Pesan itu dikirimkan ke nomor keempat adik Laisa. Dalimunte saat itu
sedang memberikan ceramah dalam simposium. Ikanuri dan Wibisana baru saja tiba
di Roma, Italia, untuk urusan bisnis. Yashinta sedang mengamati alap-alap kawah
dari puncak Semeru. Mereka semua bergegas pulang demi membaca pesan tersebut. Apa
yang terjadi? Sakit apakah kakak mereka itu?
Itu adalah sekilas cerita yang ada dalam novel Bidadari Bidadari Surga
karya Tere Liye. Sebenarnya buku ini bukan termasuk incaranku. Aku membelinya
dengan alasan ekonomis. Aku berniat memesan novel Kisah Sang Penandai lewat
tbodelisa. Berhubung ongkos kirim ke Blangpidie sangat mahal, sepertinya sayang
kalau cuma membeli satu buku. Kuputuskan untuk membeli dua buku lainnya yaitu
Bidadari Bidadari Surga dan Moga Bunda Disayang Allah. Yah, tidak menyesal juga
membeli buku ini. Lumayan membuat air mata berderai-derai. Ditambah lagi aku
tidak dapat menonton film yang diadaptasi dari novel ini. Tak bisa menonton filmnya,
membaca novelnya saja pun tak masalah.
Aku sangat suka desain sampulnya. Dibandingkan novel-novel Tere Liye
yang lain yang kumiliki, yang desain sampulnya menurutku nggak manis blas, novel
yang satu ini berbeda. Perpaduan warnanya, gradasinya, sangat manis. Setelah
diintip di halaman KDT, ternyata desainernya Eja-creative14. Selain sampulnya
manis, isi ceritanya pun manis. Entah memang ceritanya yang bagus atau seleraku
yang memang cocok dengan yang disuguhkan oleh Tere Liye. Sepertinya, sih,
memang ceritanya bagus. Buktinya sudah berkali-kali cetak ulang. Yang kubeli
sendiri merupakan cetakan kesebelas (April 2012). Seperti biasa Tere Liye
menggunakan alur maju mundur yang entah kenapa masih bisa kupahami dengan baik
jalan ceritanya. Karakter tokoh-tokohnya juga lumayan kuat, terutama Wibisana
dan Ikanuri yang menyebalkan. Aku suka cara kejam Tere Liye dalam
mendeskripsikan kedua anak itu. Dan sepertinya Tere Liye suka menggunakan
karakter-karakter seperti itu. Dalimunte entah kenapa mengingatkanku pada
Pukat. Bedanya, Pukat cerdas tapi bengal sedangkan Dalimunte cerdas dan
penurut. Yashinta pun mengingatkanku pada Eliana. Sama-sama pencinta
lingkungan, sama-sama keras kepala. Ikanuri dan Wibisana? Mungkin kenakalannya mirip
Burlian dan Pukat (tentunya kalau kecerdasan Pukat dikurangi, hehehe).
Tapi, aku sedikit terganggu dengan kehadiran Tere Liye menjelang akhir
cerita. Nggak penting, hehehe... Ada yang ganjil juga di halaman 95. Ikanuri
bertanya, “Juwita dan Sekar sudah tiba di
mana?” Hmm, siapakah Sekar? Istri Wibisana? Padahal di paragraf terakhir di
halaman tersebut dikatakan bahwa istri Wibisana bernama Wulan. Eh, tapi di
halaman 282 disebutkan bahwa Ikanuri melamar Wulan dan Wibisana melamar
Jasmine. Yang benar yang mana? Satu lagi. Di halaman 96. Juwita dan Delima
memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi. Membiarkan saja putri-putri
tunggal mereka membawanya. Putri-putri tunggal mereka? Putri-putri tunggal
Juwita dan Delima? Sepertinya penulis bermaksud menulis seperti ini: Jasmine dan
Wulan memutuskan untuk tidak banyak berdebat lagi. Membiarkan saja putri-putri
tunggal mereka membawanya. Aneh, sudah cetakan kesebelas tapi masih ada
kesalahan semacam ini. Apakah aku terlalu berbakat untuk nyacat sampai kesalahan ini pun kutemukan? Ah, sudahlah. yang
jelas, novel ini menarik!
NB: Kutipan di awal tulisan ini setahuku bukan ayat Al Qur'an ataupun hadits, jadi tidak perlu ada yang mendebatnya
baca sinopsi'a keren sih, tapi lebih suka baca sastra jadul soalnya sensasi lebih enak :)
BalasHapusBerarti selera kita beda, ya :p
HapusAku nangis bplak-balik bacanya :)
BalasHapusNunggu film ini, semoga segera ...
Kayaknya udah tayang Desember kemarin deh...
HapusMeski Milo sedkit bercanda dengan mengakui bahwa tulisan-tulisan semacam ini hanya pencitraan,:) tapi bagiku tidak. Tetapi yang pasti, tulisanmu di bagian buku bacaan seperti ini lambat laun *karena aku suka mengikuti* menjadi lebih berkarakter. Menjadi ahli memang tergantung 'jam terbang' rupanya... :)
HapusWah, berarti sudah semakin 'berkarakter' yah? Hmm... Aku malah nggak ngerti di mana letak karakternya (>,<")
HapusNovelnya emang keren mbak...sayang sekali aku baru selesai baca separo, keseringan "diganggu anak-anak" klo mau baca hehehe
BalasHapusHahaha, begitu, ya, kalau sudah punya anak. Dirusuhi terus. Tapi, tetep lebih seru main sama anak kan dibanding baca novel :p
Hapuswah .. jadi ingin baca novelnya nih
BalasHapusBuruan cari di perpus, Mbak. Siapa tahu di perpus sana ada..
Hapusbagus nih novelnya, keren
BalasHapusIya, emang bagus novelnya :)
Hapusaku baru baca beberapa halaman, gara-gara nonton traillernya kemarin coba ikhsan dah gede pengen deh nonton
BalasHapuskan nonton cuma bentar, Ikhsan suruh main ama bapaknya aja :D
Hapuskayaknya nih novel layak dibaca deh..... cari cari ah... terima kasih ya referensinya bagus..
BalasHapusIya, memang recommended :)
HapusCoba dikasih tau ke penerbitnya, Mil. Siapa tau editornya emang kelewat atau gimana, kan sayang kalo novel bagus masih ada 'cacat'nya :)
BalasHapusNggak tahu email penerbitnya je...
Hapussaya suka tere liye :)
BalasHapuspengen baca negeri para pedebah sambil nunggu amelia terbit..
Negeri Para Bedebah seru, lho :)
Hapusaku suka juga denga tulisannya..
BalasHapusini ada yang sudah nonton filmnya?
bagus ngak ya kira-kira
Hehehe, saya belum nonton filmnya :D
Hapusnyan ka ku pateh...bereh that crita jih
BalasHapus