Dahulu kala, tidak ada sungai di muka bumi. Naga Gioklah
yang bertugas menjaga awan, menentukan di mana akan hujan dan kapan reda.
Hingga suatu hari ia mendengar beberapa penduduk suatu desa berkata, “Aku sudah
muak pada hujan. Aku senang karena awan telah pergi dan matahari akhirnya
bersinar.” Kalimat itu membuat Naga Giok marah. Ia pun berhenti menurunkan
hujan. Kekeringan di mana-mana. Keempat anaknya – Mutiara, Kuning, Panjang, dan
Hitam – merasa kasihan pada penduduk bumi. Mereka memutuskan turun ke bumi dan
mengubah diri menjadi empat larik sungai. Ketika menyadari perbuatan anaknya
Naga Giok menyesali kesombongannya. Karena kesedihannya, ia jatuh dari langit
dan menjadi Sungai Giok. Hatinya menjadi Gunung Nirbuah. Tidak ada yang bisa
tumbuh dan hidup di gunung itu, kecuali bila Naga Giok sudah bersatu kembali
setidaknya dengan salah satu anaknya. Itu adalah kisah yang sering didengarkan Minli dari Ba, ayahnya. Dan saat Minli bertanya
bagaimana Gunung Nirbuah bisa menghijau, Ba menjawab, “Itu pertanyaan yang
harus kauajukan pada Kakek Rembulan.” Setiap dia mengajukan pertanyaan penting,
jawabannya selalu seperti itu.
Di kaki gunung yang gersang itulah keluarga mereka tinggal.
Keluarga mereka – dan juga penduduk lain desa itu – sangat miskin. Mereka harus
bekerja keras di sawah dan berkubang lumpur. Harta yang dimiliki keluarga mereka
hanya dua keping uang tembaga milik Minli. Hingga suatu hari seorang penjual
ikan mas datang ke desa mereka. Dia mengatakan bahwa ikan mas akan menghadirkan
peruntungan. Minli pun tanpa pikir panjang membeli seekor ikan mas dan
memberikan sekeping uang tembaganya. Ma, ibunya, sangat marah ketika tahu Minli
sudah menghabiskan setengah harta mereka untuk membeli ikan mas. Ditambah lagi,
sekarang mereka harus memberi makan ikan itu juga. Ketika melihat Ba memberikan
nasinya untuk ikan mas dengan tangan yang gemetar karena kelelahan, Minli
menyadari bahwa dia tidak bisa memelihara ikan mas itu. Aku tak bisa
membiarkan Ba memberikan nasinya untuk ikan mas itu. Ma dan Ba sudah membanting
tulang untuk setiap butir beras yang ada di sini, dan Ba tidak perlu memberi makan
ikan mas. Begitu pikir Minli.
Ia pun membawa mangkuk berisi ikan masnya ke Sungai Giok dan
menumpahkan isinya. Saat Minli bergumam tentang keinginannya menemui Kakek
Rembulan tapi tak ada yang tahu cara menuju tempatnya di Gunung Tak Berujung,
ikan mas berkata bahwa ia tahu cara ke sana. Ia pun memberitahu Minli caranya.
Minli segera menyusun rencana. Ia membawa semua yang diperintahkan ikan mas. Ia
bertekad untuk menemui Kakek Rembulan untuk menanyakan bagaimana mengubah
peruntungan keluarganya. Ia mengingat-ingat apa yang dikatakan ikan mas dan
melaksanakannya. Dalam perjalanannya, ia bertemu dengan naga yang tidak bisa
terbang yang ternyata berasal dari sebuah lukisan. Berhasilkah Minli menemui
Kakek Rembulan? Berhasilkah dia mengubah peruntungan keluarganya?
Kisah di atas adalah sekilas isi novel Where the Mountain
Meets the Moon karya Grace Lin. Novel terbitan Penerbit Atria ini sangat
menarik. Mulai dari sampulnya yang eye-catching (ini salah satu alasan aku
membelinya), sampai ceritanya yang mudah diikuti dan tidak membosankan. Selain
cara bertutur penulisnya yang mudah dipahami, sepertinya penerjemahan yang baik
juga turut andil dalam membuat novel ini tidak memusingkan pembacanya.
Ceritanya juga rapi. Beberapa cerita dalam novel ini ternyata saling
berhubungan dan penulis berhasil menghubungkannya dengan rapi. Sebagai orang
yang suka mencari cela dalam suatu novel, harus kukatakan aku belum bisa
menemukan plothole dalam novel ini. Mungkin aku harus membaca beberapa kali,
hehe.
Ada satu adegan yang mengharukan dalam novel ini yaitu
ketika Minli bertemu penduduk suatu desa dalam perjalanannya mencari Kakek
Rembulan. Di tempat itu cuaca sangat dingin sedangkan Minli tidak memiliki baju
hangat. Mereka pun memberi Minli sebuah baju hangat yang berwarna-warni. Baju
hangat itu terbuat dari sambungan beberapa potongan kain. Dan saat Minli
melihat baju salah satu temannya, ia melihat ada lubang di baju itu. Di baju
semua penduduk desa yang lain juga ada lubang. Minli pun menyadari bahwa
memberikan potongan dari baju mereka untuk dibuat baju hangat untuk Minli. So
Sweeeeet!
Oh, ya. Aku menemukan novel ini di obralan Gramedia bersama
novel Emily Climbs dan The Story Girl. Nilai moralnya: jangan meremehkan buku
obralan, bisa jadi banyak buku keren di situ!
Ini penulis dan settingnya dari Tiongkok, Mil?
BalasHapuspenulis-nya keturunan Cina, tapi kayanya tinggal di Amrik. eh, apa Eropa ya? Pokoknya bukan di Cina. dan ceritanya emang dipengaruhi cerita rakyat Cina, jadi setting-nya mirip setting di cerita rakyat Cina (meskipun setting cerita ini sendiri bisa dibilang negeri khayalan)
Hapusitu yang cerita baju hangat dari baju penduduk desa emang mengharukan banget
BalasHapushuum. mengharukan banget. mau mengorbankan bajunya jadi bolong demi bikinin baju buat orang asing.
Hapusngambaaaang.. haruse diceritain habisnya piye.. berhasil ora merubah peruntungan keluarganya.. biar saya gak kepikiran hahaha
BalasHapusoh ya nih requestnya.. udah lama tuh.. Cara membuat komentar terkini
kalo saya ceritain sampe selesai ntar jadinya spoiler :D
Hapusmakasih link tutorial nya :)
Plothole itu apa, Kak?
BalasHapusPinjem donk bukunya -_- kayaknya menarik
Padahal bukuku masih banyak yang belum dibaca :D
Saya copy-in definisi plothole dari wikipedia ya..
Hapus"A plot hole, or plothole is a gap or inconsistency in a storyline that creates a paradox in the story that cannot be reconciled with any explanation. These include such things as illogical or impossible events, and statements or events that contradict earlier events in the storyline."
Kira-kira sih artinya cerita yang gak konsisten antara satu bagian dengan bagian lain.
Mau pinjem? Sini sini ke Jakarta :)
novel china?
BalasHapusgue penasaran sama novel-novel dari cina sama korea. moga dapet kesempatan ngebelinya. apalaagi gue rada bosen baca novel-novel dari amerika. hahaha...
Nope. Ini bukan novel terbitan China. Ini terbitan Little, Brown and Company, New York. Tapi, penulisnya emang keturunan China.
Hapus