Kamis, 06 September 2012

Berharap Jadi Putri Yang Ditukar

Alert! Ini tulisan bernada curhat securhat-curhatnya. Kalau tidak suka baca curhatan, silakan baca tulisan lainnya saja.

Kata orang masa SMA adalah masa yang paling indah. Bertolak belakang dengan yang kurasakan. Masa SMA itu bisa dibilang masa ‘kegelapan’ bagiku. Di sekolah, aku jadi anak yang tidak populer, tidak punya banyak teman, hampir selalu jadi pilihan terakhir untuk dijadikan partner sekelompok bila ada tugas kelompok, pokoknya tidak enak. Yah, biarpun begitu, masih ada beberapa teman yang akrab denganku.

Selain tidak punya banyak teman, aku punya ‘masalah’ di rumah. Sebuah masalah besar yang berlarut-larut kira-kira sejak kelas satu sampai kelas tiga SMA. Waktu itu aku berumur sekitar 16 atau 17 tahun. Aku membentak adikku. Cuma karena bentakan satu SUKU KATA saja adikku langsung menangis. Alhasil, aku dimarahi Abah (ayahku). Sebal rasanya. Sebal karena adikku yang ‘segitu cengengnya’ yang membuatku dimarahi Abah. Sebal pada Abah yang ‘lebay’ dalam memarahiku. Kalau aku yang salah, langsung dimarahi. Kalau adik yang salah, tidak dimarahi. Dulu, aku bukan orang yang suka ‘membantah’, jadi waktu itu aku akan diam saja, tapi tetap memendam rasa sebal dan sekaligus sedih. Tapi, dalam diamku itu aku melakukan mogok makan (tapi tidak sampai mogok minum). Sampai beberapa hari. Sebenarnya, rasa sebalku saat itu merupakan akumulasi dari rasa sebal yang kurasakan selama beberapa tahun terakhir, dengan berbagai sebab. Dan kejadian ‘dimarahi karena hal sepele’ itu membuat semua rasa sebalku meledak, berubah jadi marah. Melihat aku mogok makan Abahku pun makin marah, lebih tepatnya murka, sampai terjadi dan terucap sesuatu – yang tidak perlu diceritakan di sini.

Jujur, waktu itu Abah benar-benar menyebalkan. Rasanya semua kasih sayang yang ditunjukkan padaku sejak aku kecil sudah hilang tak berbekas dalam ingatanku. Yang kuingat cuma sikap Abah yang menyebalkan. Seperti pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelanga”. Ditambah lagi sikap Ibu yang ikut-ikutan menyebalkan. Aku merasa benar-benar tidak disayang. Aku sampai berpikir, “Aku ini anak kandung mereka bukan, sih?” Dan karena terpengaruh oleh drama Endless Love, aku pun berharap bahwa sebenarnya aku anak keluarga lain yang tertukar sejak kecil, seperti Eun So dan Sin Ae. Kalau sekarang mungkin seperti sinetron Putri Yang Ditukar, hehehe... (eh, sudah tamat belum, sih, sinetronnya?) Tapi, sayangnya, sampai saat ini tidak ada satu pun keluarga yang datang dan berkata, “Sebenarnya Millati itu anak kami. Dia tertukar sewaktu di rumah sakit.” Aku pun sempat berharap mendapat beasiswa ke Jepang, lalu menetap di sana dan tidak pulang-pulang lagi ke Indonesia (umm, mungkin ini awal mulanya kau terobsesi pergi ke Jepang). Sayangnya, semua itu tidak terwujud. Aku harus bertahan di rumah, bersama Abah yang menyebalkan dan Ibu yang agak menyebalkan (beda kadarnya).

Rasa sebal itu pun hilang seketika sewaktu Abah mengambil pengumuman kelulusanku. Matanya terlihat berkaca-kaca, mungkin bangga dengan prestasi anaknya – yang sering dimarahi itu. Entah kenapa, rasanya terharu melihat mata Abah yang berkaca-kaca itu. Setelah itu, aku tidak lagi benci pada Abah. Lagi-lagi, aku tidak tahu kenapa.

Seiring berjalannya waktu, frekuensi aku merasa sebal pada Abah dan Ibu berkurang. Kenapa bisa begitu? Besar kemungkinan penyebabnya adalah umur. Meskipun banyak yang mengatakan umur tidak mempengaruhi kedewasaan seseorang (secara psikologis), bagiku umur tetap punya andil dalam membentuk kedewasaan tersebut. Setelah dewasa (secara umur), aku mulai bisa memahami ‘maksud’ dari kata-kata orang tuaku, entah yang berupa nasihat, larangan, dan sebagainya. Orang tuaku pun seiring berjalannya waktu mulai memahami sifatku, jadi mereka (terutama Ibu) mulai bisa memilih kalimat yang tepat untuk menyampaikan maksud mereka padaku. Mereka juga mulai memahami ‘maksud’ perkataanku dengan baik. Sepertinya dengan usia yang beranjak dewasa (nyaris tua), ‘frekuensi’ pikiranku sudah mulai sama dengan orang tuaku, jadi lebih nyambung. Jauh berbeda dengan situasi ketika aku masih SMA – yang berarti aku masih remaja labil yang meledak-ledak. Dulu, ketika orang tuaku menasihatiku dan menegurku, aku menganggap itu memarahiku. Dan ketika aku menjawab, orang tuaku menganggap aku membantah dan tidak patuh. Sama-sama salah memahami maksud pihak lain. Dan ketika sudah saling memahami, rasa sebal pun bisa diminimalisasi karena masing-masing pihak bisa berusaha mencegah pihak lain marah. Yah, meskipun kadang tetap saja ada salah paham, tapi frekuensinya tidak sesering dulu.

Kalau diingat-ingat, rasanya menyedihkan. Aku sampai membenci orang tuaku sendiri. Padahal, tidak terhitung curahan kasih sayang yang mereka berikan sejak aku kecil (atau mungkin bahkan sejak aku masih dalam kandungan). Tapi, semua 'tertutup' oleh sikap mereka yang seakan-akan tidak menyayangiku. Tapi, kalau dipikir lagi, ada hikmahnya juga. Kalau tidak ada peristiwa seperti itu, mungkin aku tidak akan bisa seterus terang seperti sekarang ini. Berhubung masalah yang kerap timbul karena aku diam dan memendam kemarahan, sekarang aku lebih suka berterus terang (terutama pada ibuku), misalnya, “aku tidak suka seperti itu” atau “aku tidak suka diperlakukan begitu”. Kalaupun aku merasa tidak sreg dengan sikap Abah, aku akan menyampaikan pada Ibu dan biasanya Ibu yang melapor ke Abah. Dengan adanya konflik itu, aku jadi belajar untuk ‘bicara’. Aku jadi tahu bahwa “diam tidak selamanya emas”. Ada kalanya kita harus bicara sebelum masalah menjadi makin keruh. Dan dengan konflik itu pun aku setidaknya punya gambaran bagaimana kelak aku harus menghadapi anakku kalau aku punya anak ngambekan (seperti diriku, hahaha!). Semoga kelak, bila aku jadi orang tua, aku tidak akan jadi seperti yang dikatakan Dumbledore bahwa “kadang orang tua lupa bagaimana rasanya jadi anak muda”. Semoga kelak aku masih tahu rasanya jadi anak muda, rasanya jadi remaja labil, jadi aku bisa memahami perasaan anakku dan menyikapinya dengan tepat. Dan tentunya kejadian itu membuatku bertekad bahwa kelak aku harus membuat anakku merasa dicintai, jangan sampai dia merasa dibenci oleh orang tuanya sendiri. Huft, menikah saja belum, sudah memikirkan tentang anak. Hadeuh!


19 komentar:

  1. wah tulisan yang luar biasa... anak anak akan mengerti semua yang dikatakan orang tuanya ketika sudah dewasa nanti.... tapi sebagai orang tua harus bisa menjelaskan sebisanya agar anak mengerti semuda mungkin. sehingga tidak sampai sesat karena perasaan yang salah..

    jangan sampai niat baik disalah artikan... good curhat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. yup, sebisa mungkin agar anak memahami maksud baik orang tua sejak kecil. jangan sampai salah paham berlarut-larut.

      Hapus
  2. ^^
    kalau aku jadi si abah,aku akan bilang cup cup sini aku kasih permen @@ ke adik pean. tapi tetep menasihati si kakak.

    iya bener juga, kadang tega banget sampe kelupaan kali y masa mudanya, aku pernah diiket terbalik mau diceburin sumur karena suka goda adik sampe nangis, haha...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kejadian mau diceburin ke sumur itu mirip banget sama cerita sodaraku waktu kecil. Kok ya tega.. Biarpun ga beneran diceburin, dampak negatif psikologisnya menurutku fatal -___-

      Hapus
  3. Sama anak2 memang harus hati2 dalam berucap dan bersikap ya. Soalnya daya rekam mereka juga daya tiru mereka lebih tinggi.
    Postingan yg sangat bermanfaat bagi pembaca. ai laik it... :) Salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul. Sangat membekas dalam pikiran mereka, bisa terbawa sampai dewasa.

      Hapus
  4. setuju dengan salah satu kalimat diatas bahwa frekuensi orang tua dan anak muda itu berbeda. Dan ketika sudah dewasa jadi lebih nyambung. Jadi ingat dulu saya waktu smu juga pernah ngambek kepada orang tua karena tidak dibelikan sepeda motor. Kalau sekarang saya ingat-ingat, ah lucu banget sikapku saat itu. yah begitulah darah muda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, saya mah nggak berani ngambek minta dibelikan motor. Bapak saya aja nggak punya duit buat beli motor kok.

      Hapus
  5. Alhamdulillah semua gelombang masa remaja sdh berakhir ya Mbak :)

    BalasHapus
  6. Wadah...ngambeknya make mogok makan. Kuat sampai berapa hari?
    Kalo ane marah justru makananan yang ada di meja makan ane embat semua,terus yang lain gak kebagian tu,mereka ikutan marah,jadinya ibu ane ndak masak lagi. Terus kita kelaparan...dan terpaksa mogok makan sekeluarga karena ulahku. Tapi tulisan tadi diatas mengingatkan ane pada beberapa nasihat yang cara penyampaian (menurutku waktu itu) salah. Sekarang baru tau,setelah mengalaminya sendiri. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dulu saya nggak kepikiran buat ngabisin makanan. Padahal, itu lebih baik daripada mogok makan dan kelaparan :D

      Hapus
  7. Amat Jujur Millati ...
    Pengalaman yang mirip dengan pengalamanku kecuali yang ttg akhirnya bisa nyambung :|

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emangnya Kak Niar nggak nyambung sampe sekarang?

      Hapus
  8. kadang org tua blm tentu juga lupa bagaimana rasanya jd anak muda. Tp kadang mereka bingung gimana caranya jd org tua.. Yah yg namanya jd org tua kan gak ada sklhnya jd harus belajar terus seumur hidup :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa jadi juga begitu. Bingung harus bagaimana menghadapi anak dalam kondisi 'tertentu'.

      Hapus
  9. Wah ada pelajaran yang sangat berharga dari tulisan ini. Saya jadi ingat film I Not Stupid 2. Orangtua pasti menyayangi anaknya meski dengan cara yang berbeda ...

    Makasih, sudah dicatat. Selamat menunggu pengumumannya :)

    BalasHapus
  10. Males, ah, pasang award-nya. Wong saya nggak menang og *mutung*

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!