“Itu novel
semua?” tanya seseorang ketika melihat setumpuk buku yang kubeli. Aku
mengangguk. Sebagian besar memang novel, kecuali dua buku: Indonesia Mengajar
dan Selimut Debu. Kemudian dia pun berkomentar bahwa aku tidak membeli buku
yang bisa menambah ilmu.
Apakah kita
tidak bisa mendapat ilmu dari novel atau cerita fiksi lainnya? Hmm, tidak juga.
Memang banyak novel – atau buku fiksi lainnya – yang (menurutku) tidak ‘menyampaikan’
ilmu bagi para pembacanya. Memang ada novel yang (menurutku) hanya mengandung
unsur hiburan. Akan tetapi, tidak sedikit juga novel yang ceritanya mengandung
ilmu atau hikmah, misalnya Toto-chan, trilogi Negeri 5 Menara, Serial Anak-anak
Mamak, atau novel-novel lainnya. Ada banyak pesan moral yang terselip di
dalamnya. Itu ilmu juga, kan? Ada juga novel yang kental sekali pesan
ideologisnya, seperti Kemi dan The Lost Java. Dan satu yang kadang kita lupa,
ketika kita membaca lebih dalam, kita bisa menemukan ‘hikmah’ dari sebuah buku
yang kelihatannya sama sekali tidak mengandung nilai moral. Seperti ketika melihat
apel jatuh. Orang lain mungkin mengabaikan apel jatuh tersebut. Tapi, seorang Isaac
Newton bisa ‘menemukan’ teori gravitasi bumi ‘hanya’ karena melihat apel jatuh.
Pada
dasarnya kita bisa belajar dari mana saja, dari apa saja, dari siapa saja,
selama kita mau belajar. Kita bisa belajar dari film. Kita bisa belajar dari
obrolan ringan di warung kopi. Kita bisa ‘belajar’ dari buku nonfiksi ataupun
buku fiksi. Tergantung selera bacaan kita. Dulu, sewaktu tingkat 1, aku gemar
sekali membaca buku psikologi dan buku motivasi. Dan beberapa tahun kemudian,
bacaan itu sudah tidak mempan lagi untukku. Aku cenderung menganggap buku-buku
motivasi itu ‘cuma teori’. Kemudian aku membaca novel dan ternyata ceritanya
memotivasiku. Ternyata kepekaan seseorang bisa berubah. Yang tadinya mempan
dimotivasi lewat buku nonfiksi, lama-lama jadi tidak mempan dan akhirnya justru
lebih mempan dimotivasi lewat buku fiksi.
Kenapa bagi
beberapa orang buku fiksi lebih mempan memotivasi dibanding buku nonfiksi?
Mungkin salah satu alasannya adalah contoh. Dalam fiksi, pembaca melihat tokoh
utama menghadapi konflik lalu berusaha mengatasinya. Pembaca kemudian
menjadikan tokoh itu sebagai ‘model’ yang dia tiru. Apa yang dia tiru? Bisa
cara si tokoh mengatasi konflik, bisa semangat si tokoh, bisa kesabaran si
tokoh. Misalnya saja kalimat “man jadda wa jada”. Ada beberapa orang yang
mungkin tidak akan termotivasi membaca kalimat tersebut bila ditulis dalam buku
nonfiksi. Namun, ketika kalimat “man jadda wa jada” ini ‘diwujudkan’ dalam
kegigihan dan keteguhan seorang Alif dalam mencari ilmu, orang akan lebih
termotivasi.
Tapi,
lagi-lagi semua kembali kepada selera. Ada yang suka fiksi, ada yang suka
nonfiksi.
aku malah ga punya novel
BalasHapuskalo majalah banyak
*dapet nyolong di pesawat
majalah sing niate nggo pamer tapi malah dadi diece "nyolong nang pesawat" yah :p
Hapussaya suka fiksi,:)
BalasHapussaya juga :)
Hapusaku donk, juga mengalami perubahan selera baca yg cukup signifikan. Biasanya kalo ke toko buku atau bazar buku, aku belinya novel2 misteri. Nah sekarang, kalo pergi ke toko buku atau bazar2 buku, belinya buku2 teori. Karena novel terlalu mainstream. #jiaaahhh
BalasHapus~alasan, bilang aja kalo sekarang emang lagi butuh buku2 teori woy! T_T
Coba baca2 bukunya bang Darwis Tere Liye kak, katanya bagus2 lho.
jiah, songong euy bilang novel terlalu mainstream :p
Hapusbelinya buku teori biar cepet lulus yak?
aku mah udah baca sebagian besar bukunya Tere Liye..
hehehehe, kak Milo tahu saja kalo aku lagi songong. :3
HapusIya begitulah, biar cepet lulus... :3
wah, udah baca bukunya bang Tere ya... Kalo bukunya master Hoeda Manis? Udah baca juga? Keknya buku2nya bagus, coz isi blognya lumayan bagus. :3
Bukunya Hoeda itu yang mana ya?
Hapusgoogling aja kak. Belum tahu jumlahnya berapa. Tapi kalo isi blognya sih menurutku lumayan bagus. Khususnya tulisan2 yg pake label pembelajaran.
Hapus:3
aku juga suka fiksi, jd biasanya klo baca buku dalam satu waktu aku selalu baca dua sekaligus, yang non-fiksi dan fiksi. ganti2 gitu
BalasHapusbisa ya dalam satu waktu baca dua buku sekaligus? mata kanan liat buku fiksi, mata kiri liat buku nonfiksi gitu???
Hapushuahahahahha, apasih kak Milo nih, ngelawak ya?
HapusXD
Iya, nih. Nyoba ngelawak. Gagal ya?
Hapuskalo gagal masak aku ketawa sihhh.
HapusXD
Jadi terharu ada yang ketawa karna lawakanku T_____T
Hapusfiksi juga bisa menambah wawasan apalagi kalau novel fiksi ilmiah juga kadang pake istilah yg sebenarnya.
BalasHapusBukan cuman itu, novel bisa bikin kita lebih memahami dan mengasah sensitivitas
mengasah sensitivitas ya? hmmm...
HapusAku suka apa ya??? tauk ah :D
BalasHapusBlogger baru nih. Butuh teman buat ngeblog :)
Eh? Temen buat ngeblog?
Hapusaku sukanya baca novel fiksi :)
BalasHapusSama :)
Hapusnapa hrs fiksi ya..? pdhl msh bnyk kisah2 indah dan penuh heroik dr sahabat2 Nabi dan dua jaman setelahnya termasuk para Ulama.., saking cintanya sama fiksi lalu lupa sama kisah2 para sahabat dan org2 sholeh.. *smile
BalasHapusnyindir?
Hapus