Sabtu, 29 Juni 2013

Menjaring Angin (5)

I hate Monday. Kali ini aku benar-benar membenci hari Senin. Bukan. Bukannya aku benci bekerja. Aku benci hari Senin ini karena hari ini aku harus ke kantor dan harus bertemu Medusa. Hari ini aku kembali diperbantukan di Bagian Pengolahan Data.

Tak bisa kubayangkan bagaimana sikapnya nanti padaku. Sebelum peristiwa kemarin pun dia sudah bersikap judes padaku, apalagi setelah kemarin aku mengatakan tak mau dijodohkan dengannya? Bisa-bisa makin bengis sikapnya padaku.

Selain harus menghadapi Medusa, aku juga harus menghadapi Mama. Semalam Mama menanyakan bagaimana pertemuanku dengan Medusa, eh, Pawana. Mau tak mau aku menceritakan semua yang terjadi. Dan Mama? Seperti yang kuduga, mendadak galau. Mama khawatir Pawana dan Tante Kartika akan tersinggung dengan perkataanku. Dan satu yang tak terpikirkan olehku sebelumnya: hal ini bisa merusak persahabatan Mama dan Tante Kartika. Huh, rumitnyaaa!

Ah, sudahlah. Lebih baik aku segera bersiap berangkat ke kantor.

***

Kantor masih belum terlalu ramai ketika Pukat tiba. Ketika lewat di ruang entry data, ia melihat Pawana sedang sibuk mengutak-atik komputer. Beberapa kali Pawana berpindah dari satu komputer ke komputer lainnya. Entah kenapa langkah Pukat terhenti.

“Ngapain, Mbak? Pagi-pagi udah sibuk,” sapa Pukat.

“Lagi nge-patch aplikasi entry data. Ada perbaikan rule validasi,” jawab Pawana sambil tetap sibuk.

“Soal yang kemarin itu –“ Pukat tak sempat melanjutkan kalimatnya karena Pawana telah berlalu meninggalkan ruang entry data, meninggalkan Pukat yang keheranan. Sudah dua kali Pawana berlalu tanpa memberinya kesempatan bicara.

***

Siang itu, seperti biasa Pawana makan siang di kantin bersama Sasi dan Matari.

“Gimana kemarin? Jadi ketemu?” tanya Matari tak sabar. Pawana yang sedang menikmati nasi dengan lauk urab dan tempe goreng cuma mengangguk-angguk.

“Gimana orangnya? Ganteng? Baik? Kamu suka?” Matari memberondong Pawana dengan pertanyaannya.

“Kalian pasti kaget kalau tahu siapa orangnya,” kata Pawana.

“Siapa?” kali ini Sasi ikut penasaran.

“Pukat!”

“Apa? Pukat? Si cowok PHP itu?” pekik Matari. Pawana dan Sasi bengong. Maksudnya? Matari membenahi posisi duduknya agar senyaman mungkin. Itu tandanya dia akan menyampaikan berita – atau lebih tepatnya gosip – penting.

“Pemberi Harapan Palsu. Si Pukat itu sebenarnya baik hati dan ramah ke semua orang. Dia nggak segan-segan kalau bantu teman, bisa diandalkan. So sweet, lah. Tapi, justru karena sikap baik hatinya itu dia jadi sering ngasih harapan ke banyak cewek. Dan semua cewek itu patah hati karena Pukat cuma menganggap mereka teman,” papar Matari panjang lebar.

“Jangan-jangan dia gay!“ celetuk Pawana.

“Hush! Kenapa jadi nggosip gitu? Jadi kemarin gimana?” Sasi berusaha mengembalikan pembicaraan ke topik semula.

“Pasti dia nggak mau dijodohin sama kamu. Cewek secantik dan sebohay Padma aja nggak dia lirik, apalagi kamu,” canda Matari yang langsung disambut cubitan dari Sasi. Begitulah. Kalau candaan Matari mulai keterlaluan, Sasi yang biasanya lembut mendadak galak dan melancarkan jurus cubitan cabe rawitnya.

“Dia ngomong langsung kalau dia nggak mau dijodohin sama aku,” kata Pawana. Matari dan Sasi langsung memasang wajah prihatin dan bersiap menghibur teman baik mereka yang – mereka duga – patah hati.

“It’s OK. Aku juga belum mau nikah, kok. Dan aku diuntungkan dengan penolakan dia. Kalau aku yang menolak, aku bakal disebut 'jual mahal' atau 'sok' atau 'belagu' atau apa lah. Dan berhubung dia yang menolak, dia yang bakal disebut 'jual mahal' dan bla bla bla. Aku dapat tiga keuntungan. Pertama, aku nggak jadi dijodohkan. Kedua, aku nggak bakal disebut 'jual mahal'. Ketiga, aku nggak akan dimarahi Ibu karena bukan aku yang menolak perjodohan,” Pawana menyeringai. Licik.


bersambung

26 komentar:

  1. mulai pintar membuat pembaca penasaran mbak. masih berapa episode mbak. makin gemes aja pengen tahu kisah pukat dan pawana. happy endingnya gimana?

    *besok manjaring angin 6 harus terbit (maksa dikit)

    BalasHapus
  2. Ah, ceritanya seru, baru baca dari bagian ini terus baca dari awal hihi penasaran.
    Salam kenal btw, Mbak :D

    BalasHapus
  3. haha masih dibahas...
    hati hati tar ditarik royalti lho sama si wedusa...

    BalasHapus
  4. Cerbernya keren Milati, mengaduk emosi pembaca. Selamat terus berkarya.

    BalasHapus
  5. Itulah, makanya aku suka baca tulisan orang yang seneng baca. Biasanya tulisannya ud kebentuk :)
    Keren, Mil :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. duh, jadi gede kepala nih dipuji ama editor..

      Hapus
  6. ayo dong kak segera diterbitkan menjaring angin (6). Ini beneran ane tungguin kok. Mumpung masih teringat cerita menjaring angin 1-5. Pengen segera tahu kelanjutannya.

    BalasHapus
  7. kalau aku lagi hate koneksi :) maaf ya baru bisa bw

    BalasHapus
  8. waduh, aku suka nolong... jgn-jgn juga termasuk cowok php -_-'

    BalasHapus
  9. 1-5, selesai dibaca. Penasaran sama endingnya.
    Btw, Pawana itu mbak Milo bukan sih? Aku penasaraaaannnn.
    Jawab donk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin iya, haha.. :D
      Btw, maksud komenku di part sebelum ini: apakah ini terinspirasi dari kisah nyata?
      Jangan-jangan, mbak Milo beneran dijodohin sama brondong ya?
      :D

      Hapus
    2. Hahaha, aku nggak dijodohin sama brondong kok. Lebih tepatnya nggak dijodohin sama siapa-siapa :p

      Hapus
  10. Pas sampe di sini, jadi keingetan tentang "kutukan jodoh sekantor". Sejauh-jauhnya mencari jodoh, tau-taunya ama temen sekantor juga. :D :D :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. tapi kutukan itu (kayaknya) nggak berlaku buat saya :p

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!