Pagi tadi aku naik gojek karena ingin cepat sampai ke kantor. Malas rasanya menunggu busway. Biasanya lebih cepat sampai kalau naik gojek. Namun, jalanan Jakarta sungguh tidak bisa ditebak. Biasanya macet hanya di sekitar perempatan Matraman tetapi hari ini macetnya sampai sebelum aku sampai halte Tegalan. Perjalanan ke kantor pun ditempuh hampir 45 menit. Naik gojek dengan tujuan menghindari terlalu lama di perjalanan, malah akhirnya justru terlalu lama di jalan, sama seperti kalau naik busway.
Kejadian itu mirip dengan apa yang dikatakan Master Oogway: One often meets his destiny on the road he takes to avoid it. Juga mirip dengan Appointment in Samarra. Seorang pedagang kabur ke Samarra untuk menghindari malaikat maut, ternyata justru takdirnya mati di Samarra. Usahanya menghindari takdir justru mengantarkannya pada takdir. Sudah takdirku harus berlama-lama di jalan. Usahaku untuk menghindarinya justru membuatku menghadapi takdir tersebut.
Itu bukan hal pertama yang membuatku teringat tentang cerita menghindari takdir. Beberapa pekerjaanku di sini pun seperti itu. Dulu, aku berharap setelah bekerja di Jawa aku tidak perlu melakukan pekerjaan yang membuatku harus berurusan dengan manusia. Hal yang paling tidak kuinginkan adalah mencacah, mewawancarai responden. Itu sebabnya aku dulu malas mengerjakan SKD dan memasrahkan tugas itu pada orang lain. Sekarang, aku justru ditugaskan menjadi petugas SKD yang harus bertemu responden. Dulu juga aku benar-benar anti menemui pengunjung yang meminta data. Rasanya tidak karuan kalau harus bertemu orang. Lalu di sini? Menghadapi permintaan data jadi pekerjaanku setiap hari. Untungnya tidak selalu bertatap muka. Aku cukup menjawab lewat sistem. Yang kerap membuatku panik adalah saat piket menerima telepon dan harus menjawab pertanyaan yang sulit atau menghadapi konsumen yang ngeyelnya naudzubillah. Aku pindah karena ingin menghindari pekerjaan yang berurusan dengan manusia yang membuatku stress, tapi setelah pindah aku justru mendapat pekerjaan yang kuhindari. Life is funny.
Walah, di Jakarta sekarang
BalasHapusUdah berapa lama?
baru dua bulan.
Hapus