Minggu, 11 Februari 2018

Menggelandang di Banda Aceh (Edisi Farewell)

Jumat, 2 Februari yang lalu aku kembali menggelandang di Banda Aceh. Sendirian? Iya, dong! Memangnya mau minta ditemani siapa? Kawanku semuanya ngantor. Aku sudah berencana jalan-jalan di Banda Aceh sejak bulan Desember. Mumpung masih di Aceh. Sayangnya rencanaku gagal terus dan baru bisa terlaksana di bulan Februari, sehari sebelum aku kabur ke Pulau Jawa.


Tujuan pertama adalah PLTD Apung. Bertahun-tahun di Aceh, aku belum pernah ke tempat ini. Saat aku ke sana pun, aku masih tak mendapat kesempatan masuk ke sana. Rupanya tempat itu baru buka pukul dua, setelah sholat Jumat. Adoh-adoh diparani malah tutup. Cuma bisa memotret dari luar pagar. Mau pulang pun bingung karena tempatnya jauh dari jalan raya dan aku tidak ingat jalan yang kulewati saat datang. Akhirnya aku bertanya pada bapak-bapak di warung jalan menuju ke jalan raya. Setelah mengikuti petunjuk si bapak, aku berjalan sampai bertemu pertigaan. Sampai di situ aku bingung. Belok kiri atau belok kanan? Google Maps pun tidak bersahabat. Meskipun aku berjalan ke arah yang berbeda bolak-balik, jarumnya menunjuk ke arah yang sama. Aku jadi ragu mau mengikuti petunjuknya. Terpaksa bertanya lagi. Dan ternyata arahnya berbeda dengan arah yang ditunjukkan Google Maps.


Sampai di jalan raya, seorang tukang becak memanggilku ketika aku hampir memesan Grab. Ya sudah. Naik becak saja. Aku minta diantar ke Museum Aceh. "Museum Aceh apa Museum Tsunami?" Sepertinya kata museum terlalu identik dengan Museum Tsunami. Aku menegaskan kalau aku mau ke Museum Aceh, bukan Museum Tsunami. Si bapak bertanya lagi, "Rumoh Aceh?" Aku langsung mengiyakan. Si bapak sepertinya masih ragu. Saat lewat Museum Tsunami dia menanyakan lagi apakah itu tempat yang ingin kukunjungi. Dih, Bapak. Udah dibilang bukan ke situ.

Kami pun sampai di Rumoh Aceh. Si bapak menawarkan untuk menunggu lalu mengantarkanku ke tempat lain. Daripada nantinya repot mencari becak atau memesan grab berkali-kali, aku pun setuju.

Kiri: Rumoh Aceh (Rumah Aceh); Kanan: embuh

Awalnya aku asyik melihat-lihat barang di lantai bawah. Kemudian bapak becak menyampaikan yang dikatakan ibu penjaga museum. Katanya, museum akan tutup pukul setengah dua belas, jadi aku harus cepat-cepat membeli tiket dan naik ke lantai atas sebelum museum tutup. Waktu itu sudah sekitar pukul 10.40 jadi aku bergegas membeli tiket, lalu menyerahkannya ke ibu penjaga dan naik ke lantai atas. Ternyata banyak anak-anak dari sekolah katolik (entah SD atau SMP) yang sepertinya sedang study tour. Ada ibu petugas yang menjelaskan masing-masing ruangan di rumah itu dan benda-benda di dalamnya. Si ibu itulah yang kemudian menanyakan padaku apakah aku sudah ke gedung yang lain. Eh? Ada gedung lain? Aku jadi kurang khusyuk melihat-lihat bagian rumah karena buru-buru ingin ke gedung lainnya sebelum ditutup.

Ruangan dan benda-benda di Rumoh Aceh

Ruangan-ruangan di Rumoh  Aceh
Aku bergegas ke gedung satunya. Ternyata seperti museum. Mungkin ini dia yang dimaksud Museum Aceh. Aku melihat buku tamu dan iseng mengisinya. Ibu penjaga museum menyapaku, "Daripada Malaysia juga?" Si ibu mengira aku anggota rombongan wisatawan dari Malaysia. Aku pun menjawab kalau aku bukan dari Malaysia melainkan dari Blangpidie. Si ibu pun kemudian memberi penjelasan singkat mengenai koleksi di masing-masing lantai. Kemudian, aku pun mulai ngucluk. Aku melihat-lihat berbagai koleksi di sana. Lumayan lengkap untuk mengenal sejarah dan budaya Aceh. Sesekali aku menguping penjelasan yang diberikan oleh seseorang-yang-sepertinya-tour-guide kepada para wisatawan Malaysia.

Salah satu yang kudengar kalau tidak salah tentang putri kerajaan di Malaysia yang menikah dengan raja di Aceh. Aku berpikir, mungkin itu salah satu alasan banyaknya wisatawan dari Malaysia yang datang ke Aceh. Banyak sejarah negara mereka yang berkaitan dengan sejarah Aceh. Mungkin.

Kiri bawah dan kawan bawah: tokoh-tokoh wanita Aceh
Kalau ada yang menanyakan tentang emansipasi wanita di Aceh mungkin bisa diajak ke museum ini dan melihat sejarah para perempuan Aceh yang ikut berjuang melawan penjajah. Selain angkat senjata, ada juga wanita Aceh yang menjadi laksamana. Keren, kan?

Kanan atas dan kiri atas: Foto sebagian pakaian adat Aceh

Kanan bawah: Prasasti makam raja-raja dinasti Bugis

Setelah keluar dari gedung, aku melihat beberapa makam dan sebuah prasasti di halaman. Ternyata itu Kompleks Makam Raja-raja Dinasti Bugis. Kok bisa ada Dinasti Bugis? Google sendiri sanah! Yang jelas, beberapa raja di Aceh merupakan keturunan bangsawan Bugis.

Aku melanjutkan perjalanan ke Lampulo untuk melihat kapal yang terdampar di atas rumah saat tsunami. Tadinya kupikir yang dimaksud dengan PLTD Apung adalah kapal ini. Ternyata berbeda.

Kalau tidak salah ingat, waktu baru datang ke Aceh pertama kalinya, bosku mengajakku ke tempat ini. Namun, waktu itu aku terlalu pusing karena mabuk udara jadi aku tidak tertarik melihat-lihat maupun berfoto di tempat itu. Baru beberapa tahun kemudian aku tergoda mengunjungi tempat itu. Pengunjung tidak bisa naik ke kapal. Namun, ada semacam jalan menanjak yang dibangun untuk bisa melihat kapal dari dekat. Di dalam rumah juga ada satu ruangan yang berisi foto-foto kapal itu yang sepertinya diambil tak lama setelah tsunami.



 Setelah puas memotret aku pun pulang. Selesai sudah agenda jalan-jalan edisi farewell. Aku sudah berjalan-jalan ke banyak tempat di Aceh. Danau Lut Tawar di Aceh Tengah sudah kukunjungi. Pulau Nasi dan Pulau Breuh juga sudah kudatangi. Pulau Banyak? Syuudaaah! Air terjun tujuh tingkat di Aceh Selatan pun sudah kudatangi saat perjalanan pulang dari Pulau Banyak. Sayang sekali aku belum sempat ke Sabang dan Simeuleue. Nanti lah kalau mau bulan madu. Insya Alloh tahun ini. Tinggal menunggu dilamar Babang Ohchan. Hehehe!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!