Kamis, 31 Mei 2012

Indonesia Rasa Kacang!

Pernah mengalami mati lampu? Eh, ralat. Pernah mengalami listrik padam? Sering? Yang tinggal di luar Jawa mungkin agak akrab dengan mati lampu. Lalu bagaimana reaksi kita? Mungkin sebagian besar (termasuk aku) akan misuh-misuh, terutama ketika mati lampunya malam hari. Mungkin ada yang akan mengomel, “Kambing, nih, PLN. Gue lagi belajar malah mati lampu. Mana besok ujian pula. Semprul!” Atau mungkin ada yang mengomel, “Asem! Lagi seru-serunya nonton SFC lawan Persipura malah mati lampu!” Dan sebagian lain (yang sepertinya jumlahnya sedikit) memilih tidak banyak bicara dan langsung mencari lilin atau lampu minyak dan menyalakannya.

Mirip dengan reaksi masyarakat atas kondisi negara kita yang belum baik (sekali lagi ‘belum’, bukan ‘tidak’). Banyak – tapi bukan berarti kebanyakan – yang menanggapinya dengan misuh-misuh, menghujat (baik menghujat pemerintah maupun sesama warga negara), atau minimal mengeluh. Ini bisa dilihat dari komentar-komentar negatif di situs berita elektronik seperti detik.com. Contohnya untuk masalah pendidikan. Melihat minimnya tenaga pengajar di daerah pedalaman, mungkin banyak yang langsung menghujat pemerintah dan mengatakan pemerintah tidak becus mengatur negara. Berlawanan dengan sikap mereka yang banyak berkomentar dan mengeluh, ada beberapa anak bangsa yang justru sigap menyikapinya dengan tindakan langsung. Mereka langsung berusaha mengatasi masalah pendidikan dengan terjun ke pedalaman menjadi tenaga pengajar di sana. Salah beberapa dari mereka adalah pengajar muda dari Indonesia Mengajar yang ditempatkan di beberapa pelosok negeri. Ada juga yang sigap mengumpulkan buku untuk disumbangkan ke daerah tertinggal untuk menunjang pendidikan di sana. Juga tentang masalah kemiskinan. Ketika sebagian besar orang mencela kinerja pemerintah dalam mengurangi tingkat kemiskinan, ada sebagian anak bangsa yang mengumpulkan zakat untuk kemudian diberikan sebagai modal usaha bagi penduduk yang kurang mampu. Sungguh, empat jempol pun belum cukup untuk menunjukkan betapa salutnya aku pada mereka.

Senin, 28 Mei 2012

Misi Penyelamatan Dunia Kartun

Alert! Yang tidak suka anime mungkin akan “nggak nyambung” dengan cerita berikut.

Profesor Senbei

Arale

Kenapa wajahmu begitu besar
Banyak yang memanggilmu wajah besar
Bahkan di foto wajahmu tak terpotret semua karna wajahmu besar
Apapun usahamu... Wajah besar, wajah besar...
Walau keras upayamu... Wajah besar, wajah besar, wajah besaaar...
Tidaaaaak! [1]

“Hey, Arale!” teriak Profesor Senbei memanggil Arale, robot ciptaannya, yang sedang menyanyikan lagu kesukaannya – meskipun Profesor Senbei sangat membenci lagu itu karena lagu itu adalah ejekan untuknya. “Bantu aku mengerjakan mesin ini,” lanjut Profesor Senbei.
“Oyoyo???” seperti bisa Arale memasang wajah polos – mungkin lebih tepatnya agak bodoh.
“Memangnya Profesor mau buat mesin apa? Kok, mirip mesin cuci?” tanya Arale sambil mengambilkan obeng yang ditunjuk Profesor Senbei.

Sambil memasang baut di mesin ciptaannya Profesor Senbei menjelaskan pada Arale. “Dunia kartun sedang dalam bahaya. Marishito semakin berambisi menguasai dunia. Setelah dia gagal menguasai dunia dengan ciptaan pertamanya, Karamel Man yang malah jadi naksir kamu, dia menciptakan robot bernama Korean Man yang sedang berusaha mencaplok wilayah kekuasaan kita di otak manusia. Dia menyebarkan virus K-Pop dan K-Drama. Kalau hal ini dibiarkan, tidak lama lagi kita akan terhalang untuk masuk otak manusia, dan dunia kita cuma di dalam televisi.”

Beberapa jam kemudian, Profesor Senbei selesai mengerjakan mesin ciptaan barunya. Ternyata itu adalah sebuah mesin cuci, eh, mesin lintas dimensi. Mesin ini akan digunakan untuk melakukan perjalanan ke dimensi lain. Profesor Senbei berniat mengirim Arale ke beberapa dimensi untuk menjemput para superhero agar berjuang bersama melawan Korean Man. Iya, benar, Profesor Senbei terinspirasi oleh film The Avengers yang ditontonnya di memori otak manusia yang sempat dijelajahinya.

Jumat, 25 Mei 2012

Episode Cita-Cita

“Kamu nanti kuliah mau ngambil jurusan apa?” tanya sang kakak pada adiknya.
Setelah berpikir sejenak sang adik hanya menjawab, “Nggak tahu.”
“Memangnya cita-citamu apa?” tanya sang kakak lagi.
Lagi lagi sang adik hanya menjawab, “Nggak tahu.”
Sang kakak pun kesal hingga kemudian berkata, “Orang hidup, kok, nggak punya cita-cita.”
Datar, tanpa tekanan, tapi kata-kata itu sudah menggoreskan luka yang bekasnya takkan hilang seumur hidup.

Benar apa yang di-sirat-kan oleh kakaknya adalah hal yang benar bahwa orang hidup seharusnya punya cita-cita. Tapi, sayangnya dia tidak tahu apa cita-citanya. Yang dia tahu selama ini hanyalah sekolah, mendapat rangking bagus, serta lulus dengan nilai memuaskan. Setelah itu? Sama sekali tak pernah ia pikirkan masak-masak.

Dia teringat masa kecilnya. Ketika kebanyakan anak kecil di-kudang oleh orang tuanya agar menjadi dokter, ayahnya justru ‘mencekokinya’ dengan cita-cita menjadi mubalighoh. Ayahnya ingin agar dia belajar ilmu agama lalu menjadi seorang penceramah. Anak kecil tentu saja masih sekadar menjawab ‘iya’ atas ‘arahan’ orangtuanya. Dia pun menyimpan cita-cita mulia menjadi mubalighoh. Setelah beranjak remaja, dia pun melupakan kudang-an ayahnya agar dia menjadi mubalighoh. Saat kelas enam SD dia justru sempat berkeinginan menjadi pemain band yang ahli memainkan berbagai alat musik: piano, gitar, drum, biola, dan sekaligus menjadi vokalisnya. Tapi, lagi-lagi keinginan itu cuma numpang lewat di kepalanya. Hal tersebut juga didukung jiwa premannya yang jauh lebih dominan dibandingkan jiwa religiusnya. Sebentar kemudian, sudah hilang cita-cita itu. Saat lulus SD, kakak tertuanya masuk kuliah di Fakultas Pertanian. Jiwa labilnya membuat dia bercita-cita untuk kuliah di fakultas yang sama dengan kakaknya kelak. Dan lagi-lagi, cita-cita itu numpang lewat. Seperti angin yang dengan mudah berhembus datang dan pergi. Dia menjalani hidup tanpa tahu kelak ingin menjadi apa, ingin kuliah di mana, ingin kerja sebagai apa. Dia hanya tahu sekolah dan bermain.

Rabu, 23 Mei 2012

Setahun Lembaran Baru

23 Mei 2011 - 23 Mei 2012

Sudah setahun usia blog ini. Iya, tanggal 23 Mei 2011 adalah kali pertama aku kembali ke blogosphere. Blog berjudul Hari Baru, Lembaran Baru ini seperti sebuah harapan untuk memulai dari awal, menutup lembaran lama dan membuka lembaran baru. Menutup cerita sedih di blog lama dan memulai kembali cerita baru di blog baru. Dengan harapan, blog baruku ini akan penuh harapan, cerita lucu, menyenangkan, inspiratif, pokoknya jauh dari kata sedih. Sebagaimana yang kuceritakan di tulisan pertamaku.

Ibarat anak kecil, masih belajar berdiri, pelan-pelan berjalan, belum lancar bicara. Begitu pula blog ini. Tulisannya masih belum 'matang', masih kerap dipenuhi emosi, masih belum bisa memilih kata-kata yang tepat dan menarik. Masih belum bisa memberi hikmah bagi yang membaca blog ini. Tapi, anak umur setahun, kan, lagi lucu-lucunya. Jadi, blog ini juga lagi lucu-lucunya. Lucu, imut, ngegemesin, hehehe...

Di umur yang setahun ini, aku sudah 'menyampah' di blogosphere dan menyumbangkan sampah sebanyak 157 tulisan, yang sebagian besar isinya curhat, hehehe... Selain curhat, banyak tulisanku yang kuikutkan kontes atau giveaway. Sampai-sampai aku merasa seperti banci giveaway. Dan Alhamdulillah sudah beberapa kali menang meskipun lebih banyak kalahnya. Tapi... Kok, hadiah giveaway dari Mbak Titik dan dari Jay belum sampai, ya??? Banyak juga cerita dan foto-foto pamer sebagai dokumentasi kegiatan jalan-jalanku. Yang dipajang memang yang bagus-bagus. Mana mungkin aku memajang foto pantai atau sungai yang jelek di blog yang cantik ini? Di umur setahun ini juga follower blog ini sudah mencapai 73. Sungguh angka yang tidak terduga. Beberapa waktu lalu, ketika follower blog ini mencapai 50 orang sebenarnya aku ingin membuat posting-an FOLLOWER EMAS. Tapi, tidak jadi. Terus ditunda sampai follower semakin banyak. Saat ada posting-an yang komentarnya mencapai 50 pun aku ingin membuat posting-an KOMENTAR EMAS. Lagi-lagi tidak jadi.

Senin, 21 Mei 2012

Pantai Barat (Lagi)

Hari Rabu, 16 Mei 2012 lalu aku menghadiri acara resepsi pernikahan kawan kantor di Samadua, Aceh Selatan. Oooh, jadi kali ini posting tentang pernikahan? Bukaaan! Tentang upacara adat dalam pernikahan? Bukan jugaaa! Kali ini aku cuma mau pamer foto-foto gagal yang diambil dari atas sepeda motor. Wow, naik motor sambil memotret? Yah, bukan aku yang mengendarai, aku cuma MBONCENG!

Sebelum pamer, aku cerita dulu. Pagi itu aku dengan percaya diri memakai seragam kantor karena kata kawanku kami memang disuruh memakai seragam saja. Nah, berhubung seragamku itu tidak ada yang memakai celana panjang alias rok semua, aku pun memakai rok. Di kantor orang-orang langsung berkata lebih kurang begini, "Naik motor ke Samadua pake rok? Nggak capek?" Aku pun belum terlalu ngeh. Aku masih berpikiran bahwa Samadua itu dekat dengan Labuhan Haji, jadi jaraknya paling cuma 25 sampai 30 km dan medannya cukup 'damai'. Setelah dipikir-pikir (aku baru memikirkannya ketika sudah naik motor dengan membonceng gaya perempuan, tahu, kaaan?) aku baru sadar kalau Samadua itu dekat dengan Tapaktuan. Nah, kalau tidak salah jarak Tapaktuan-Blangpidie sendiri sekitar 90 km (kata kawanku, sih, jaraknya segitu). Jadi, jaraknya agak-agak mendekati itu, lah. Pastinya aku tidak tau, yang pasti jauh lebih dari perkiraan awal yaitu 25-30 km. Dan medannya? Uwow! Naik turun gunung, berkelok-kelok, pokoknya cocok bagi para rider yang menggemari trek menantang. Tapi, trek yang uwow ini cukup terobati dengan adanya pemandangan yang uwow juga. Selain beberapa kali melintasi gunung yang sejuk, kami juga melintasi pantai yang eksotis. Yeah, pantai barat Aceh ini memang seksi. Pokoknya Subhanalloh indahnya. Tidak percaya? Ini buktinya: 

Emily of New Moon

Novel karya Lucy Maud Montgomery ini menceritakan seorang gadis kecil bernama Emily Bird Starr. Emily ini adalah anak yang penuh imajinasi. Biarpun tinggal di rumah yang jauh-dari-mana-mana, dia tidak pernah merasa kesepian karena dia memiliki banyak teman. Mau tahu siapa teman-temannya? Mereka adalah Mike, Saucy Sal, Dewi Angin, Pohon Adam dan Hawa, Pinus Ayam Jago, nona-nona birch yang ramah, juga Sang Kilat. Semuanya itu nama manusia? Hohoho, tentu saja BUKAN! Mike dan Saucy Sal adalah kucing-kucingnya. Pohon Adam dan Hawa, nona-nona birch yang ramah, serta Pinus Ayam Jago adalah pohon-pohon di sekitar rumahnya. Lalu Dewi Angin dan Sang Kilat? Ya, angin dan kilat. Jadi, kawan-kawannya adalah hewan dan benda mati? Ya, begitulah. Oh, ya, ada satu lagi kawan Emily, yaitu Emily-kecil-di-dalam-cermin. Maksudnya bayangan Emily di dalam cermin? Iya, Emily berkawan dengan bayangan dirinya sendiri yang ia lihat di cermin dan sering berbincang-bincang dengan bayangannya itu. Ia juga sering menuliskan apa yang ia alami – atau yang ia imajinasikan – dalam buku hariannya lalu ia bacakan di depan ayahnya. Aneh, ya? Ketika pertama kali membaca cerita ini aku pun merasa aneh dan sedikit bosan. Namun, setelah membacanya untuk kedua kalinya, aku menganggap novel ini menarik. Jarang aku menemukan buku dengan tokoh penuh imajinasi seperti ini.

Jumat, 18 Mei 2012

Ketiban PR dari Narso

Well, aku kebagian Pe-eR dari Si Narso. Iya, Narso. Kenal? Itu, lho... Yang suka ngaku-ngaku bernama eksak. Tahu, kaaan??? Pertanyaannya, sih, biasa saja. Tidak terlalu sulit bagiku. Yah, di mana-mana memang tidak ada pertanyaan yang sulit. Yang sulit itu menjawabnya. Baiklah. Berhubung aku adalah orang yang baik, aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

1. ASL pliss...! (Age, Sex, Location) Gue 18, Male, Kendal! Elo?
Age = 17. Narso saja mengaku 18 tahun, boleh, dong, aku mengaku 17 tahun? Hehehe, aku jujur saja, lah. Umurku saat ini bilang dihitung dengan konsep BPS -- berdasarkan ulang tahun terakhir -- yaitu 25 tahun. Kalau menurut penanggalan Hijriyah, sih, sepertinya sudah 27 tahun. Sepertinyaaa... Aku juga tidak yakin.
Sex = Alhamdulillah aku dilahirkan sebagai perempuan yang manis, imut, lucu, ngegemesin!
Location = Sebenarnya jawaban tepatnya adalah ndhuwur bumi ngisor langit. Tapi, kalau yang ditanyakan itu tempat tinggal saat ini, aku sekarang berdomisili di Kecamatan Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh. Keterangan lengkap mengenai kabupaten ini bisa dilihat di Wikipedia.

2. Ibaratin hidup ini kayak sesuatu versi elo dan jelasin perumpamaannya! [misal, hidup tuh kaya roda muter karna...bla... Bla...bla...]

Walaaaah! Susah ini menjawabnya. Menurutku hidup bisa diumpamakan seperti banyak hal, dan banyak hal yang bisa diambil hikmahnya sebagai pedoman hidup. Hidup bisa diumpamakan perjalanan, bisa diumpamakan naik sepeda atau naik sepeda motor, bisa diumpamakan main game. Sebenarnya banyak hal yang bisa diulas untuk dijadikan perumpaan hidup. Just look around you, every pieces of the world will teach you about life!

3. Elo tau gak ±5000 kali jantung berdetak dalam sejam? Menurut angka itu, coba elo itung berapa kali jantung berdetak pas umur elo nginjek 60 tahun!
Aku nggak punya kalkulatoooooooor! Yah, maaf-maaf saja. Silakan hitung sendiri saja, hehehe...


Kamis, 17 Mei 2012

Menyontek?

Pernah menyontek? Dulu, sewaktu SD seingatku aku tidak pernah menyontek. Tapi, sejak kelas 2 SMP (kalau tidak salah) aku mulai menyontek. Waktu itu masih sebatas menyontek pada teman dan memberikan sontekan. Setelah naik kelas 3, teman-temanku semakin gencar menyontek dan aku sedikit terpengaruh. Mereka menyontek dari LKS pada saat ulangan Pelajaran Agama. Ulangan Agama, Sodara-sodara!!! Parahnya, LKS itu ditaruh di atas meja sewaktu ulangan dan guru kami tidak menegur. Entah guru kami itu tidak melihat atau memang sengaja ‘mengharapkan’ kesadaran kami. Aku melihat salah satu temanku yang terkenal alim pun menyontek. Dengan logika bodohku aku pun menyimpulkan “Ah, dia aja yang alim nyontek, berarti kalau aku nyontek nggak papa”. Sejak saat itu pun aku ikut-ikutan menyontek dari LKS ketika ulangan Agama. Tapi, saat EBTANAS aku memutuskan tidak menyontek. Alasannya? Aku lupa. Sepertinya aku ingin hasil EBTANAS itu murni hasil belajarku (padahal tidak murni hasil belajar juga karena sebagian besar dibantu do’a).

Setelah SMA aku pun (entah kenapa) bercerita pada kakakku bahwa aku memberi sontekan pada kawanku. Kata kakakku tidak boleh. Aku pun membela diri dengan mengatakan bahwa aku tidak menyontek melainkan cuma memberi contekan. Kakakku mengatakan bahwa kedua hal itu sama saja. Dan dia langsung mengeluarkan dalil yang kira-kira bunyinya begini, “Jangan tolong-menolong dalam hal keburukan.” Jleb! Jadi, dosa, ya? Sejak itu aku insyaf, tidak berani menyontek ketika ulangan atau ujian, entah menyontek dari kawan atau dari buku. Tapi tetap menyontek ketika mengerjakan PR atau tugas, hehehe... Dulu, guru Fisika-ku (nama dirahasiakan) memberi aturan bahwa kami boleh menyontek ketika mengerjakan tugas tapi tidak boleh menyontek ketika ulangan atau tes. Padahal cuma satu guru yang memberikan aturan tersebut, tapi aturan itu kuterapkan pada semua mata pelajaran. Hmm, salah tidak, yaaa??? Dulu menurutku boleh-boleh saja menyontek sewaktu mengerjakan PR, dengan catatan guru tersebut tidak memberikan larangan untuk menyontek. Mengerjakan PR adalah proses belajar. Dan kalau kita menyontek dengan cara yang benar, yaitu sambil mempelajari soal dan jawabannya, itu sama saja dengan belajar. Tapi, setelah kuliah, aku diajar oleh dosen yang tidak membedakan antara menyontek sewaktu mengerjakan tugas dan menyontek ketika ujian. Waktu itu dosenku menanyakan siapa di antara kami sekelas yang tidak pernah menyontek (ketika ujian, mengerjakan PR, atau apapun). Dan yang mengacungkan jari cuma satu orang. Dosenku ini pun kelihatan sangat kecewa. Lalu kami pun dinasihati tapi aku lupa apa nasihatnya. Sungguh terlalu! Hehehe... Maaf, Pak! Yang penting aku menangkap inti nasihatnya bahwa menyontek itu tidak baik.

Selasa, 15 Mei 2012

Better Never Than Late

Pernah datang terlambat ke sekolah? Jarang? Sering? Atau malah tidak pernah? Aku pernah terlambat beberapa kali. Kali pertama aku datang terlambat adalah saat SD kelas 6. Saat itu aku mengikuti upacara di tempat lain dan tidak izin dahulu pada guruku. Jadi, ketika datang ke sekolah aku dianggap terlambat.

Kali kedua aku terlambat ketika aku kelas 2 SMP. Saat itu aku sebenarnya sudah datang ke sekolah. Namun, karena buku Matematikaku ketinggalan, aku pun pulang ke rumah dulu. Untuk pulang ke rumah aku harus naik angkutan umum. Sampai di sekolah lagi sekitar pukul 7.10 WIB. Terlambat sepuluh menit. Hari itu pelajaran pertama Matematika. Kesepakatan kami dengan guru Matematika adalah murid yang datang terlambat akan dihukum berdiri di depan kelas sesuai lama terlambatnya. Karena aku terlambat sepuluh menit, aku pun harus berdiri di depan kelas selama sepuluh menit.

Kali ketiga, aku terlambat sewaktu kelas 1 SMA. Aku lupa kenapa terlambat. Yang jelas, hari itu aku tidak ikut upacara, tapi Alhamdulillah masih sempat ikut ulangan Matematika (kalau tidak salah).
Nah, kali keempat ini yang spektakuler. Waktu itu aku kelas 2 SMA. Aku terlambat mandi karena didahului entah siapa. Ujung-ujungnya aku yang bisanya pukul 6.15 sudah keluar rumah, saat itu masih belum beranjak juga. Sebenarnya terlambatnya cuma sebentar. Tapi, saat itu, terlambat lima menit saja sudah fatal: ketinggalan angkutan ‘khusus’. Aku pun menangis karena takut terlambat. Untungnya ibuku langsung tanggap ‘ngeneng-ngenengi’ dan menyuruhku segera berangkat. Hari itu aku dugaanku benar: ketinggalan angkutan langganan. Biasanya di terminal ada angkutan yang ‘dicarter’ anak-anak yang bersekolah di daerah Slerok, seperti SMA 1 Tegal, SMK, dan sebagainya. Angkutan ini tidak melewati jalur biasa melainkan langsung menuju daerah Slerok. Dan hari itu aku terlambat sedikit jadi terpaksa naik angkutan umum dengan rute biasa, lewat pasar. Nah, seperti biasa, kalau di pasar angkot akan ngetem menunggu ibu-ibu pulang. Hmm, makin terlambat, lah. Untungnya sampai sekolah tidak dihukum.

Yang kali kelima juga tidak kalah spektakuler. Waktu itu aku kuliah tingkat 4. Hari itu sebenarnya jadwal kuliahnya siang. Tapi, ternyata ada jam pengganti untuk mata kuliah Pemrograman Web. Biasanya ada pengumuman lewat jarkom SMS tapi kali itu tidak ada pemberitahuan. Sekretaris kelasku cuma mengumumkan secara lisan dan katanya menulis di papan tulis (tapi aku tidak ingat). Ketika temanku bertanya kenapa aku tidak masuk, aku pun langsung kaget. Memangnya ada kuliah? Dan parahnya, si teman ini bertanya setelah satu jam berlalu dari waktu kuliah dimulai. Itu artinya aku sudah terlambat satu jam. Perasaanku campur aduk waktu itu. Dan aku cuma bisa menangis sekencang-kencangnya. Masuk kuliah dan terlambat satu jam adalah hal yang sangat memalukan. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak kuliah. Bolos. Daripada terlambat, lebih baik tidak usah datang. Sesuai pepatah better never than late. Bukan better late then never, hahaha!

Jumat, 11 Mei 2012

Ubur-ubur dan Kuda Nil

“Eksaaaaak!!! Pinjem gitar, dong!” teriak Milla sambil menggedor-gedor pintu kamar Eksak.
Tanpa membuka pintu kamar, Eksak balas berteriak, “Ogah gue pinjemin gitar buat dedemit kaya elo!”
Brak! Milla langsung menendang pintu kamar Eksak. “Dasar! Kesemek medhit! Eh, enggak, ding! Elo bukan kesemek. Kalo kesemek, kan, putih, pake bedak. Nggak kaya elo, udah item, jelek, idup lagi!”

Jleb! Eksak tertegun. Ejekan Milla sangat menohok di ulu hatinya. Kenapa mesti mengungkit-ungkit masalah “hitam”??? Dia pun teringat pertanyaan yang kerap diajukan kawan-kawannya. “Serius kalian kembar? Dia putih gitu kaya Cina, elo item kaya tikus kecemplung got gitu. Mana mungkin kembar???” Kalau Milla sedang murka padanya, biasanya dia akan ‘pura-pura polos’ bertanya pada Mama, “Ma, dulu waktu kami bayi, ada pembangunan jalan aspal di komplek rumah nggak, sih?” Setelah Mama balik bertanya “Emangnya kenapa?”, dia akan mengeluarkan kartu AS-nya. “Yah, sapa tahu ada pembangunan jalan, trus pas Mama jalan-jalan gendong Eksak, nggak sengaja Eksak kecemplung ke drum aspal, makanya item,” katanya sambil melirik Eksak penuh kemenangan. Dan sayangnya, ejekan tersebut diperparah oleh jawaban Mamanya. “Eksak nggak item, kok. Cuman coklat pekat. Eh, ngomong-ngomong soal coklat, kayaknya, sih, Eksak coklat karena dulu Mama ngidam lapis legit. Kan, lapis legit itu warnanya kuning ama coklat, tuh! Kuningnya buat Milla, trus coklatnya buat Eksak!”

Kamis, 10 Mei 2012

Sekelumit Tentang Biomassa di Belanda


Lihat gambar di atas. Percaya dengan per-kotek-an (bukan perkataan) si ayam? Percaya saja, dia tidak bohong, sueeerr! Kotoran ayam memang dijadikan bahan baku pembangkit listrik di Belanda. Kotoran ini diolah menjadi biogas untuk kemudian dijadikan bahan baku pembangkit listrik. Pembangkit listrik tersebut sudah dioperasikan sejak 2008 dan menghasilkan listrik 270 juta kWh dalam setahun.

Cuma kotoran ayam? Tentu tidaaaak. Mereka juga mengolah sampah lainnya menjadi energi listrik, salah satunya sampah dari sayuran dan buah (VGF = vegetable, garden, and fruit). Bayangkan! Bayam, kangkung, tomat, dan sebangsanya bisa ‘menghasilkan’ listrik. Sama seperti kotoran ayam, VGF ini juga diolah menjadi biogas lalu diproses menjadi listrik. Satu ton VGF bisa menghasilkan 100 Nm3 biogas (metana) yang bisa memproduksi listrik 200 kWh.

Kreatif, ya! Langkah tersebut bisa diibaratkan sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Dengan dioperasikannya pembangkit listrik tersebut, Belanda dapat mengatasi  masalah kebutuhan terhadap energi alternatif sekaligus mengelola sampah organik dengan baik. Selain itu juga mengangkat martabat para ayam dari kasta penghasil limbah menjadi kasta penghasil bahan baku biomassa, hehehe...

Minggu, 06 Mei 2012

Tentang Fanatisme

Dalam beberapa berita yang berbau agama (kadang juga berita biasa yang anehnya dihubung-hubungkan dengan masalah agama) ada komentator yang berkomentar SARA. Terhadap komentator SARA tersebut biasanya ada komentator lain yang menanggapi dengan kalimat “Jangan fanatik. Jangan menganggap agama sendiri yang paling benar”. Aku sangat tidak setuju pada komentator SARA. Tapi, aku lebih tidak setuju pada kalimat yang melarang orang untuk menganggap agamanya sebagai yang paling benar. Kenapa? Karena hal itu sangat tidak logis. Bagaimana kita bisa memutuskan untuk menganut suatu agama sementara kita tidak menganggap ajaran agama kita sebagai yang paling benar? Lantas, apa alasan kita menganut ajaran tersebut? Suka-suka? Agama adalah PEDOMAN HIDUP. Bagaimana mungkin kita memilih suatu pedoman hidup sedangkan kita tidak yakin akan kebenarannya. Berlebihan bila kita melarang seseorang menganggap ajaran agamanya yang paling benar untuk alasan toleransi. Bagiku, toleransi cukup dengan ayat terakhir dari surat Al Kaafiruun “Untukmu agamamu, untukku agamaku”. Saling menghormati dan tidak saling mengganggu antarumat agama.

Jumat, 04 Mei 2012

Terjebak Tuntutan Orisinalitas

Beberapa hari ini aku rempong mencari bahan untuk membuat tulisan untuk diikutkan dalam Kompetiblog. Maklum saja. Sudah beberapa kali aku melewatkan event tersebut karena tidak ada ide. Jadi, kali ini aku begitu menggebu-gebu untuk berpartisipasi. Tema lomba kali ini adalah mengenai kreativitas orang Belanda. Satu hal yang terpikir olehku adalah kincir angin. Kenapa? Karena aku berpikir bahwa ide warga Belanda untuk mengeringkan tanah (yang posisinya di bawah permukaan laut) dengan menggunakan kincir angin adalah ide yang kreatif. Aku pun mulai googling untuk mengumpulkan informasi mengenai kincir angin untuk memperkuat tulisanku dan agar aku mempunyai referensi yang bisa dipercaya. Dan ternyata aku menemukan tulisan dengan ide yang mirip dengan ideku yaitu menilai kincir angin sebagai salah satu hasil kreativitas orang Belanda. Aku tidak mau dikira meniru ide orang lain. Patah hati. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak menulis mengenai kincir angin.

Aku pun mencari ide yang lain. Yang terpikir olehku saat itu adalah kreativitas orang Belanda dalam bidang teknologi informasi. Alasan pertama, aku mempunyai sedikit dasar pengetahuan mengenai bidang tersebut jadi tidak akan terlalu kesulitan membuat tulisan tersebut. Alasan kedua, sepertinya orang Belanda sudah sangat maju dalam bidang tersebut. Aku pun kembali googling. Aku menemukan beberapa nama tokoh Belanda dalam bidang teknologi informasi. Ada penemu bahasa pemrograman Phyton. Aku pun terinspirasi untuk mempersempit tulisanku jadi membahas mengenai para pencipta bahasa pemrograman dari Belanda saja. Dan ketika aku kembali googling, aku lagi-lagi menemukan tulisan yang idenya mirip denganku dan sepertinya juga diikutkan dalam lomba tersebut. Patah hati lagi.

Kamis, 03 Mei 2012

Mengenang Tiga Tahun Lalu

2 Mei 2009, malam
Aku benar-benar rempong membereskan barang-barang yang akan kubawa. Baju, sepatu murah baru yang dibeli di PGC, dan keperluan lainnya kutata dalam koper besar warna biru yang kubeli bersama Heni.

3 Mei 2009, pagi
Masih rempong. Dan ditambah galau. Kali pertama meninggalkan pulau Jawa, pergi jauh ke ujung Sumatera, kali pertama akan naik pesawat, semua campur aduk. Ditambah pikiran bahwa aku akan jarang pulang, paling banter setahun sekali. Padahal, selama ini aku biasa pulang sebulan sekali, paling lama tiga bulan aku tidak pulang ke rumah.

Barang-barang sudah dipak. Seperti lirik lagunya Shania Twain, “all my bags are packed, I’m ready to go”. Yeah, honestly I wasn’t ready to go. Tidak sempat sarapan. Atau mungkin lebih tepatnya, terlalu ‘stress’ untuk memikirkan sarapan. Akhirnya cuma minum susu kotak rasa stroberi (kalau tidak salah). Aku sudah memakai kostum kebanggaanku, jaket PKL. Jaket berwarna hijau lumut itu memang jaket kesayanganku. Bukan karena desainnya keren, melainkan karena sakunya banyak. Dua saku di bawah, satu di atas, dan satu lagi di bagian dalam. Jadi, aku tidak perlu bingung di mana harus menyimpan ponsel, dompetku, dan barang-barang lain yang kuperlukan.

Pakdhe-ku menelepon. Katanya sudah di depan gang masuk kosku. “Pakdhe udah di depan. Kamu keluar. Kaya raden aja mesti dipanggil,” begitu kira-kira ucapan Pakdhe-ku yang membuatku kapok ‘berurusan’ dengannya. Aku memang jarang bertemu dan ‘berurusan’ dengannya selama ini.

Ibu, Abah, dan adikku sudah ada dalam taksi. Barang-barangku pun segera dibawa turun. Pakdhe-ku pun segera membawa taksi meluncur menuju bandara. Waktu itu aku percaya saja pada teman-temanku bahwa aku harus check ini 2 jam sebelum terbang. Jadi, kami pergi sangat gasik (awal). Sampai di sana, baru aku yang datang. Aku pun menelepon kawan-kawanku yang lain. Ternyata sebagian besar masih dalam perjalanan.