Namanya Dean Pramudya. Mahasiswa cerdas, selalu berprestasi sejak
kecil. Meskipun berasal dari keluarga kaya, Dean tidak merasakan kebahagiaan.
Itu karena orang tuanya terlalu sibuk sehingga tidak memberinya perhatian. Dia
juga merasa semua prestasi yang diraihnya hanya untuk memenuhi keinginan orang
tuanya, bukan keinginannya sendiri. Dean pun kemudian memutuskan melepaskan
predikat “anak baik”nya dan memilih menjadi seorang cracker. Dia menjadi
pemimpin Cream Crackers, sekumpulan cracker yang kerap membajak rekening,
memalsukan kartu kredit, dan sebagainya.
Sewaktu Dean di Batam, dia bertemu dengan seorang gadis yang
membuatnya jatuh cinta. Dia adalah korban human trafficking yang dipaksa menjadi
wanita penghibur. Dean sering mengunjunginya. Namun, setelah Dean kembali ke
Jakarta, mereka tak bertemu lagi. Hingga kemudian, gadis itu berhasil kabur
dari lokalisasi. Berbagai peristiwa dalam pelariannya “membawa” gadis itu ke
Yayasan Pelita yang dipimpin Luthfi. Gadis itu mengaku hilang ingatan, hingga
namanya sendiri pun tak tahu. Luthfi pun memberinya nama. Sarah.
Ketika Luthfi hendak mempertemukan Sarah dengan seseorang yang mungkin
mengetahui identitasnya, Sarah memutuskan kabur dari asrama yayasan. Dia pun menghubungi
Dean melalui pesan Facebook. Gadis itu dalam bahaya, begitu pikir Dean setelah
membaca pesannya. Dia pun langsung memesan tiket pesawat ke Batam. Dean tidak
sadar. Bukan hanya gadis itu yang dalam bahaya. Di Batam, ada bahaya lain yang
menunggu Dean. Bahaya apakah itu? Bagaimana pula dengan kelanjutan “karir” Cream
Crackers?
Silakan baca novel Persona Non Grata (Yang Terbuang) karya Riawani
Elyta untuk mengetahui jawabannya.
Ini novel lama, terbitan tahun 2011. Tapi, baru kubeli bulan lalu. Dan
ternyata 2013 lalu sudah dicetak ulang, diganti nama tokohnya, dan diganti
judulnya menjadi Jasmine, Cinta yang Menyembuhkan Luka. Tapi, penerbitnya masih
sama: Indiva Media Kreasi. Dan aku baru tahu kemarin kalau sudah ada edisi
revisinya, hehehe.
Sebenarnya ide cerita novel setebal 256 halaman ini menarik. Dua ide
utamanya adalah cracker (bukan hacker, ya!) dan human trafficking. Tema human
trafficking mungkin sudah sering diangkat. Sedangkan tema tentang cracker
setahuku masih jarang. Ini adalah novel bertema cracker yang pertama kubaca. Menarik.
Yah, meskipun ketika membaca bagian yang membahas kegiatan para cracker, misalnya
dalam dialog antara Dean dan Ioran, aku cuma bengong dan bertanya-tanya, “Ini
ngomongin apaan, sih?” Do the two things
in a second, itu maksudnya apa? Melakukan dua akses dengan menggunakan
identitas yang sama dalam satu waktu sehingga membuat sistem “bingung”? Atau
apa?
Oh, ya. Ada satu lagi yang membuatku penasaran. Istilah flooding
program. Saking penasaran dengan istilah itu, aku sampai googling. Sebenarnya
sudah ada pengertian flooding program di akhir bab. Di situ disebutkan bahwa
flooding program adalah program komputer yang diduplikasikan untuk mendapatkan
informasi lebih banyak. Mendapatkan informasi lebih banyak? Kalimat ini
membuatku berpikir kalau program ini digunakan untuk “mencuri” banyak informasi
dari situs yang diretas. Dan di halaman 67, entah kenapa sepertinya kata
flooding diartikan sebagai penduplikasian program, secara harfiah. Jadi,
semacam menggandakan program itu dalam CD yang kemudian diperjualbelikan. Mirip
penggandaan software bajakan. Yang kupahami dari novel begitu. Tapi, di web
Symantec disebutkan bahwa flooding program adalah program yang mengandung code
yang apabila dieksekusi akan “membombardir” (atau “membanjiri”) sistem dengan
banyak request dengan tujuan membuat sistem yang diserang melambat atau bahkan
lumpuh. Dan yang kutangkap dari penjelasan itu yang digandakan adalah
request-nya. Ini adalah salah satu metode dalam serangan Denial of Service
(DoS). Jadi, tujuannya bukan untuk mendapatkan lebih banyak informasi melainkan
untuk memperlambat atau melumpuhkan sistem dengan mengirim banyak request. Yah,
bayangkan saja ada seribu pembeli mendatangi satu warung dalam waktu hampir
bersamaan. Kalau pelayan di warung itu cuma dua orang, jelas teler. Hehehe,
analoginya aneh, ya! Eits, kenapa jadi seperti kuliah begini? Jadi ingat Pak
Hasyim Gautama. Lho?
Kembali ke novel. Ada penggunaan kata yang aneh di novel ini. Memang,
pemilihan kata adalah hak penulis. Mau memilih menggunakan kata kontradiktif
atau bertolak belakang, suwung atau kosong, skill atau keterampilan, semua
terserah penulis, selama kata itu digunakan dengan tepat. Tapi, ada satu kata
yang menurutku kurang tepat penggunaannya, misalnya pada kalimat-kalimat
berikut:
Untuk pertama kali setelah beberapa jam, visualnya memunggungi
monitor.
... ucap Dean, masih dengan visual tertuju lurus ke depan.
Sama sekali tak terganggu oleh sepasang visual Awang yang menatapnya
penasaran.
Visualnya yang berangsur jernih, menangkap sosok dua orang pria muda.
Visualnya langsung berbenturan dengan menara tinggi di bagian frontal
bangunan ....
Visual. Pada kalimat-kalimat di atas, sepertinya visual diartikan
sebagai pandangan mata atau penglihatan. Dua kata itu termasuk kata benda. Dan
setelah kulihat di kbbi.web.id, ternyata visual adalah kata sifat yang artinya
dapat dilihat dengan indra penglihat (mata); berdasarkan penglihatan. Kata
sifat untuk menggantikan kata benda? Seriously? Selain visual, ada satu kata
lagi yang membuatku bingung: terjengit. Apa, sih, artinya? Di web KBBI yang ada
kata menjengit.
Oh, ya. Satu lagi. Ada yang lucu di halaman 90 yaitu ucapan Luthfi
kepada cleaning service yayasan yang bernama Pak Dirman dan Pak Adjat. “Terima
kasih, ya Pak, sudah merepotkan Pak Dirman dan Pak Adjat.” Terima kasih sudah
merepotkan?
Ada lagi. Ada lagi! Aku masih penasaran dengan bagian ketika Dean bertemu Sarah pertama kalinya. Saat itu Dean mencari "wanita" favorit di tempat Sarah "bekerja". Apakah Dean memang sering menggunakan jasa para "wanita" itu? Atau dia sedang iseng kemudian mengunjungi tempat kerja Sarah?
Fiuh! Banyak sekali catatanku untuk novel ini. Aku tidak tahu apakah semua kejanggalan yang kusebutkan di atas sudah diperbaiki di edisi revisinya atau belum. Kalau sudah, Alhamdulillah. Kalau belum? Hmm.
Fiuh! Banyak sekali catatanku untuk novel ini. Aku tidak tahu apakah semua kejanggalan yang kusebutkan di atas sudah diperbaiki di edisi revisinya atau belum. Kalau sudah, Alhamdulillah. Kalau belum? Hmm.
Sorry, Riawani Elyta. I don’t mean to be mean. Dan terima kasih karena
novel ini sudah membuatku belajar tentang cracking.
Mil, aku ninggalin jejak ya... Ini karena terbaca kalimat di atas noh. Biasanya gak kebaca, jadi abis baca langsung kabur... :D :D
BalasHapusUntung gak semua blog pake tulisan kaya' di atas. Kalo pake semua, ilang dong predikatku sebagai silent reader.
Kalimat yang mana? Pak Hasyim Gautama? *plak
HapusEh, tulisannya pindah ke bawah.. ::D
HapusEntuh tulisan nyuruh ninggalin jejak...
*kiss jarak jauh buat pak Has*yi**m*
oh, yang "Silakan meninggalkan jejak berupa komentar"...
Hapusjadi inget dulu pernah bikin cerpen, tapi dikritik karena kurang observasi :D
BalasHapusjadinya terlihat aneh skenario2 yang aku buat
makanya aku males nulis fiksi. mending nulis curhat :D :D :D
Hapusjudul keren ya, kayak pinter banget gitu kesannya *apasih
BalasHapusYa gitu deh. Kosa kata di bukunya juga kesannya gitu. Kesannya...
Hapusbaca Sayap-Sayap Sakinahnya mbak Riawani Elyta-mbak Afifah Afra juga donk mbak. :v
BalasHapuskayaknya aku gak tertarik deh..
Hapuswhy mbak? whhhyyyyy?
Hapuscuma bukan seleraku aja sih. apalagi setelah baca gaya nulisnya Riawani Elyta.
Hapus:o
Hapuspas baca buku SSS, aku malah lebih suka sama gaya nulisnya mbak Riawani Elyta dibanding mbak Afra >_<
#eh gak nanya ya :v
sekarang tiap mo komen musti pake masukin angka ternyata XD
Aku sih belum apal gaya nulisnya Afifah Afra. Pernah baca bukunya tapi lupa, kaya apa tulisannya :D
HapusMasa sih kudu masukin angka? Padahal captcha gak kuaktifin loh -_-