Sabtu, 29 Juni 2013

Menjaring Angin (5)

I hate Monday. Kali ini aku benar-benar membenci hari Senin. Bukan. Bukannya aku benci bekerja. Aku benci hari Senin ini karena hari ini aku harus ke kantor dan harus bertemu Medusa. Hari ini aku kembali diperbantukan di Bagian Pengolahan Data.

Tak bisa kubayangkan bagaimana sikapnya nanti padaku. Sebelum peristiwa kemarin pun dia sudah bersikap judes padaku, apalagi setelah kemarin aku mengatakan tak mau dijodohkan dengannya? Bisa-bisa makin bengis sikapnya padaku.

Selain harus menghadapi Medusa, aku juga harus menghadapi Mama. Semalam Mama menanyakan bagaimana pertemuanku dengan Medusa, eh, Pawana. Mau tak mau aku menceritakan semua yang terjadi. Dan Mama? Seperti yang kuduga, mendadak galau. Mama khawatir Pawana dan Tante Kartika akan tersinggung dengan perkataanku. Dan satu yang tak terpikirkan olehku sebelumnya: hal ini bisa merusak persahabatan Mama dan Tante Kartika. Huh, rumitnyaaa!

Ah, sudahlah. Lebih baik aku segera bersiap berangkat ke kantor.

Jumat, 28 Juni 2013

Menjaring Angin (4)

Dua bulan lalu, ketika aku baru seminggu bekerja di kantorku, aku bertemu dengannya untuk pertama kali. Sebenarnya aku bertugas di Bagian Analisis tapi karena pekerjaan di Bagian Pengolahan Data sedang membanjir lantaran ada proyek besar, aku pun diperbantukan di sana. Aku menjadi salah satu entrior. Karena masih belum perpengalaman dalam hal entry data, aku pun sering bertanya pada supervisor.

“Mbak, ini kenapa, ya? Kok, ada pesan error begini?”

“Itu artinya penjumlahannya salah. Nilai isian kolom lima ditambah kolom enam harusnya sama dengan nilai isian kolom tujuh,” jelasnya.

“Mbak, ini kenapa lagi?”

“Kamu ngapain ngisi itu? Kalau pertanyaan nomor lima isinya kode dua, pertanyaan enam dan tujuh kosongin aja,” katanya sembari menghapus isianku yang dimaksud.

“Mbak, ini, kok, ada tulisan network error?”

Si Mbak Supervisor pun segera mengecek kotak kecil yang ada di sampingku.

“Itu kabelnya kendur, nggak pas nyolok di switch-nya,” jawabnya sambil membenarkan posisi kabel abu-abu ke lubang di kotak kecil di sampingku. Jadi, kotak itu namanya switch.

“Makanya, kamu duduknya jangan lasak!” katanya. Sekilas aku melihat matanya. Tatapannya terkesan mengintimidasi, meskipun aku tidak merasa terintimidasi.

Menjaring Angin (3)

Pawana sudah tiba restoran ayam goreng franchise sepuluh menit lebih awal dari waktu yang ditentukan. Biarpun kesal karena orang-yang-entah-siapa-namanya mengubah tempat bertemu yang tadinya dekat kantornya menjadi sedikit jauh, dia tetap berusaha untuk tidak mangkir. Dia teringat semua ancaman Ibu. Lagipula perpindahan lokasi itu menguntungkan Pawana karena tempatnya di samping toko buku. Jadi, sebelum ke restoran, Pawana mampir dulu ke toko  buku untuk mengkhilafkan diri memborong buku-buku secara impulsif. Hasilnya? Kantung plastik besar berisi buku-buku yang jika ditotal harganya cukup untuk membeli harddisk eksternal 320 GB – yang sebenarnya lebih dia butuhkan saat ini.

Pawana melihat screen saver jam digital di smartphone-nya. Pukul 10.45. Sudah lewat lima belas menit dari waktu yang ditentukan. Bosan. Pawana meraih smartphone-nya dan menyalakan aplikasi chat dan mulai mengganggu Sasi dan Matari dengan stiker-stiker aneh. Begitulah. Kalau Pawana sudah bosan, yang jadi korban adalah Sasi dan Matari. Sembari chatting mengganggu dua kawannya, Pawana memesan ayam goreng dan french fries. Tapi, kali ini Pawana tak bisa menghabiskannya dalam waktu lima menit. Butuh waktu lama menghabiskan makanan yang tidak terlalu disukainya itu. Ia pun teringat kata-kata Ibunya ketika dia protes karena tempat pertemuannya di restoran ayam goreng. “Bagus kalau ketemuannya di situ. Kamu, kan, nggak doyan ayam goreng begituan. Jadi nanti nggak kelihatan nggragas,” kata Ibu. Pawana pun susah payah membayangkan bahwa di hadapannya bukan ayam goreng tepung melainkan ayam penyet kesukaannya.

Sudah pukul 10.55 dan orang-yang-entah-siapa-namanya masih belum terlihat batang hidungnya.

Menjaring Angin (2)

“Pukat, kamu sudah punya pekerjaan tetap, gaji lumayan, udah waktunya nikah,” kata Mama pada Pukat, putra bungsunya yang sedang asyik dengan smartphone-nya.

“Ma, umur Pukat baru dua tiga. Nanti aja nikahnya kalau udah dua lima,” jawab Pukat.

“Mama udah tua, Pukat. Kelamaan kalau mesti nunggu dua tahun lagi. Kalau tahun depan Mama mati gimana?”

“Tuh, kan. Mama bawa-bawa mati mulu. Ya, Mama jaga kesehatan lah, biar bisa lihat Pukat nikah dua tahun lagi,” kata Pukat mulai merajuk. Biasanya jurus ini ampuh untuk membuat Mama berhenti mendesak Pukat untuk menikah. Sayangnya, kali ini tidak.

“Mama nggak tenang kalau kamu belum nikah. Apalagi kamu tinggal jauh di Jakarta. Kalau kamu punya istri, kan, kamu nggak sendirian lagi di sana. Mama bisa tenang,” kata Mama membujuk. Melihat Pukat hanya terdiam, Mama pun melanjutkan bujukannya.

“Mau nggak Mama kenalin sama anak teman Mama? Anaknya baik, pintar, dari keluarga baik-baik, dia kerja di Jakarta juga, lho!”

Kamis, 27 Juni 2013

Menjaring Angin (1)

“Nana!” teriak Matari. Napasnya terengah, tampaknya dia baru saja berlari demi segera sampai di ruangan kerja Pawana. Pawana yang dipanggil pun menoleh.

“Tari, di mana-mana kalau masuk ruangan orang lain itu ketuk pintu atau salam. Ini malah teriak nggak jelas!” sembur Pawana. Sasi yang sedang duduk di samping Pawana hanya tersenyum. Maklum dengan kelebihan kedua kawannya itu, yang satu kelebihan energi dan semangat, yang satu lagi kelebihan emosi.

Matari menyodorkan kartu undangan berwarna merah hati pada Pawana lalu segera duduk di kursi di depan meja kerja kawan akrabnya itu.

“Minggu depan Lia nikah, Na,” kata Matari yang hanya ditanggapi Pawana dengan “oh” panjang.

“Alhamdulillah kalau gitu. Akhirnya Lia ketemu jodohnya juga,” sahut Sasi sambil membaca undangan yang tadi dibawa Matari.

“Kok, kalian santai gitu? Kalian nggak sadar? Kalau Lia nikah, berarti di antara SEMUA teman kuliah seangkatan, tinggal kita bertiga yang belum nikah!” Matari berapi-api berusaha menyadarkan kedua kawannya akan kenyataan pahit yang akan mereka hadapi.

So what?” tanya Pawana sambil tetap berkutat dengan laptopnya. Dia tetap acuh tak acuh sedangkan Sasi sudah mulai terpengaruh kalimat-kalimat Matari nan dramatis bin lebay.
“Kamu nggak iri sama teman-teman kita yang udah nikah? Kamu nggak pengen nikah, Na?” tanya Sasi.

“Kenapa aku mesti nikah? Give me a reason!

Jumat, 07 Juni 2013

Sibuk?

Sibuk! Itu kata yang agaknya mewakili keadaanku sebulan terakhir dan sepertinya akan tetap seperti itu hingga dua bulan ke depan. Mulai dari meng-entry laporan ST2013-P yang tidak bisa masuk ke server, memeriksa hasil editing coding dokumen ST2013-L, mengawasi petugas editing coding, menyiapkan dokumen yang akan dikirim, meng-entry dokumen ST2013-P, hingga beberapa pekerjaan yang kelihatannya sepele tapi lumayan membuat senewen juga. Lelah juga, sih. Tepatnya bukan lelah secara fisik tapi lelah secara mental. Kadang juga sampai bingung mana yang mau dikerjakan terlebih dahulu. Stress, bok! Untungnya aku tidak terlalu rajin sampai membawa pulang pekerjaan. Bisa-bisa makin senewen kalau aku membawa pekerjaan ke rumah, hehehe.

Tapi, jadi teringat nasihat orang-orang bijak, katanya tidak baik bila terlalu banyak mengeluh. Jadi, biarpun lelah, tetap tak boleh mengeluh, kan? Dan seperti kata seorang teman, beruntunglah orang yang sibuk bekerja karena di luar sana masih banyak orang yang tidak punya pekerjaan dan pusing mencari pekerjaan. Lihatlah para tukang becak yang lelah mengayuh becaknya berkilo-kilo, para penjual yang mesti mendorong gerobaknya berkilo-kilo, atau pedagang asongan yang mesti menjajakan dagangannya naik turun KRL, atau petani yang mesti berpanas-panasan mencangkul di sawah. Aku tidak selelah mereka, atau kalau rasa lelah itu tidak bisa dibandingkan, aku harus memahami bahwa bukan aku yang paling lelah dan bukan aku sendirian yang merasa lelah. Orang lain juga lelah dalam bekerja. Jadi, aku tak boleh mengeluh.

Senin, 03 Juni 2013

Masihkah Merasa Pekerjaanmu yang Terberat?

Sudah kesekian kalinya orang-orang itu mengeluhkan pekerjaan mereka. Memang, pekerjaan mereka -- yang sebagian besar di lapangan -- datang bertubi-tubi, nyaris tanpa jeda. Aku pun berusaha memahami ketika mereka mengeluh. Aku tahu betapa lelahnya mereka. Aku menahan diri untuk tidak berkata, "Kalian, kan, memang dibayar untuk mengerjakan itu semua." Namun, ketika mereka berkata (lagi) bahwa kami yang bertugas di kantor -- bukan di lapangan -- pasti akan mengeluh dan menangis bila mengerjakan pekerjaan mereka, aku merasa sedikit terganggu. Aku pun teringat perkataan seseorang yang mengatakan bahwa aku selama ini duduk-duduk saja. Rasanya... Rasanya... Rasanya... Ah, tak terlukiskan dengan kata-kata.

Kalau dibilang pekerjaanku cuma duduk-duduk saja, ya, memang tugasku sebagian besar kukerjakan tanpa perlu ke lapangan. Sebagian besar tugasku adalah meng-entry hasil pencacahan lapangan. Jadi, aku di kantor saja, tanpa berpanas-panasan seperti mereka. Lalu, apa berarti pekerjaanku tidak berat? Apa berarti pekerjaanku tidak sesulit pekerjaan mereka? Sungguh tidak mungkin membandingkan kesulitan pekerjaanku dengan pekerjaan mereka, seperti membandingkan apel dengan jambu, mana bisa?