Jumat, 26 Agustus 2016

Dicubit Doang


Alah, dicubit doang pake ngadu. Dulu gue dipukul pake penggaris biasa aja.

Cuma dicubit gitu. Dulu gue digampar sama guru, santai aja.



Sebagian orang berkomentar demikian ketika membaca berita seorang guru dilaporkan karena mencubit muridnya. Siapa sih yang tidak geram mendengar seorang guru dipidanakan lantaran satu kasus yang (kelihatannya) sepele? Melaporkan seorang guru karena mencubit anak kita kelihatannya berlebihan, ya? Seharusnya kasus seperti ini bisa diselesaikan antara orang tua murid dan pihak sekolah tanpa dibawa ke ranah hukum. Namun, aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan si orang tua tersebut kalau membawa kasus itu ke ranah hukum. Itu kan haknya sebagai warga negara. Dia merasa anaknya menjadi korban tindak kekerasan oleh gurunya sehingga melaporkan sang guru.



Tapi, kan, katanya guru bebas memberikan hukuman yang bersifat mendidik? Memang benar. PP Nomor 74 Tahun 2008 Pasal 39 menyebutkan bahwa guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama/kesusilaan/kesopanan, undang-udang, dan peraturan lainnya, dengan hukuman dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Nah, hukuman yang mendidik itu seperti apa? Hukuman yang sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan undang-undang itu yang seperti apa? Apakah hukuman fisik, misalnya mencubit, termasuk hukuman yang mendidik?



Sebentar. Hukuman fisik itu yang seperti apa? United Nations Convention on the Rights of The Child (UNCRC) mendefinisikan hukuman fisik (corporal punishment) sebagai berikut

 any punishment in which physical force is used and intended to cause some degree of pain or discomfort, however light. Most involves hitting (“smacking”, “slapping”, "spanking”) children, with the hand or with an implement – a whip, stick, belt, shoe, wooden spoon, etc. But it can also involve, for example, kicking, shaking or throwing children, scratching, pinching, biting, pulling hair or boxing ears, forcing children to stay in uncomfortable positions, burning, scalding or forced ingestion (for example, washing children’s mouth out with soap or forcing them to swallow hot spices).

Jadi, hukuman fisik di sini adalah hukuman yang menggunakan kekuatan fisik untuk membuat orang yang dihukum merasa sakit atau tidak nyaman.



Terhadap hukuman fisik ini – baik yang dilakukan oleh orang tua maupun guru – ada pihak yang mendukung dan ada yang menentang. Yang menentang berargumen bahwa hukuman fisik tidak baik bagi perkembangan mental anak. Ini didukung oleh beberapa hasil penelitian. Salah satu yang lumayan baru adalah penelitian yang dilakukan Iqbal Ahmad, Hamdan Said, dan Faisal Khan di salah satu daerah di Pakistan pada tahun 2013 yang dipaparkan pada paper berjudul Effect of Corporal Punishment on Students’ Motivation and Classroom Learning. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa hukuman fisik (corporal punishment) berkorelasi negatif terhadap minat belajar murid. Ada juga penelitian yang dilakukan oleh Victoria Talwar, Stephanie M Carlson, dan Kang Lee terhadap murid-murid TK dan SD kelas 1 dan 2 di Afrika Barat pada tahun 2011. Pada penelitian tersebut anak-anak di sekolah yang menerapkan hukuman fisik menunjukkan kemampuan yang lebih rendah dalam mengerjakan tugas yang melibatkan "executive functioning" – yaitu proses psikologi seperti perencanaan, abstract thinking (apa ini terjemahan dalam Bahasa Indonesianya?), dan delayed gratification – dibandingkan sekolah yang tidak menerapkan hukuman fisik. Delayed gratification ini didefinisikan sebagai kemampuan menahan diri terhadap godaan untuk mendapatkan reward segera. Ini biasanya dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri (self-control). Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa hukuman fisik dapat memicu seseorang menjadi berperilaku kasar (violent). Ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa hukuman fisik tidak efektif dalam mendisiplinkan anak.



Adapun pihak yang mendukung biasanya berargumen bahwa tanpa rasa takut terhadap rasa sakit seorang anak tidak akan berkembang baik secara intelektual maupun tingkah laku. Ada juga yang menyebutkan bahwa anak yang tidak pernah mendapatkan hukuman fisik sama sekali justru menjadi anak yang paling kasar. Sayangnya aku belum menemukan paper yang menyebutkan hal tersebut.



So, where do I stand? Aku termasuk yang menentang hukuman fisik. Banyak orang yang merasa “berterima kasih” karena dihukum. Banyak juga yang berargumen “Gue dulu dipukul guru dan gue nggak protes. Sekarang gue jadi orang”. Aku tidak setuju. Aku dulu pernah dijewer karena bermain pedang-pedangan menggunakan penggaris kayu. Tapi sepertinya guruku cuma pura-pura menjewer karena tidak terasa. Mungkin guruku pura-pura menjewer agar yang lain tidak meniru perbuatanku. Selain itu aku tidak pernah dihukum secara fisik oleh guru. Namun, hukuman fisik dari orang tua pernah kurasakan. Meskipun orang tuaku bukan termasuk orang tua yang galak dan abusive, tetap saja aku pernah mendapat hukuman fisik. Maklum, era tahun 80-an dan 90-an tindakan menjewer, nylenthik, nothok (menjitak), dan sebagainya belum dianggap kekerasan terhadap anak. And I don’t thank my parents for that. That’s not a pleasant memory. Menurutku bukan hukuman fisik yang berpengaruh positif bagi perkembangan mentalku. Menurutku, yang berpengaruh positif adalah cara didik mereka yang lain, misalnya memfasilitasi banyak bacaan untukku sejak kecil (ini membuatku suka membaca dan banyak wawasan), mendukung semua hobiku yang berganti-ganti (ini memberiku kesempatan mencoba hal baru), membiarkanku pergi ke mana-mana sendiri (awalnya aku sebal, tapi lama-lama aku sadar ini membuatku lumayan mandiri).



Sebenarnya aku penasaran dengan orang yang berkomentar semacam, “Gue dulu dihukum guru, dipukul, nggak papa tuh. Sekarang gue jadi orang.” Jadi orang. Jadi orang yang seperti apa? Sebagian orang yang mendukung hukuman fisik ini menganggap cengeng si murid yang mengadu karena dicubit dan menyarankan hukuman yang lebih keras bagi si murid. Bahasanya? Kasar. Jangan-jangan orang yang mendapat hukuman fisik memang jadi orang. Orang yang permisif terhadap kekerasan dan orang yang keras/kasar. Hari ini bilang, “Alah, dicubit doang!” Mungkin suatu saat akan bilang, “Halah, cuma dikepret gitu aja.” Masih ingat orang tua murid yang menghajar gurunya? Aku kok curiga dia dulunya juga pernah (atau sering) mendapat hukuman fisik sehingga dia terbiasa dengan tindak kekerasan. Akibatnya, dia tidak menganggap tindakannya yang menganiaya orang sebagai tindakan yang salah. Dan pola pikir itu ditularkan ke anaknya.



Aku melihat komentar-komentar orang di media sosial maupun portal berita sebagian besar terkesan mempromosikan tindakan kekerasan. Sebagian malah terkesan bangga karena pernah dihukum. Situ bangga dulu pernah bandel? Aku bisa mengerti kalau mereka ingin membela guru. Namun, yang mereka sampaikan lebih seperti dukungan terhadap hukuman fisik dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. BIG NO! Jangan sampai menghukum anak secara fisik menjadi hal yang lumrah. Hukuman fisik seharusnya menjadi pilihan terakhir.



Tapi tapi tapi ... kan banyak murid yang sudah dinasihati. Apa salahnya diberi hukuman fisik? Memang, sih, ada beberapa murid yang menyebalkan, susah dinasihati, dan kadang mengganggu kegiatan belajar mengajar. Lagi-lagi, seharusnya hukuman fisik menjadi pilihan terakhir. Dunia pendidikan saat ini sudah maju. Aku yakin pendidik zaman sekarang sudah dibekali berbagai metode untuk menghadapi anak-anak semacam ini tanpa harus memberikan hukuman fisik. Dari pengalamanku, teman-temanku yang berandalan malah lebih patuh kepada guru yang persuasif dibandingkan guru yang galak.



Kalau semua cara sudah dilakukan dan si murid masih bandel, boleh diberi hukuman fisik? Err, pertanyaan yang sulit. Pulangkan saja pada orang tuanya, hehehe.

4 komentar:

  1. aku pribadi sih gak mendukung hukuman fisik yang kurang sepantasnya dgn menimbulkan trauma atau luka serius. kalau dicubit atau dijewer menurutku wajar aja cuma balik lagi muridnya kayak gimana kelakuannya gitu?

    kdg murid juga way too much kurang ajar. sudahlah gak usah jauh2, gakperlu jadi guru, kita pribadi pun kalau dihina apalagi dilecehkan pasti pengen ngegampar orang.

    sejauh yg aku alami selama ini sih, murid yg kena hukuman fisik kyk gitu pastilah parah juga bandelnya even cuma cubit. karena aku gak pernah kena hukuman macam gitu, krn bandelnya juga standar. telat, bolos pelajaran atau apa. ya palingan disuruh lari keliling lapangan atau berdiri di luar kelas

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku sendiri termasuk orang yang temperamental jadi kadang terpancing juga pengen ngegampar orang. tapi, kalo sebagai orang tua atau guru, ngasih hukuman kaya nyubit itu tujuannya apa? karena marah atau untuk mendidik? kalau cuma karena marah, itu bisa jadi "contoh" buat anak kalo "nggak papa nyubit orang kalo marah". jangan-jangan nanti malah dia tumbuh jadi orang yang kaya aku, dikit2 pengen main tangan (meskipun sekadar nyubit). kalau tujuannya mendidik, efektif kah? apa justru bikin anak makin susah dinasihatin?

      Hapus
  2. Gue pikir sih gak terlalu jadi masalah, kalo kita menganggap guru seperti orang tua kita. Bukankah orang tua seharusnya menitipkan dan menyerahkan anak-anak mereka seperti orang-orang tua jaman dulu, yg malah semakin memarahi kita kalo kita mengadu karna abis dimarahin guru.

    Para pendidik serta orang tua, masing-masing mempunyai kewajiban untuk memperhatikan anak-anak dan menghukum anak yang harus dihukum jika berbuat lalai, ampe mereka terbiasa dan berakhlak mulia, dan senantiasa istiqomah dalam perbuatan baik. Kan Nabi Muhammad pernah bersabda:

    “Perintahkan anakmu untuk shalat ketika umur tujuh tahun dan pukullah bila umurnya sepuluh tahun (bila tidak shalat) dan pisahkan tempat tidur mereka (antara laki-laki dan perempuan)”.

    Dengan syarat karena sayang bukan karna benci atau dendam pribadi, semata-mata buat pengajaran dan pembentuk kebaikan di hari ke depannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kita nggak bisa pake alasan "seperti jaman dahulu". Sekarang kan udah banyak hasil penelitian yang menunjukkan dampak buruk hukuman fisik. Kalau sudah ada cara mengingatkan yang lebih baik, kenapa menggunakan cara yang kurang baik?

      Menganggap guru sebagai orang tua. Tentu. Dan orang tua itu tugasnya mengayomi. Apa nabi mengajari kita untuk mendidik dengan kekerasan? Nggak yakin gue. Perintah untuk memukul anak cuma muncul dalam perkara sholat deh. Perkara lain emang ada yang membolehkan untuk memukul anak? Dan Nabi kan sudah mengajari untuk memerintahkan sholat sejak umur 7 tahun. Jadi ada proses membimbing dulu sejak dini. Kalau sudah dibimbing selama itu sampai umur 10 masih bandel juga, baru boleh dipukul. Itu pun nggak sembarang mukul. Aku sih mikirnya gitu.

      Kadang guru memang perlu menghukum. Tapi, ada banyak pilihan hukuman selain hukuman fisik.

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!