Alert! Ini tulisan bernada curhat securhat-curhatnya. Kalau tidak suka baca curhatan, silakan baca tulisan lainnya saja.
Kata orang masa SMA adalah masa yang paling indah. Bertolak belakang dengan yang kurasakan. Masa SMA itu bisa dibilang masa ‘kegelapan’ bagiku. Di sekolah, aku jadi anak yang tidak populer, tidak punya banyak teman, hampir selalu jadi pilihan terakhir untuk dijadikan partner sekelompok bila ada tugas kelompok, pokoknya tidak enak. Yah, biarpun begitu, masih ada beberapa teman yang akrab denganku.
Selain tidak punya banyak teman, aku
punya ‘masalah’ di rumah. Sebuah masalah besar yang berlarut-larut kira-kira
sejak kelas satu sampai kelas tiga SMA. Waktu itu aku berumur sekitar 16 atau
17 tahun. Aku membentak adikku. Cuma karena bentakan satu SUKU KATA saja adikku
langsung menangis. Alhasil, aku dimarahi Abah (ayahku). Sebal rasanya. Sebal
karena adikku yang ‘segitu cengengnya’ yang membuatku dimarahi Abah. Sebal pada
Abah yang ‘lebay’ dalam memarahiku. Kalau aku yang salah, langsung dimarahi.
Kalau adik yang salah, tidak dimarahi. Dulu, aku bukan orang yang suka
‘membantah’, jadi waktu itu aku akan diam saja, tapi tetap memendam rasa sebal
dan sekaligus sedih. Tapi, dalam diamku itu aku melakukan mogok makan (tapi
tidak sampai mogok minum). Sampai beberapa hari. Sebenarnya, rasa sebalku saat
itu merupakan akumulasi dari rasa sebal yang kurasakan selama beberapa tahun
terakhir, dengan berbagai sebab. Dan kejadian ‘dimarahi karena hal sepele’ itu
membuat semua rasa sebalku meledak, berubah jadi marah. Melihat aku mogok makan
Abahku pun makin marah, lebih tepatnya murka, sampai terjadi dan terucap
sesuatu – yang tidak perlu diceritakan di sini.
Jujur, waktu itu Abah benar-benar
menyebalkan. Rasanya semua kasih sayang yang ditunjukkan padaku sejak aku kecil
sudah hilang tak berbekas dalam ingatanku. Yang kuingat cuma sikap Abah yang
menyebalkan. Seperti pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelanga”. Ditambah
lagi sikap Ibu yang ikut-ikutan menyebalkan. Aku merasa benar-benar tidak disayang. Aku sampai berpikir, “Aku ini anak
kandung mereka bukan, sih?” Dan karena terpengaruh oleh drama Endless Love, aku
pun berharap bahwa sebenarnya aku anak keluarga lain yang tertukar sejak kecil,
seperti Eun So dan Sin Ae. Kalau sekarang mungkin seperti sinetron Putri Yang
Ditukar, hehehe... (eh, sudah tamat belum, sih, sinetronnya?) Tapi, sayangnya,
sampai saat ini tidak ada satu pun keluarga yang datang dan berkata,
“Sebenarnya Millati itu anak kami. Dia tertukar sewaktu di rumah sakit.” Aku
pun sempat berharap mendapat beasiswa ke Jepang, lalu menetap di sana dan tidak
pulang-pulang lagi ke Indonesia (umm, mungkin ini awal mulanya kau terobsesi
pergi ke Jepang). Sayangnya, semua itu tidak terwujud. Aku harus bertahan di
rumah, bersama Abah yang menyebalkan dan Ibu yang agak menyebalkan (beda
kadarnya).
Rasa sebal itu pun hilang seketika
sewaktu Abah mengambil pengumuman kelulusanku. Matanya terlihat berkaca-kaca,
mungkin bangga dengan prestasi anaknya – yang sering dimarahi itu. Entah
kenapa, rasanya terharu melihat mata Abah yang berkaca-kaca itu. Setelah itu,
aku tidak lagi benci pada Abah. Lagi-lagi, aku tidak tahu kenapa.
Seiring berjalannya waktu, frekuensi aku
merasa sebal pada Abah dan Ibu berkurang. Kenapa bisa begitu? Besar kemungkinan
penyebabnya adalah umur. Meskipun banyak yang mengatakan umur tidak
mempengaruhi kedewasaan seseorang (secara psikologis), bagiku umur tetap punya
andil dalam membentuk kedewasaan tersebut. Setelah dewasa (secara umur), aku
mulai bisa memahami ‘maksud’ dari kata-kata orang tuaku, entah yang berupa
nasihat, larangan, dan sebagainya. Orang tuaku pun seiring berjalannya waktu
mulai memahami sifatku, jadi mereka (terutama Ibu) mulai bisa memilih kalimat
yang tepat untuk menyampaikan maksud mereka padaku. Mereka juga mulai memahami
‘maksud’ perkataanku dengan baik. Sepertinya dengan usia yang beranjak dewasa
(nyaris tua), ‘frekuensi’ pikiranku sudah mulai sama dengan orang tuaku, jadi
lebih nyambung. Jauh berbeda dengan
situasi ketika aku masih SMA – yang berarti aku masih remaja labil yang
meledak-ledak. Dulu, ketika orang tuaku menasihatiku dan menegurku, aku
menganggap itu memarahiku. Dan ketika aku menjawab, orang tuaku menganggap aku
membantah dan tidak patuh. Sama-sama salah memahami maksud pihak lain. Dan
ketika sudah saling memahami, rasa sebal pun bisa diminimalisasi karena
masing-masing pihak bisa berusaha mencegah pihak lain marah. Yah, meskipun
kadang tetap saja ada salah paham, tapi frekuensinya tidak sesering dulu.
Kalau diingat-ingat, rasanya menyedihkan.
Aku sampai membenci orang tuaku sendiri. Padahal, tidak terhitung curahan kasih sayang yang mereka berikan sejak aku kecil (atau mungkin bahkan sejak aku masih dalam kandungan). Tapi, semua 'tertutup' oleh sikap mereka yang seakan-akan tidak menyayangiku. Tapi, kalau dipikir lagi, ada hikmahnya juga. Kalau tidak ada peristiwa seperti
itu, mungkin aku tidak akan bisa seterus terang seperti sekarang ini. Berhubung
masalah yang kerap timbul karena aku diam dan memendam kemarahan, sekarang aku
lebih suka berterus terang (terutama pada ibuku), misalnya, “aku tidak suka
seperti itu” atau “aku tidak suka diperlakukan begitu”. Kalaupun aku merasa
tidak sreg dengan sikap Abah, aku akan menyampaikan pada Ibu dan biasanya Ibu
yang melapor ke Abah. Dengan adanya konflik itu, aku jadi belajar untuk ‘bicara’.
Aku jadi tahu bahwa “diam tidak selamanya emas”. Ada kalanya kita harus bicara
sebelum masalah menjadi makin keruh. Dan dengan konflik itu pun aku setidaknya
punya gambaran bagaimana kelak aku harus menghadapi anakku kalau aku punya anak
ngambekan (seperti diriku, hahaha!). Semoga kelak, bila aku jadi orang tua, aku
tidak akan jadi seperti yang dikatakan Dumbledore bahwa “kadang orang tua lupa
bagaimana rasanya jadi anak muda”. Semoga kelak aku masih tahu rasanya jadi
anak muda, rasanya jadi remaja labil, jadi aku bisa memahami perasaan anakku
dan menyikapinya dengan tepat. Dan tentunya kejadian itu membuatku bertekad bahwa kelak aku harus membuat anakku merasa dicintai, jangan sampai dia merasa dibenci oleh orang tuanya sendiri. Huft, menikah saja belum, sudah memikirkan tentang anak. Hadeuh!
wah tulisan yang luar biasa... anak anak akan mengerti semua yang dikatakan orang tuanya ketika sudah dewasa nanti.... tapi sebagai orang tua harus bisa menjelaskan sebisanya agar anak mengerti semuda mungkin. sehingga tidak sampai sesat karena perasaan yang salah..
BalasHapusjangan sampai niat baik disalah artikan... good curhat...
yup, sebisa mungkin agar anak memahami maksud baik orang tua sejak kecil. jangan sampai salah paham berlarut-larut.
Hapus^^
BalasHapuskalau aku jadi si abah,aku akan bilang cup cup sini aku kasih permen @@ ke adik pean. tapi tetep menasihati si kakak.
iya bener juga, kadang tega banget sampe kelupaan kali y masa mudanya, aku pernah diiket terbalik mau diceburin sumur karena suka goda adik sampe nangis, haha...
Kejadian mau diceburin ke sumur itu mirip banget sama cerita sodaraku waktu kecil. Kok ya tega.. Biarpun ga beneran diceburin, dampak negatif psikologisnya menurutku fatal -___-
HapusSama anak2 memang harus hati2 dalam berucap dan bersikap ya. Soalnya daya rekam mereka juga daya tiru mereka lebih tinggi.
BalasHapusPostingan yg sangat bermanfaat bagi pembaca. ai laik it... :) Salam
Betul. Sangat membekas dalam pikiran mereka, bisa terbawa sampai dewasa.
Hapussetuju dengan salah satu kalimat diatas bahwa frekuensi orang tua dan anak muda itu berbeda. Dan ketika sudah dewasa jadi lebih nyambung. Jadi ingat dulu saya waktu smu juga pernah ngambek kepada orang tua karena tidak dibelikan sepeda motor. Kalau sekarang saya ingat-ingat, ah lucu banget sikapku saat itu. yah begitulah darah muda.
BalasHapusWah, saya mah nggak berani ngambek minta dibelikan motor. Bapak saya aja nggak punya duit buat beli motor kok.
HapusAlhamdulillah semua gelombang masa remaja sdh berakhir ya Mbak :)
BalasHapusIya, Alhamdulillah :)
HapusWadah...ngambeknya make mogok makan. Kuat sampai berapa hari?
BalasHapusKalo ane marah justru makananan yang ada di meja makan ane embat semua,terus yang lain gak kebagian tu,mereka ikutan marah,jadinya ibu ane ndak masak lagi. Terus kita kelaparan...dan terpaksa mogok makan sekeluarga karena ulahku. Tapi tulisan tadi diatas mengingatkan ane pada beberapa nasihat yang cara penyampaian (menurutku waktu itu) salah. Sekarang baru tau,setelah mengalaminya sendiri. :D
Dulu saya nggak kepikiran buat ngabisin makanan. Padahal, itu lebih baik daripada mogok makan dan kelaparan :D
HapusAmat Jujur Millati ...
BalasHapusPengalaman yang mirip dengan pengalamanku kecuali yang ttg akhirnya bisa nyambung :|
Emangnya Kak Niar nggak nyambung sampe sekarang?
Hapuskadang org tua blm tentu juga lupa bagaimana rasanya jd anak muda. Tp kadang mereka bingung gimana caranya jd org tua.. Yah yg namanya jd org tua kan gak ada sklhnya jd harus belajar terus seumur hidup :)
BalasHapusBisa jadi juga begitu. Bingung harus bagaimana menghadapi anak dalam kondisi 'tertentu'.
HapusWah ada pelajaran yang sangat berharga dari tulisan ini. Saya jadi ingat film I Not Stupid 2. Orangtua pasti menyayangi anaknya meski dengan cara yang berbeda ...
BalasHapusMakasih, sudah dicatat. Selamat menunggu pengumumannya :)
Dimenangin, yaaaaa :p
HapusMales, ah, pasang award-nya. Wong saya nggak menang og *mutung*
BalasHapus