Senin, 27 Juni 2011

Masalah

Hidup itu seperti sebuah restoran, di mana semua orang mendapatkan meja, tapi tidak mendapatkan menu. Tidak ada yang tahu makanan apa yang akan disajikan oleh takdir kepada kita.

Begitulah lebih kurang kalimat dalam salah satu adegan di film Aladin versi India. Sebuah kalimat sederhana, tapi mendalam. Begitulah kehidupan. Life is so unpredictable! Kita hanya bisa memperkirakan apa yang mungkin akan terjadi. Tapi, tetap saja, akan ada banyak kejutan yang sama sekali tak muncul dalam benak kita sebelumnya. Yang bisa kita lakukan hanya "MENGHADAPINYA".

Lari? Ya, aku kerap -ah, sebenarnya hampir selalu- berpikir untuk melarikan diri dari masalah. Jalan keluar yang sangat mudah. Tapi, masalah selalu ada di setiap sudut dunia ini. Kalau aku lari dari suatu masalah, sama artinya aku menghampiri masalah lain. Keluar dari mulut harimau, tetap saja ada harimau-harimau lain yang siap menerkam.

Hari ini, aku dihadapkan pada beberapa masalah yang membuatku ingin lari. Tetap saja aku tak bisa lari. Aku ingin memaki, tetap saja yang kumaki tak akan membantuku. Mau meninggalkanku sendirian? Ya, sudah. Mungkin memang aku harus sendirian berjuang. Biarpun sendirian, tetap harus kuhadapi. Betapapun lelah hati dan otak ini. Tak lagi bisa mengharapkan bantuan manusia.

Allah, mudahkanlah hariku... Lancarkanlah urusanku...

Help Me!

Huhuhu... Tolong beri aku seseorang untuk membantuku berpikir dan bertindak... Haduh haduh haduuuh!
PSPK, Susenas, MFD Online, pelatihan inda PPLS, semuanya datang bersamaan. Bagaimana ini?
Tolong, bantu aku berpikir dengan tenang... Sayang sekali dalam kehidupan nyata tidak tombol PANIC seperti di permainan Bounce.
Tiba-tiba merasa sendirian. Panik sendirian. Bingung sendirian. Stress sendirian. Jadi ingin menyanyikan lagu kepunyaan... mmm... siapa namanya? Itu, lho, yang menyanyikan lagu "Kirim aku malaikat-Mu biar jadi kawan hidupku, dan tunjukkan jalan yang memang kaupilihkan untukku".
Tidak ada yang bisa kuharapkan selain pertolongan-Mu, ya Allah...

Rabu, 22 Juni 2011

Asam dan Garam

Asam di gunung, garam di laut, bertemu di belanga. Begitulah pepatah mengibaratkan tentang pasangan yang berjodoh. Sejauh apapun jaraknya, tetap bisa bertemu. Tapi, ada beberapa pertanyaan yang membuatku bingung.
Pertama, di antara asam dan gunung, mana yang diibaratkan laki-laki dan mana yang diibaratkan perempuan?
Kedua, kenapa harus di belanga? Bukankah mereka berdua bisa bertemu di cobek? Menurutku itu justru tempat yang paling sering menyatukan asam dan garam, terutama bila membuat sambal.
Ketiga, bila poligami, siapa saja tokohnya? Asam dan garam saja dengan asam yang kadarnya lebih banyak ataupun sebaliknya? Atau asam, garam, cabai, kunyit, dan lain-lain?
Keempat, bukankah asam dan garam itu tidak sekufu karena sifatnya yang berlawanan? Kenapa dipasangkan?
Ah, sudahlah. Tak usah dipikirkan.

Imajinasi Lamaran

Kali ini aku ingin mendokumentasikan imajinasiku. Tentang apa? Melamar. Hah? Iya, kali ini aku mau menceritakan imajinasiku tentang cara-cara melamar, atau imajinasi tentang situasi bagaimana aku akan dilamar. Huahahahaha!

Sakura dan Surat Undangan
Aku pernah berharap kuliah di Jepang dan bertemu belahan jiwaku di sana. Dan aku berimajinasi dilamar di bawah pohon sakura tepat ketika hanami, ketika bunga sakura bermekaran. Dia memberikan sebuah surat undangan padaku dan berkata, "Boleh gak aku tulis nama kamu sebagai mempelai wanita?" So sweet. Iya, aku tahu, tidak usah memujiku seperti itu... (Hueks!)

Malam Tanabata
Sebagai salah satu efek keinginanku untuk kuliah di Jepang, selain ingin dilamar pada saat hanami, aku juga ingin dilamar pada malam Tanabata. Malam ketika dua bintang --yang biasanya terpisah oleh Amanogawa-- bisa bersatu meski cuma setahun sekali. Romantis sekali bila dia mengajakku menikah di malam itu. Dua hati bersatu seperti dua bintang itu. Halaaaaaaaaah...

Putus Asa
A: Eh, cumi!
B: Ape, nyet?
A: Kan, ga ada cowok yang mau ma kamu. Ga ada cewek yang mau ma aku.
B: Sooo?
A: Kita nikah aja, yuk, daripada sama-sama ga laku..
Dialog di atas adalah salah satu imajinasiku. Tapi, semoga aku tidak dilamar dengan cara itu. Seolah-olah aku ini tidak laku saja.

Cinta tapi Tidak Ikhlas
A: Kamu tahu ga? Kamu tuh ga cantik, ga seksi, ga pinter-pinter amat, judes lagi
B: (emosi) So what?
A: Tapi aku heran. Kok aku bisa suka banget sama kamu. Nikah aja, yuk!
Naaah, dialog ini yang paling kusuka.

Selasa, 21 Juni 2011

Kembali dari Hiatus

Kembali dari hiatus ternyata bukan hal yang mudah. Padahal aku baru benar-benar berhenti posting sekitar tiga bulan. Tapi, aku sudah kebingungan untuk kembali membuat tulisan yang lepas dang mengalir. Dulu aku bisa dengan mudah mencurahkan isi hati, pikiran, ataupun pengalaman. Dalam sehari aku bisa posting lebih dari sekali dengan tema yang berbeda. Namun, sekarang, untuk menulis satu posting-an sepertinya tidak terlalu lancar. Dalam posting-an di blog-ku yang dulu aku memang tidak terlalu fokus, kadang masih sering melenceng antara paragraf pertama dengan paragraf berikutnya. Dan ternyata, setelah lama hiatus, aku lebih tidak fokus. Apalagi bila aku berhenti sejenak untuk mengurusi hal lain, aku bisa lupa apa yang hendak kutulis selanjutnya. Hedeuh!

Nah, saat menulis ini saja aku sudah bingung bagaimana melanjutkannya. Ya, sudahlah. Tapi jangan sampai semangatku untuk nge-blog hilang. Chaiyo! Biarpun posting-anku tidak penting dan tak bermutu, tapi tak ada salahnya tetap dituliskan di blog.

Rabu, 15 Juni 2011

Data, oh, Data

Sewaktu sekolah kita kadang melakukan praktikum di laboratorium. Membuktikan bagaimana suatu enzim bekerja dengan zat tertentu. Kadang juga kita melakukan penelitian berdasarkan data. Misalnya korelasi antara kehadiran mahasiswa dalam satu semester dengan IPK-nya. Itu contoh sederhananya.

Sepertinya sederhana. Yah, bila data dasar penelitian adalah data yang mudah didapatkan serta sudah pakem seperti presensi dan IPK, tidak terlalu sulit. Namun, bila yang dibutuhkan adalah data yang 'sulit', misalnya konsumsi, tentu merepotkan. Siapa, sih, yang iseng mencatat setiap pengeluarannya secara rinci setiap harinya? Konsumsi beras masih bisa, lah, dikira-kira. Tapi, konsumsi kecap, garam, gula, dan lain-lain? Para ibu rumah tangga yang rajin mencatat pengeluaran pun biasanya cuma mingguan, menurutku. Kecuali kalau memang kita menanyai responden setiap hari (dan cara ini cuma dilakukan pada satu macam survei, setahuku).

Dan ada pula data yang 'semestinya' sudah ada di instansi berwenang. Misalnya luas desa. Menanyakan luas desa kepada kepala desa belum tentu mendapatkan jawaban yang valid. Mungkin kau akan berpendapat bahwa kita bisa melihat di SK pembentukan desa. Hey, di masa reformasi yang kebablasan ini, di mana pemekaran adalah hal yang mudah di-acc, kau yakin di SK pembentukan desa ada keterangan luas desa? Tidak semuanya begitu. Banyak yang tidak mencantumkan luas desa. Lalu, kepala desa? Kau yakin dia tahu luas desanya? Yah, mereka mungkin bisa mengira-ngira. Tapi, tetap saja membutuhkan pengukuran agar datanya lebih valid. Dan itu adalah wewenang dinas terkait. Ah, mungkin kau ingin menyuruhku mengukur luas berdasarkan hasil pemetaan digital. Ya, ya, ya, bisa saja... Tapi, ketika batas desa masih kurang jelas, luas desa pun tak jelas. Haaaaah!

Lalu, jumlah penduduk. Ketika konsep yang digunakan berbeda-beda, tentu datanya pun berbeda-beda. Ada yang menggunakan konsep de facto (sudah tinggal 6 bulan atau lebih, tidak peduli ada KTP, KK, atau administrasi apapun) dan de jure (belum tinggal sampai 6 bulan tapi berniat menetap). Ada juga yang berdasarkan KTP atau KK (bila di KTP-nya beralamat di desa X, meskipun tinggalnya di desa Y, tetap dianggap penduduk desa X). Suatu hal yang mustahil mengetahui jumlah penduduk suatu daerah secara tepat. Kata salah satu dosenku "yang tahu jumlah penduduk cuma Tuhan". Ya, memang demikian adanya. Perubahan jumlah penduduk bisa terjadi dalam hitungan detik, bahkan mungkin dalam milidetik. Yang bisa diketahui hanya perkiraan jumlah penduduk pada rentang waktu tertentu. Zero error? Bah, jangan mimpi!

Oh, ya, satu lagi. Aku lebih percaya data hasil observasi daripada wawancara. Human, you know, sometimes they lie, sometimes the forget and give us wrong information. Ketika melakukan observasi (terutama pada benda, bukan manusia), kita bisa "mengondisikan" objek observasi agar asumsi kita terpenuhi. Tapi, dalam wawancara, sulit sekali mendapatkan data yang valid. Kejujuran responden, pemahaman responden terhadap pertanyaan, penguasaan responden mengenai informasi yang kita tanyakan, aah, pokoknya banyak yang membuatku ragu mengenai data.

Instansi yang bertugas mengumpulkan data memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Metodologi yang digunakan mungkin sudah baik, dengan sampling error yang seminimum mungkin. Tapi, meski sampling error sudah kecil, bila kondisi masih seperti ini, nonsampling error-nya tetap saja besar. Masalahnya saat ini bukan lagi bagaimana metode estimasi untuk mendapatkan perkiraan data untuk populasi yang mendekati kondisi sebenarnya. Tapi bagaimana mendapatkan data sampel yang berkualitas agar estimasinya baik.

Ah, indahnya Indonesia bila semua penduduk melek statistik, responden berpendidikan, jujur, dan kooperatif. Data berkualitas akan mudah didapat. Dan dengan data, lebih mudah mengambil kebijakan. Apakah itu cuma mimpi?

Jangan Menangis

Jangan menangis lagi
Air mata takkan membawa cintamu kembali
Air mata takkan membuatnya mencintaimu

Jangan menangis lagi
Waktu dan doa yang akan menyembuhkan luka hatimu
BUKAN AIR MATA

Lepaskanlah ia
Bukan, bukan berarti kau menyerah
Tapi, apa gunanya mengulurkan tangan pada seseorang yang takkan menyambutnya

Lupakan CINTA-mu
Kejarlah CITA-mu
Berlarilah, terbanglah mengejar mimpimu

Mungkin kini kau bukanlah bidadarinya
Tapi, kau pasti bisa jadi bidadari untuk dirimu sendiri
Bahagiakanlah dirimu
Tak perlu menunggu orang yang kaucintai membahagiakanmu
KAU PASTI BISA!!!

Selasa, 14 Juni 2011

Burnout

Burnout. Mungkin itu yang sedang terjadi padaku saat ini. I don't wanna do anything. Malasnyaaa... Terlalu jenuh? Mungkin... Agak menyebalkan memang beberapa pekerjaanku akhir-akhir ini. Dan sepertinya sudah jadi kebiasaan bahwa instruksi pengecekan diberitahukan di akhir ketika sudah "dianggap" selesai.

Wahai para subject matter yang merencanakan sebuah survei, buatlah perencanaan dengan matang. Tentukan apa saja yang harus diperiksa selama masih di lapangan, agar tidak perlu terlalu banyak revisit. Tentukan pula apa saja yang harus diperiksa selama entry sebelum data dikirim, agar tidak perlu mengecek berkali-kali setelah data dikirim.

Wahai para pembuat aplikasi, tolong lakukanlah analisis sistem berjalan dan analisis kebutuhan user dengan benar. Periksalah apakah aplikasi sebelumnya sudah cukup baik atau belum. Tak selamanya kita harus mengubah sistem 100 %. Bisa saja ada modul yang sudah cukup baik di aplikasi yang lama. Tak ada salahnya diadaptasi. Meskipun membuat sistem baru dengan bahasa pemrograman berbeda, algoritmanya tetap bisa di"contek" kan?

Dan sekali lagi, para subject matter, berilah informasi yang selengkap-lengkapnya pada para pengembang aplikasi. Apa saja yang dibutuhkan. Apa saja kekurangan sistem yang lama. Apa saja validasi yang diperlukan.

Ah, percuma saja mengomel di sini. Takkan ada yang membaca. Hehehe, justru itulah bagusnya menulis di blog yang tak diketahui siapapun kecuali Allah, aku, dan Google. Aku bebas berekspresi. Tak takut dibaca. Tak berharap juga untuk dibaca.

Semoga burnout ini tidak bertahan lama. Aku kan harus mengerjakan yang lain. Sudah ada beberapa pekerjaan yang sudah menanti. SEMANGAAAAAAAAAAAAT!