Memberikan
obat-obatan kimia pada anak sama saja dengan meracuni. Begitu status Facebook
salah satu kawanku. Dia menganggap bahwa obat (yang katanya berbal) yang
diajarkan dalam Thibbun Nabawi sudah cukup, tidak perlu obat-obatan (yang dia
sebut) kimia. Pertanyaannya adalah: obat-obatan kimia itu yang seperti apa ya?
Kalau tidak salah, segala sesuatu di muka bumi ini terdiri dari unsur kimia.
Air mengandung unsur kimia hidrogen dan oksigen. Udara mengandung unsur kimia
oksigen, nitrogen, dan unsur-unsur lainnya. Garam mengandung unsur kimia
natrium dan klor. Nasi yang kumakan (hampir) setiap hari saja mengandung
karbohidrat yang bila diuraikan ternyata terdiri atas unsur karbon, hidrogen,
dan oksigen. Dan aku yakin madu, habbatussauda, biji adas, semuanya terdiri
atas unsur-unsur kimia. Lantas, kenapa dia harus membedakan obat herbal dengan
obat kimia?
Kemungkinan
besar yang dimaksud sebagai obat kimia adalah obat dokter. Lantas, apakah obat
dokter memang beracun? Well, pada dasarnya semua obat (bukan hanya obat dokter)
bisa menjadi racun. Yang pernah menonton Jewell in The Palace tentunya ingat
ketika kawan Jang Geum tidak berani mengklasifikasikan mana yang termasuk obat
dan mana yang termasuk racun dengan alasan obat bisa berubah menjadi racun bila
dosisnya salah. Obat dokter maupun obat (yang katanya herbal) bila dosisnya
tidak tepat bisa menjadi racun. Selain dosis, kondisi orang yang sakit juga
berpengaruh, misalnya umur, penyakit tertentu, alergi. Untuk obat-obatan (yang
katanya) kimia, biasanya tertulis kontraindikasi, yaitu situasi di mana
aplikasi obat atau terapi tidak dianjurkan. Misalnya dalam beberapa obat flu
yang beredar umum tertulis kontraindikasi: penderita hipertensi. Berarti
penderita hipertensi tidak dianjurkan mengonsumsi obat tersebut. Dalam kondisi
tersebut, bukankah bisa diartikan bahwa bagi penderita hipertensi obat tersebut
bisa berubah menjadi racun?
Hal semacam ini bukan hanya berlaku bagi obat-obatan (yang katanya) kimia. Obat-obatan herbal pun sebenarnya punya kontraindikasi. Madu misalnya. Bagi orang dewasa madu memang banyak khasiatnya. Namun, beberapa referensi menyebutkan bahwa madu tidak dianjurkan bagi anak dengan usia di bawah satu tahun karena bisa menyebabkan botulisme. Bukankah ini berarti madu bisa menjadi racun bagi sebagian anak yang berusia di bawah satu tahun? Lalu, habbatussauda. Bagi sebagian orang, habbatussauda memang baik untuk menjaga stamina. Namun, ada sebagian orang yang tidak cocok dengan habbatussauda, misalnya sampai muntah-muntah setelah mengonsumsi obat tersebut. Teringat kata-kata kakakku bahwa tubuh memiliki mekanisme alami untuk ‘menolak’ sesuatu yang tidak cocok, salah satunya, ya, dengan memuntahkan kembali apa yang sudah ‘masuk’. Kalau dosisnya berlebihan, habbatussauda juga berbahaya, kan? Dengan demikian, bukankah habbatussauda juga bisa menjadi racun bagi tubuh yang ‘tidak cocok’ dengan obat itu atau bila diberikan dengan dosis yang berlebihan. Jadi, obat herbal pun bisa jadi racun, kan?
Apakah aku
menulis ini karena aku tidak percaya pada Thibbun Nabawi? Woooh, jangan
sembarangan menuduh. Tentu saja aku percaya. Aku juga kadang mengonsumsi
habbatussauda dan madu. Aku juga sudah beberapa kali dibekam. Aku hanya heran
melihat orang-orang yang begitu kontranya dengan obat dokter. Padahal, apa
salahnya obat dokter? Apakah kalau dulu Rosul tidak mengonsumsi obat dokter lantas
kita juga tidak boleh mengonsumsi obat dokter? Kalau dulu Rosul ke mana-mana
naik unta dan tidak naik pesawat, apakah berarti kita tidak boleh naik pesawat?
Berarti aku pulang kampung ke Jawa naik unta? Duuuh! Begini, ya... Obat ini,
kan, bukan masalah ibadah. Dan kalau bukan masalah ibadah, hukumnya adalah
boleh selama tidak ada larangan (sedangkan kalau dalam ibadah, selama tidak ada
perintahnya, hukumnya haram, setahuku begitu). Dan sepertinya aku belum
menemukan dalil yang melarang berobat selain menggunakan obat yang dijelaskan
dalam Thibbun Nabawi. Berarti, hukum berobat dengan selain yang ada di Thibbun
Nabawi boleh, dong? Kalau yang dipermasalahkan adalah keamanan obat, sebegitu
tidak percayakah pada dokter dan ahli farmasi di negara ini hingga menganggap
obat yang mereka resepkan amat sangat berbahaya? Masa iya, sih, mereka semua
bersekongkol memberikan racun pada masyarakat? Lagipula, dewasa ini sudah
banyak “kampanye” mengenai RUM (Rational Use of Medicine). Dengan banyak membaca
informasi RUM, kita bisa tahu penggunaan obat secara rasional sehingga bisa
mengurangi “bahaya” obat yang kita khawatirkan. Silakan kalau memang lebih
cocok dengan obat yang diajarkan dalam Thibbun Nabawi. Tapi, tidak perlu sebegitu
antinya pada obat dokter.
*sekadar curhat orang yang masih awam*
Ya sesuai porsi dan kebutuhannya aja kali ya mbak..
BalasHapusAku juga bukan yg apa2 ke dokter, tp kalo memang ga sembuh2 dan perlu ke dokter..
@ Bunda Dzaky: yup, sesuai kebutuhan aja
Hapus@ Fuadhts: memangnya yang herbal beneran alami?
hihihihi....kl bnr2 sakit saya baru ke dokter hehe.....
BalasHapusuwaaa,jd kangen jung gem nih mbk :D
Yuk, nonton lagi :D
Hapusmemang semua yang berlebihan kan ga baik ya..
BalasHapussetuju sama bunda dzaky,,
kalo memang diperlukan, ya kedokter,
yup, emang nggak boleh berlebihan.
HapusKlo menurut aku obat dokter itu ya suatu bentuk evolusi dari Thibbun Nabawi sih.
BalasHapusevolusi? nggak kepikiran sampe ke situ saya...
Hapusmengurangi obat dokter, lebih ke herbal..
BalasHapusiya kah?
Hapushihihi, mungkin mereka yg sangat anti pada obat dokter percaya bahwa ada sebagian golongan, yg sengaja melakukan konspirasi, membuat obat-obatan kimia. Yang berdampak menimbulkan efeksamping. Tapi embuh dink. :3
BalasHapusBtw, aku minum habbatussauda malah telapak tangan jadi gatel-gatel. Berhenti minum, gatel2nya ilang. Kata temanku, itu reaksi yg mungkin keluar sebagai hasil proses detoksifikasi racun dlm tubuhku. Tapi menurutku itu murni karena aku alergi, trus jadinya malah kapok minum habbatussauda. :D
Sekarang sih aku lagi nyoba2 zaitun extra virgin. XD
ada juga ya yang alergi habbatussauda? ada yang bilang memang kalo awal-awal minum habbatussauda semua penyakit keluar semua. tapi, ada juga yang memang nggak cocok dan menurutku kalo nggak cocok ya nggak perlu dipaksa. kan masih ada alternatif lain.
Hapuszaitun extra virgin yang mana? yang diminum apa yang obat luar?
lho, bukannya Zaitun extra virgin tuh bisa buat diminum maupun dioles ea?
Hapus:v
jadi, itu kuminum sekaligus kuoles. XD
yang kimia itu kali yang obat buatan dari reaksi kimia di lab ndah, kalo yg herbal kan memang sudah tersedia dialam.
BalasHapusSetahuku sih kalo obat kimia akan menyebabkan resistensi pada tubuh, shngga kalo kita pake berulang dosisnya harus ditambah. Sdangkan yg alami walaupun kita gunakan berulang2 tubuh kita gak akan resisten.
emang yang herbal nggak ada resistensinya?
Hapushmmm aku sih tergantung keadaan aja deh, kalau memang harus ke dokter ya kedokter lah, mas aiya dokter mau meracuni pasiennya ya
BalasHapusiya, kalo udah parah dan butuh penanganan dokter ya ke dokter lah
Hapusyg herbal kayaknya tubuh kita gak akan menolak deh, kalo kita minum jahe tiap hari kan gak papa, mlh tmbh sehat, coba kita minum paramex tiap hari?
BalasHapusowh..
Hapuskayaknya gak semua obat kimia itu buruk deh buktinya sekarang saya masih sangat tergantung sama obat dokter..
BalasHapusowh.
Hapustulisan ini menarik dan sebenarnya semua harus berimbang antara iman kepada agama dan iman kepada orang orang pintar. karena di kitab sucipun orang pintarpun diperlukan masukannya, termasuk dokter.
BalasHapusistilahnya aneh: iman kepada orang pintar
Hapus