Pernah mengalami mati lampu? Eh, ralat.
Pernah mengalami listrik padam? Sering? Yang tinggal di luar Jawa mungkin agak
akrab dengan mati lampu. Lalu bagaimana reaksi kita? Mungkin sebagian besar
(termasuk aku) akan misuh-misuh, terutama ketika mati lampunya malam hari.
Mungkin ada yang akan mengomel, “Kambing, nih, PLN. Gue lagi belajar malah mati
lampu. Mana besok ujian pula. Semprul!” Atau mungkin ada yang mengomel, “Asem!
Lagi seru-serunya nonton SFC lawan Persipura malah mati lampu!” Dan sebagian
lain (yang sepertinya jumlahnya sedikit) memilih tidak banyak bicara dan
langsung mencari lilin atau lampu minyak dan menyalakannya.
Mirip dengan reaksi masyarakat atas
kondisi negara kita yang belum baik (sekali lagi ‘belum’, bukan ‘tidak’).
Banyak – tapi bukan berarti kebanyakan – yang menanggapinya dengan misuh-misuh,
menghujat (baik menghujat pemerintah maupun sesama warga negara), atau minimal
mengeluh. Ini bisa dilihat dari komentar-komentar negatif di situs berita
elektronik seperti detik.com. Contohnya untuk masalah pendidikan. Melihat
minimnya tenaga pengajar di daerah pedalaman, mungkin banyak yang langsung
menghujat pemerintah dan mengatakan pemerintah tidak becus mengatur negara.
Berlawanan dengan sikap mereka yang banyak berkomentar dan mengeluh, ada
beberapa anak bangsa yang justru sigap menyikapinya dengan tindakan langsung.
Mereka langsung berusaha mengatasi masalah pendidikan dengan terjun ke
pedalaman menjadi tenaga pengajar di sana. Salah beberapa dari mereka adalah
pengajar muda dari Indonesia Mengajar yang ditempatkan di beberapa pelosok
negeri. Ada juga yang sigap mengumpulkan buku untuk disumbangkan ke daerah
tertinggal untuk menunjang pendidikan di sana. Juga tentang masalah kemiskinan.
Ketika sebagian besar orang mencela kinerja pemerintah dalam mengurangi tingkat
kemiskinan, ada sebagian anak bangsa yang mengumpulkan zakat untuk kemudian
diberikan sebagai modal usaha bagi penduduk yang kurang mampu. Sungguh, empat
jempol pun belum cukup untuk menunjukkan betapa salutnya aku pada mereka.