Kamis, 30 Januari 2014

Persona Non Grata (Yang Terbuang)


Covernya cakep.

Namanya Dean Pramudya. Mahasiswa cerdas, selalu berprestasi sejak kecil. Meskipun berasal dari keluarga kaya, Dean tidak merasakan kebahagiaan. Itu karena orang tuanya terlalu sibuk sehingga tidak memberinya perhatian. Dia juga merasa semua prestasi yang diraihnya hanya untuk memenuhi keinginan orang tuanya, bukan keinginannya sendiri. Dean pun kemudian memutuskan melepaskan predikat “anak baik”nya dan memilih menjadi seorang cracker. Dia menjadi pemimpin Cream Crackers, sekumpulan cracker yang kerap membajak rekening, memalsukan kartu kredit, dan sebagainya.

Sewaktu Dean di Batam, dia bertemu dengan seorang gadis yang membuatnya jatuh cinta. Dia adalah korban human trafficking yang dipaksa menjadi wanita penghibur. Dean sering mengunjunginya. Namun, setelah Dean kembali ke Jakarta, mereka tak bertemu lagi. Hingga kemudian, gadis itu berhasil kabur dari lokalisasi. Berbagai peristiwa dalam pelariannya “membawa” gadis itu ke Yayasan Pelita yang dipimpin Luthfi. Gadis itu mengaku hilang ingatan, hingga namanya sendiri pun tak tahu. Luthfi pun memberinya nama. Sarah.

Ketika Luthfi hendak mempertemukan Sarah dengan seseorang yang mungkin mengetahui identitasnya, Sarah memutuskan kabur dari asrama yayasan. Dia pun menghubungi Dean melalui pesan Facebook. Gadis itu dalam bahaya, begitu pikir Dean setelah membaca pesannya. Dia pun langsung memesan tiket pesawat ke Batam. Dean tidak sadar. Bukan hanya gadis itu yang dalam bahaya. Di Batam, ada bahaya lain yang menunggu Dean. Bahaya apakah itu? Bagaimana pula dengan kelanjutan “karir” Cream Crackers?

Silakan baca novel Persona Non Grata (Yang Terbuang) karya Riawani Elyta untuk mengetahui jawabannya.

Senin, 27 Januari 2014

Geek in High Heels



Athaya, perempuan berusia 27 tahun, web designer, pencinta sepatu, SINGLE. Yang terakhir itu yang paling penting. Single. Status yang membuat Athaya sering diinterogasi di acara keluarga. Athaya juga (menganggap dirinya) kurang beruntung dalam urusan percintaan karena tiap pacaran selalu putus.

Dan di saat dia merasa tidak beruntung dalam percintaan, dia justru mendapatkan dua “cinta” sekaligus: Ibra dan Kelana. Ibra adalah seorang marketing manager di perusahaan klien Athaya. Introvert, womanizer, dan workaholic, atau menurut pengakuannya: mencintai pekerjaan. Ibra juga sering mengirim kue untuk Athaya alih-alih mengirim bunga. Kelana adalah seorang penulis muda yang novel-novelnya jadi best seller. Kalau sedang sibuk menulis, Kelana akan sangat susah dihubungi. Manda, sahabat Athaya, menyebutnya makhluk setengah demit.

Athaya dihadapkan pada dua pilihan: Ibra dengan keseriusannya untuk berkomitmen atau Kelana dengan sikapnya yang sulit ditebak yang selalu membuat Athaya rindu. Siapa yang akan ia pilih? Kalau mau tahu jawabannya, baca saja novel Geek in High Heels. Hehehe....

Rabu, 15 Januari 2014

Biggest Fans

I am Benedicted. I am Cumberbatched. I am Benaddicted.

Ah, sudah. Cukup. Bukan Mamas Beben yang akan kubicarakan kali ini. Tapi, termasuk salah satu efek kegilaanku pada si Mamas ini.

Seperti biasa, kalau aku ngefans pada artis, aku akan googling. Selain foto, biodata, berita, tentunya di internet bertebaran tulisan dari fans. Begitu pun pada kasus Benedict ini. Aku menemukan banyak akun twitter para penggemarnya dan blog fandom-nya. Isinya? Gila, segila tingkah fandom yang tergila-gila pada aktor yang mereka gilai itu. Oke. Sudah terlalu banyak kata gila.

Senin, 13 Januari 2014

I AM SHERLOCKED

I am Sherlock-ed!
Yeah!

Aku tidak ingat kapan kali pertama aku menonton Sherlock, serial produksi BBC. Kalau tidak salah sekitar tahun 2012. Waktu itu aku langsung maraton menonton 6 episode season 1 dan 2. Semalaman. Kalau di Sherlock Holmes yang movie aku lebih suka pemeran John Watson (Jude Law) dibanding Sherlock Holmes (Robert Downey Jr), di serial ini aku lebih suka pemeran Sherlock. Ingat, ya! Lebih suka. Berarti aku juga suka pemeran John Watson (Martin Freeman). Tapi, aku lebih suka pemeran Sherlock: Benedict Cumberbatch. Dan setelah itu langsung kepo dengan pemainnya. Langsung googling.



Kenapa aku suka serial Sherlock? Alasan utamanya: ya, suka aja. Ini alasan yang tidak bisa dibantah. Alasan lainnya, aku suka ceritanya yang membuatku penasaran dan membuatku bertahan menahan kantuk demi menontonnya. Buktinya aku sampai rela begadang demi menonton 6 episode secara maraton. Gaya Sherlock ketika menggunakan mind palace-nya (di episode Hound of Baskerville) itu keren! Cool! Dan gaya Sherlock ketika menaikkan kerah mantelnya. Aw aw aw! Tadinya aku tidak memperhatikan. Tapi, setelah John protes dengan gaya "sok keren" itu, aku jadi memperhatikan. Dan ternyata MEMANG KEREN.


Selasa, 07 Januari 2014

Bete Karena Oleh-Oleh

Kalau perantau baru kembali dari kampung halaman, apa yang akan ditagih oleh kawan-kawan di rantau? Yup! Oleh-oleh. Entah kenapa sepertinya membawa oleh-oleh seakan kewajiban bagi mereka yang baru pulang kampung. Umm, kalau baru pulang dari bepergian juga ditagih oleh-oleh.

Dan aku punya banyak pengalaman buruk soal oleh-oleh ini. Dulu, aku pernah membawa telur asin dan pilus. Dan sewaktu di bandara petugas memintaku membuktikan bahwa telur asin itu bukan telur asin mentah dengan cara memecahkan salah satu telur yang kubawa. Dua kali diperiksa X ray, dua kali pula diminta memecahkan telur. Ribet. Akhirnya, tahun berikutnya kuputuskan memaketkan oleh-oleh telur asin beberapa hari sebelum aku kembali ke Blangpidie. Dan ternyataaa ... ongkos kirimnya MAHAL. Lebih mahal dari harga sekardus telur asin yang kukirimkan. Dan sampai di Blangpidie, seseorang berkomentar, "Apa itu? Telur asin? Saya kira bawa dodol garut, kan lebih enak makannya.. Kalo telur asin di sini juga banyak." Jleb! Sudah buang-buang uang, oleh-olehnya malah tidak dihargai. Saat itu aku bertekad untuk tidak membawa oleh-oleh lagi. Tapi, sayangnya aku kurang teguh dalam memegang tekadku.