Rabu, 06 Februari 2013

Jakarta, Rumah Para Perantau

Kata orang kehidupan di Jakarta itu ‘kejam’. Dulu aku juga berpikir demikian. Sewaktu baru tiba di Jakarta untuk pertama kalinya aku langsung berpikir bahwa kehidupan di Jakarta benar-benar keras. Wajar saja aku berpikir begitu karena saat itu aku langsung menginap di warteg ‘berlantai dua’ yang bangunannya terbuat dari triplek dengan kamar mandi yang amat sangat ala kadarnya.

Kehidupan di Jakarta memang sedemikian keras. Tapi, kenapa ada banyak orang yang merantau ke Jakarta? Selain alasan ekonomi, alasan lainnya adalah ‘keramahan’ Jakarta terhadap para perantau. Jakarta adalah rumah bagi semua perantau, setidaknya itu menurutku. Jumlah perantau di Jakarta amat banyak, bahkan melebihi penduduk asli di sana. Perantaunya pun datang dari berbagai daerah di Indonesia dan dari bermacam-macam suku. Keberagaman inilah yang membuatku nyaman di Jakarta. Aku tidak merasa seperti orang yang berbeda dengan yang lain. Aku bertemu dengan orang yang beragam. Ibu kos yang keturunan Arab, tukang siomay yang orang Sunda, tukang bubur ayam yang orang Jawa dari Bumiayu, tukang pecel yang orang Jawa dari Klaten,  sopir metromini yang orang Batak, dan sebagainya. Bertemu dengan orang-orang yang semuanya berbeda membuatku tidak merasa berbeda. Ibaratnya ketika datang ke pesta di mana semua tamu seragam mengenakan pakaian hitam dan hanya aku yang mengenakan pakaian merah, tentu aku akan merasa tidak nyaman karena berbeda. Lain ceritanya bila aku datang ke pesta di mana para tamu mengenakan pakaian yang dengan warna yang beragam. Apapun warna pakaianku tidak akan membuatku merasa berbeda.

Apa benar Jakarta ramah terhadap perantau? Hmm, menurutku iya. Kalau tidak ramah, bagaimana mungkin ada begitu banyak orang yang merantau ke kota itu? Di daerah lain mungkin pernah terdengar kasus di mana suku pendatang diusir oleh penduduk asli. Kalau di Jakarta? Pernahkah kalian mendengar orang Betawi berteriak, “Lu orang Jawa, sono pulang ke Jawa! Lu orang Batak, gih, pulang ke Medan sono!”? Pernah? Aku, sih tidak pernah. Itu sebabnya aku salut terhadap suku Betawi dalam hal keterbukaan mereka terhadap pendatang. Mungkin ada beberapa kasus yang pendatangnya memang bersikap tidak baik sehingga penduduk asli membenci mereka. Tapi, ada beberapa kasus di mana penduduk asli memang terlalu resisten terhadap pendatang, terutama pendatang dari suku tertentu. Berbeda dengan Jakarta di mana semua suku bisa datang dan tinggal dengan nyaman di Jakarta (asal mengurus administrasi). That’s why I love Jakarta!

18 komentar:

  1. Ketoknya di Jakarta tuh lebih akeh wong Jowo daripadah orangh Betawi...
    Aku jugah cintah Jakarta, soale gampang nggoleh opo2 hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha, aku juga cinta Jakarta karna kaya toserba, semua serba ada, terutama panganane, pirang-pirang :D

      Hapus
  2. jakarta gak pernah sepi ya mbak walaupun malam sekalipun. dulu waktu masih kerja pulang diatas jam 9 amalam kalau akhir bulan gak ada rasa takut, tapi waktu disemarang keluar malam kok agak takut, apa karena bukan kota tempat tinggal sendiri ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mungkin karena bukan di kota tempat tinggal sendiri jadi takut kalo keluar malam. Saya juga kalo pulang kampung nyampe rumah jam 3 pagi jalan gak terlalu takut, kalau di rantau keluar jam 9 malam aja ngeri.

      Hapus
  3. Jakarta memang selalu menarik dengan semua daya pikatnya... tapi ya susah buat perantau yang cuma modal tekad doang kalau sekarang. Dulu mungkin bisa,.. sekarang butuh isi kepala juga kayaknya kalau mau benar benar sukses.

    Multikulturalnya luar biasa menurut saya.. setuju dengan pernyataan dirimu..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup, kalo modal nekat doang ya sengsara di Jakarta. Ujung2nya jadi pekerja kasar.

      Hapus
  4. udah lama ga ke jakarta........pingin.......

    BalasHapus
  5. Seumur umur gag pernah bayangin bakal kuliah di jakarta, kerja di jakarta, tinggal di jakarta, ternyata diitung itung kurang lebih 8 tahun ya merantau di sini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku dulu juga gak ngebayangin kuliah di Jakarta. Perasaan Jakarta tu jauuuuuuh banget. Eh, ternyata malah hampir lima tahun di sana. Dan sekarang merantaunya lebih jauh lagi -___-'

      Hapus
  6. Itulah yang (mungkin) bikin Jakarta jadi padat, mbak.... :P

    BalasHapus
  7. aku merantau di jakarta dari lahir sampe2 udah ga punya kampung halaman lagi sekarang hahahaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo dari lahir mah namanya bukan merantau -___-"

      Hapus
  8. Dalam hal multikultural, Jakarta memang keren!

    BalasHapus
  9. nah terus gmn tanggapan foke yg blg jakarta tenggelam?~

    BalasHapus
  10. ane orang betawi asli malah merantau k sumatra,,ke jakarta pasti ane kan kembali......

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!