Jumat, 30 Maret 2018

Jakarta yang Selalu Terburu-buru

Sejak dulu aku selalu menganggap kalau bekerja di Jakarta itu melelahkan. Dan setelah menjalaninya, jauh lebih melelahkan dari yang kubayangkan. Bukan pekerjaanku yang melelahkan melainkan perjalanan pergi dan pulang. Lelah melihat jalanan yang semrawut. Meskipun aku termasuk orang yang tahan melihat kondisi kamar kos dan meja kantor yang acak sempurna, aku tidak tahan melihat kondisi jalanan yang super acak. Pengendara sepeda motor yang sebentar mengambil jalur kanan, tidak lama kemudian menyelip di antara dua mobil, lalu mengambil jalur kiri ... aku tidak tahan melihatnya. Apalagi kalau yang melakukannya adalah tukang ojek yang memboncengkanku. Coba ya ... sewaktu macet kendaraan berbaris rapi, motor di kiri, mobil di kanan, tidak ada yang saling menyalip. Mimpi! Bisa-bisa aku dihujat para pengendara motor kalau menyampaikan keinginanku itu. Mereka memilih sepeda motor karena kendaraannya kecil dan bisa dibawa menyelip di antara kendaraan besar sehingga lebih cepat sampai, bukan untuk antre di jalanan.

 
Ingin cepat sampai. Sepertinya semua orang di Jakarta seperti itu. Terburu-buru. Kenapa orang memilih sepeda motor dibandingkan naik mobil atau kendaraan umum? Agar lebih cepat sampai. Mereka buru-buru. Kenapa pengendara motor banyak yang masuk jalur busway atau naik trotoar? Jawabannya sama. Mereka buru-buru. Kenapa pengendara mobil dan motor sibuk membunyikan klakson agar kendaraan di depan mereka segera maju padahal ada orang-orang yang menyeberang jalan? Mereka buru-buru. Mereka (seakan) tidak punya waktu untuk menunggu. Penumpang busway pun tak jauh beda. Bus tak kunjung berangkat, langsung ada ibu-ibu yang mengomel, "Apaan sih nggak berangkat-berangkat!" Ibu-ibu tetangga di depan kos pun sama. Nyaris setiap pagi memburu-buru anaknya untuk bangun dan bersiap-siap untuk sekolah. Semua orang terburu-buru. Semua orang dikejar-kejar hantu yang mereka ciptakan sendiri: waktu.

Jadi ingat kalimat di novel The Time Keeper

Hanya manusia yang mengukur waktu.


Itu sebabnya hanya manusia yang mengalami ketakutan hebat yang tidak dirasakan makhluk-makhluk lainnya.


Takut kehabisan waktu.

Mungkin mereka yang terburu-buru itu bukan cuma takut kehabisan waktu. Mereka takut konsekuensi lain: dimarahi atasan karena terlambat, gaji dipotong, dimarahi dosen, dan dan sebagainya. Untuk dua alasan pertama, aku sudah kurang memedulikannya. Mungkin karena aku sudah pernah mengalami kecelakaan demi mengejar absen, jadi aku lebih santai kalau jalanan mendadak tidak selancar biasanya. Yang penting selamat. Namun, aku bisa sedikit memahami alasan mereka. Yang tidak bisa kupahami adalah: Kok bisa mereka tahan setiap hari dikejar-kejar waktu seperti itu? Aku yang hanya melihat saja rasanya lelah. How can you survive this lifestyle?

4 komentar:

  1. Amazing sih orang yang tinggal di Jakarta. Tapi kangen macet juga setelah lama tinggal di desa gini, pulang bentar pusing sih liat macetnya. Kemaren sempet maen, jarak 1,5 km naik mobil 30 menit dong T___T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo 1,5 km mending jalan Un, lebih cepet.
      Aku kok pas di daerah nggak kangen blas sama macetnya Jakarta yak.

      Hapus
  2. Beruntungnya, aku kerja di tempat yang fleksibel
    Jadi nggak keburu-buru

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!