Aku mengirim anakku ke India karena.. aku tidak pernah mengenyam
pendidikan. Dan susah untuk menjalani kehidupan normal tanpa bisa membaca dan
menulis. Semua orang punya masalah. Sebagai perempuan yang hidup sederhana, aku
juga tidak punya uang untuk menyekolahkan anakku. Itulah alasanku mengapa aku
mengirim jauh buah hatiku. Setelah ia pergi jauh, yang bisa aku lakukan
hanyalah melihat fotonya dan menangis.
--Seorang ibu dari Tibet
![]() |
Gambar pinjam di sini |
Pema Kecil, gadis kecil berumur tujuh
tahun dari Provinsi Kham. Pema Kecil sering dipukuli oleh ayahnya yang pemabuk.
Hingga suatu hari Pema Kecil tanpa sengaja menumpahkan teh ke tubuh ayahnya. Ayahnya
marah lalu menganiaya Pema Kecil secara membabi buta. Kaki kirinya patah.
Ibunya membawanya ke amchi (semacam tabib/dokter). Setelah amchi mengobati kaki
Pema Kecil, sang ibu menanyakan kemungkinan kesembuhan kaki putrinya dan
kemungkinan bila putrinya menempuh perjalanan jauh. Saat itulah amchi menyadari
bahwa ibu Pema Kecil sudah berencana mengirim putrinya ke Dharamsala. Sayangnya
ibu Pema Kecil tidak sanggup membayar pemandu. Amchi kemudian memberitahukan
bahwa cucunya juga akan dikirim ke Dharamsala. Dia menyarankan agar Pema Kecil
pergi bersama Dhondup, cucunya, dan Nima, pemandunya.
Tamding, anak laki-laki berumur sepuluh
tahun dari Provinsi Amdo. Dia adalah anak ketiga. Di Tibet, tiap keluarga hanya
boleh memiliki dua orang anak. Bila satu keluarga memiliki anak lebih dari dua,
mereka harus membayar pajak yang tinggi. “Karena anak ketiga” Amala harus
mengenakan Chuba tipis yang sama itu bertahun-tahun lamanya. “Karena anak yang
ketiga” ada kerutan kekhawatiran yang mendalam di antara kedua alis Paala. “Karena
anak yang ketiga” mereka tidak mampu membeli obat-obatan untuk Kakek. “Karena
anak yang ketiga” anak pertama dan anak kedua tidak bisa makan kenyang. Tidak
ada yang mengatakan semua itu, tapi Tamding yang memikirkan dan merasakannya. Hingga
ketika ayahnya menjual domba-domba miliknya, Tamding tahu bahwa salah satu dari
ia dan kedua saudaranya akan dikirim ke Dharamsala. Ia pun menemui ayahnya dan
berkata, “Kirim aku pergi, Paala.”
Chime dan Dolker
adalah dua anak perempuan kakak beradik. Ayah mereka seorang penjudi sehingga
ibu merekalah yang harus bekerja keras memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dhondup adalah cucu amchi yang menolong Pema Kecil.
Ayahnya – yang juga seorang amchi – mengirim dia ke Dharamsala agar bisa
melanjutkan sekolahnya. Ia ditemani Dhamchoe, abang angkatnya.
Dimulailah perjalanan mereka. Pema Kecil, ibunya, Dhondup, dan
Dhamchoe menumpang truk. Di Gyantse rombongan mereka bertambah dengan
kedatangan Chime, Dolker, dan ibu mereka. Dan ketika mereka tiba di sebuah
kuil, mereka yang hendak ke Dharamsala turun dari truk untuk melanjutkan
perjalanan sedang para orang tua yang mengantar kembali naik truk. Di sinilah
para ibu harus menahan perasaan melepaskan anak-anak mereka yang akan menempuh
perjalanan jauh.
Sementara itu, Tamding diantar ayahnya ke seorang pemandu. Dia satu
kelompok dengan Suja, mantan Wujing (polisi) yang berhenti dari pekerjaannya
karena tidak tahan melihat seorang biksu disiksa sewaktu diinterogasi. Sayangnya,
di tengah perjalanan ada razia oleh para petugas patroli China. Mereka pun
tercerai berai. Suja kemudian bertemu dengan Nima yang mengajaknya ikut dengan
rombongannya. Suja juga bertemu dengan Lobsang, seorang biksu muda yang ‘menyeberang’
ke Dharamsala karena tidak tahan terus-menerus diberikan ‘tes’ oleh polisi
China.
Perjalanan penuh rintangan pun dimulai. Melintasi pegunungan bersalju
bukanlah hal mudah. Apalagi bersama anak-anak. Ada kalanya anak-anak terlalu
lelah hingga berjalan sambil tidur padahal mereka sedang melintasi jalanan
sempit, di satu sisi mereka ada tebing dan di sisi lainnya ada jurang. Lengah
sedikit saja, mereka bisa berakhir sebagai kepingan di dasar jurang. Bisakah
mereka semua bisa menghadapi semua rintangan dan sampai dengan selamat di Dharamsala?
Itu adalah sebagian kisah dalam buku Escape Over The Himalayas yang
ditulis oleh Maria Blumencron. Jujur saja, membuat review buku setebal 322 halaman ini sangat sulit. Menurutku semua
bagian buku terbitan Imania ini penting, jadi tidak tahu bagaimana meringkasnya.
Tapi, aku tetap ngotot menuliskannya karena menurutku buku ini bagus. Kisah
nyata yang disampaikan begitu menyentuh. Tak terbayangkan bagaimana perasaan
para anak yang harus berpisah dengan orang tuanya di mana kemungkinan untuk
bertemu kembali sangat kecil. Juga perasaan mereka yang setelah tiba di
Dharamsala perlahan mulai lupa paras orang tua mereka. Tak terbayangkan juga
bagaimana perasaan para ibu yang harus melepas anaknya untuk menempuh
perjalanan jauh dan berbahaya ditambah kecilnya kemungkinan anak mereka akan
kembali. Benar-benar membuat galau. Dan kegalauan itu bertambah ketika membaca
lagu anak-anak Tibet berikut:
...
Tapi rambut ibuku
Perlahan memutih,
Dan tiap hari, yang memisahkan
kami,
Muncul kerut di wajahnya.
Aku ingin membuat ibu muda
kembali,
Tapi tidak bisa.
Aku cuma bisa mencium fotonya
sambil menangis,
Untuk menyatakan betapa aku
menyayangi ibu.
Kayaknya mengharukan banget mbak :(
BalasHapusPengen euyyy ke Tibet...
Bukan cuma mengharukan tapi juga menggalaukan :p
Hapusada nggak buku gratisannya?
BalasHapushue nggak bisa di tarik2 skrolnya
kalo nyari gratisan ada tuh di perpus. gratis minjem :p
Hapusaha keren nih, must read di 2013
BalasHapushu'um, recommended nih
Hapusjadi menghayal ke himalaya nih :)
BalasHapusjauh amat mengkhayalnyaaaaa :p
Hapussayang mereka ga kenal facebook, biar ga lupa wajah ibu/anak-nya ;D
BalasHapusBoro-boro Facebook. Hape juga belum tentu punya...
Hapusini baru kisah. saya Insya Allah targetin beli bukunya. makasih udah bikin reviewnya. pasti capek nyimpulin dari buku tebel gini, hehe..
BalasHapusnggak tebel2 amat kok bukunya :)
Hapuskebingungan yg sama saya alami adalah, bingung mengambil point-point of view ketika mau menulisakan review sebuah buku/novel. BErasa semua bagiannya penting.
BalasHapus#322 pages itu gak tebal ya? Kalau saya [sekarang] mbaca setebal itu dalam seminggu belum tentu kelar lho? *parah pollll*
Hihihi, ada yang senasib rupanya :D
Hapus322 halaman mah dikiiiit. Kalo 322 lembar (alias 644 halaman) itu baru tebal.. Lagian kalo buku cerita mah cepet kelarnya. Kalo diktat kuliah, itu baru lama tamatnya. Setahun bisa tamat aja udah bagus :D
terimakasih treviuwnya.. meskipun sudah ada bocoran mereka bakal nyampe di Dharamsala (keceplosan tuh di Paragraf terakhir) tapi tetep pengen beli buku-nya. oh ya, salam kenal. saya newbie di dunia blog.. :)
BalasHapus:)
Hapus