Selasa, 25 Desember 2012

Tentang Ngapak

Pernah melihat orang berbicara dengan logat ngapak dalam sinetron atau film? Aku sering. Dan jujur aku tidak suka. Seringnya, dalam sinetron orang berlogat ngapak ini digambarkan sebagai orang ndeso. Tapi, itu bukan masalah besar. Sebagai salah satu penutur Bahasa Jawa dengan logat ngapak – lebih tepatnya dialek Tegalan – aku tidak masalah dianggap ndeso. Toh, orang yang tidak ndeso belum tentu lebih cakep dan lebih keren dibandingkan orang ndeso, hehehe..

Yang membuatku tidak nyaman adalah cara para aktor dan aktris menggunakan logat ngapak. Biasanya, mereka berlebihan. Lebay. Misalnya dalam melafalkan huruf “k” dan “g” biasanya terlalu tebal. Kalau dalam Bahasa Arab seperti menggunakan qolqolah kubro. Padahal, setahuku orang-orang di wilayah Tegal dan Brebes tidak segitunya. Jadinya kalau melihat para aktor dan aktris menggunakan logat ngapak malah terkesan wagu (aneh). Membuatku ingin berkomentar seperti celetukan khas SKETSA: “Nggak gitu gitu juga kaleee!” Kalau diperhatikan, memang tidak banyak non-ngapaker yang bisa berbahasa ngapak secara luwes. Biasanya terdengar kaku.

Selain pelafalan yang berlebihan, seringkali orang menggeneralisasi logat ngapak dan 'keliru' dalam menggunakannya. Padahal, ada dua dialek yang menggunakan logat ngapak, yaitu dialek Tegalan dan dialek Banyumasan (sebenarnya orang Cirebon juga sebagian berlogat ngapak tapi aku tidak yakin apakah termasuk dialek tersendiri yaitu Cirebonan atau masuk dialek Tegalan). Penutur dialek Tegalan ini tersebar di daerah Brebes, Tegal (Kota Tegal dan Kabupaten Tegal), dan Pemalang (tapi sebagian penduduk Pemalang ada yang dialeknya lebih mirip Jawa Wetanan). Adapun penutur dialek Banyumasan tersebar di daerah Purwokerto, Purbalingga, Cilacap, dan sekitarnya (pokoknya Karesidenan Banyumas, sebagian daerah Kebumen juga sepertinya menggunakan dialek ini). Biarpun sama-sama ngapak, dua dialek ini berbeda, baik dalam kosa kata, intonasi, dan kecepatan berbicara. Penutur dialek Banyumasan cenderung lebih cepat dalam berbicara dibandingkan penutur dialek Tegalan. Kosa katanya pun ada yang berbeda. Misalnya untuk memanggil orang tua. Kalau di daerah Brebes dan sekitarnya, biasanya memanggil “ibu” dengan sebutan “emak” yang dilafalkan ema’ (without “k” and without qolqolah of course). Untuk menyebut kata “ibunya” mereka mengatakan “manene” atau “manekane” (yang kedua adalah versi sangat ndeso). Adapun untuk memanggil “ayah” mereka menggunakan kata bapak yang dilafalkan bapa’ (still without “k” and without qolqolah). Kalau menyebut kata “ayahnya” mereka mengatakan “bapane” atau “bapakane”. Tapi, kata emak dan bapak sudah jarang digunakan. Orang tua zaman sekarang lebih suka dipanggil Mama-Papa, Ayah-Bunda. Yang dipanggil Ibu pun sudah jarang. Nah, kalau dalam satu sinetron diceritakan salah satu tokohnya berasal dari Tegal tapi memanggil ibunya dengan panggilan mamake, menurutku itu nggak matching. Setahuku sebutan mamake banyak digunakan penutur dialek Banyumasan. Setahuku, sih, begitu, seperti yang di curanmor, hehehe...

Intinya, sih, kalau mau menggunakan logat ngapak, ngapaklah dengan baik dan benar. Dan mesti jelas mau ngapak dialek Tegalan atau Banyumasan.

12 komentar:

  1. saya sendiri kurang setuju dengan penggunaan bahasa ngapak di sinetron yang seakan-akan berkonotasi kurang baik, yah karena sendiri dirumah pake bahasa inyong hihi....

    BalasHapus
  2. sama perasaan kita :D
    ketika mendengar/menonton orang2 yg bukan orang Medan berlogat Medan yaaaaaaa terdengar aneh buangettttttt
    seperti di film apa itu ya tempo hari, ada artis senior yg mau2nya disuruh jadi orang Medan ... waaaaa ... ancurrr ...

    Dan buatku itu sama dengan orang2 itu menunjukkan kualitas diri yang cuma segitu sajah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kayaknya artis2 kalo mau pake logat daerah mesti riset mendalam dulu biar gak wagu..

      Hapus
  3. Nggak cuma "ngapak", tapi sinetron yang ada dialek Jawanya juga banyak yang asal2an dan jauh dari yg semestinya. Memang ada yg bagus, tapi selebihnya terkesan norak dan dipaksakan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Pak. Kadang yang akting logat Jawa medhok nya semena-mena.

      Hapus
  4. yah gitulah kalau di sinetrin/film.. biasanya untuk membantu menjelaskan ke penonton, tokohnya asalnya darimana.... gak hanya Tegal, Batak, Ambon, madura, dll juga sama.... Kadang pengeksplorasiannya berlebihan.... :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hu'um. berasa aneh. niatnya mau menguatkan karakter, malah merusak :D

      Hapus
  5. Lebay dan maksa banget sh, coz kalo Heri temenku ngomong ngapak juga gak Kentaaaallll banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ho'oh, lebay.

      Itu temennya maksudnya Mas Heri Tri Bowo yak?

      Hapus
  6. hahaha.. klo aku setuju logat ngapak harus dilestarikan supaya ga punah dan menjadi suatu identitas dan ciri bangsa *halah

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh, tentunya memang harus dilestarikan. apalagi ngapak termasuk salah satu budaya yang kecil kemungkinannya diklaim bangsa lain. orang Malaysia mana ada yang bisa ngapak coba? bener2 ciri khas bangsa kita.

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!