Melucu itu bukan hal yang mudah dan sederhana. Kadang kala ada lelucon yang kita lontarkan -- dan menurut kita itu lucu -- tapi orang lain tidak menganggapnya lucu. Kadang bisa jadi mereka malah marah. Begitu juga sebaliknya. Ada kalanya ketika orang melontarkan lelucon pada kita, di mata kita lelucon itu garing, jayus, atau bahkan menyebalkan. Ada banyak alasan mengapa suatu lelucon bisa dianggap lucu oleh sebagian orang tapi sebagian yang lain menganggapnya sama sekali tidak lucu.
Alasan pertama adalah tidak paham. Bisa jadi, orang tidak memahami maksud dari lelucon kita. Misalnya ketika aku melihat kawanku bersin-bersin, aku pun berkata, "Dih, aku udah mandi, nih." Maksudku adalah "aku sudah mandi, masa masih bau sampai kamu bersin-bersin mencium bau badanku". Eh, kawanku itu malah menerjemahkan kalimatku begini "aku sudah mandi, jangan 'dikotori' dengan kuman dari bersinmu." Biasanya perkara "salah paham" ini terjadi pada orang-orang yang jarang bercanda dengan kita jadi tidak tahu ke mana arah pembicaraan yang kita maksud. Kadang, masalah perbedaan bahasa juga bisa membuat lelucon menjadi tidak lucu. Bagi orang yang memahami Bahasa Jawa tentunya paham dengan lelucon "Bedanya tiang listrik sama tiyang jaler: tiang listrik madhangi, tiyang jaler metengi". Tapi, orang yang tidak paham Bahasa Jawa mungkin tidak akan paham maksud kalimat tersebut.
Alasan kedua adalah beda tingkat selera humor. Bisa jadi orang yang menganggap suatu lelucon itu tidak lucu adalah orang yang sudah biasa mendengarkan atau melihat humor-humor dengan tingkat kelucuan yang sangat tinggi. Ibarat orang yang sudah biasa makan masakan dengan cabai rawit lima buah, tentu bila disuguhi masakan dengan cabai merah cuma sebiji dia akan menganggapnya tidak pedas. Seseorang yang biasa mendengar atau melihat humor cerdas yang filosofis, tentunya akan mengharapkan humor yang 'setingkat' dengan yang biasa dia dengar atau lihat. Kalau disuguhi humor yang isinya cuma mencela orang lain, besar kemungkinan dia akan menganggap itu sama sekali tidak lucu, jauh di bawah ekspektasinya.
Alasan ketiga adalah "tema" humor itu bagi sebagian orang bukan sesuatu yang layak dijadikan lelucon. Misalnya, bagi sebagian orang lelucon tentang marga-marga orang Batak merupakan hal yang wajar. Tapi, bisa jadi bagi sebagian yang lain itu adalah hal yang sangat 'mengganggu' bila dijadikan lelucon karena terkesan menghina. Lelucon mengenai salah satu agama, misalnya, amat sangat tabu bagi sebagian orang, tapi bisa jadi amat sangat lucu bagi sebagian orang.
Alasan keempat adalah 'waktu' yang tidak tepat. Ketika seseorang sedang marah tentang satu hal, misalnya karena namanya dijadikan lelucon, kemudian ada orang yang melontarkan lelucon tentang namanya, besar kemungkinan dia akan marah. Mungkin biasanya dia menganggap lelucon itu lucu. Namun, selera humor seseorang seringkali dipengaruhi suasana hati. Seseorang yang mood-nya sedang buruk biasanya easily irritated, mudah sekali kesal. Lelucon yang biasanya membuatnya tebahak-bahak pun bisa mendadak jadi lelucon paling menyebalkan di matanya. Sayangnya ada sebagian orang yang senang 'menggoda' orang yang sedang marah alih-alih meredakan emosinya. Ibarat kayu yang sedang terbakar, bukannya disiram dengan air malah disiram dengan bensin. Orang-orang seperti ini menganggap 'orang marah' sebagai hiburan.
Alasan kelima adalah lelucon yang berlebihan. Misalnya ketika seseorang mencela kawannya. Awalnya kawannya menganggap itu lucu. Namun, kalau dilakukan terus-menerus tanpa jeda yang cukup, lelucon itu akan berubah jadi satu hal yang 'mengganggu'. Dan bisa jadi kawannya akan berkata, "That's not funny anymore." Lelucon yang berlebihan itu tidak lucu, Kawan. Sebagian orang punya sensitivitas yang cukup untuk mengetahui bahwa kawannya sudah menganggap suatu lelucon tidak lucu lagi. Orang-orang dengan sensitivitas tinggi ini biasanya tahu kapan harus berhenti bercanda. Sayangnya, ada juga orang-orang yang kurang sensitif. Mereka ini terus-menerus melontarkan lelucon meskipun orang yang diajak bercanda sudah memberikan sinyal 'muak'. Semoga aku bukan termasuk orang yang tidak sensitif itu.
Well, itulah sebagian alasan kenapa seseorang bisa menganggap suatu lelucon tidak lucu. Sepertinya masih banyak alasan lain, tapi belum terpikirkan olehku.
hahay~
BalasHapussetuju sama lima alasan diatas ^^
hehehe, ada yang setuju juga :)
HapusAku gak paham masalah tiang-tiangan itu.... T_________T
BalasHapusOh, satu lagi, Milo. Aku sebel kalo lagi serius banget gitu, trus ada yang ngajak becanda. Buyar sudah keseriusanku. :D
Hehehe, clue-nya tiyang jaler = laki-laki, kalo kata metengi bisa diartikan "menggelapkan", bisa juga diartikan "menghamili". Mesti ngerti bahasa jawa sih ya kalo becanda beginian. Terlalu 'lokal' kosakatanya.
HapusSaya juga sebel kalo lagi serius malah dibecandain. Apalagi kalo lagi nanya bener-bener trus dijawabnya sambil becanda. Pernah saya nanya serius sama dua orang. Yang satu jawabnya becanda, yang satu serius. Jadi terpesona sama yang jawab serius. Dan setelah saya perhatiin, orang itu emang seringnya tahu kapan boleh becanda kapan mesti serius.
wah leg ngelucu gag lucu kan jayus kalau dulu namanya seh gitu :D
BalasHapusjayus tur nggapleki :D
HapusTapi lebih enak itu lucu pada tempatnya ya, mba. :D
BalasHapusKarena kalau nglucu tidak pada tempatnya ya hasilnya kayak diatas. lucu, tapi tidak lucu. :D
hu'um, ngelucu itu mesti pada tempatnya. daripada malah bikin sebel :D (bukan cuma nggak lucu, tapi sampe bikin sebel)
HapusNek aku og raiso ngelucu ya...
BalasHapusJoke lucu kalo aku yang bilang jadi krik krik, wew...
Hehehe, aku juga nggak bisa ngelucu. Biasanya aku niat ngelucu tapi mukaku tetep datar jadi jarang yang ngeh kalo aku becanda :D
Hapusintinya, bikin orang ketawa itu susah... Lebih mudah bikin orang nangis..
BalasHapusYup. Lebih gampan bikin nangis :D
Hapus