"Mengumpulkan uang?! Pamanku mencari uang seumur hidupnya. Dan apa yang dia dapat sekarang? Hanya segudang uang yang dingin dan tidak peduli padamu."
"Iya, pamanku juga tidak punya teman! Dia juga tidak peduli dengan saudara-saudaranya. Apa gunanya kaya-raya kalau tidak menikmati hidup?!"
Percakapan di atas adalah percakapan antara Donal Bebek dan Hilman Mukamalas yang mengomentari paman-paman mereka: Gober Bebek dan Gover Bebek, dalam Album Donal Bebek edisi Ulang Tahun Gover. Percakapan mereka membuatku teringat pada satu prinsip yang kadang terlupakan: standar kebahagiaan setiap orang berbeda-beda. Ada yang kebahagiaannya diukur dari banyaknya uang yang didapatkan, misalnya seperti Gober Bebek. Dia begitu gembira melihat tumpukan uangnya dan berenang di dalamnya. Lantas, apakah orang lain juga harus mengukur kebahagiaannya dengan jumlah uang (harta) yang dimiliki? Tentu tidak. Ada, kok, yang tetap bergembira meskipun tidak memiliki banyak uang. Contohnya Donal Bebek. Kalau Donal, sih, bahagianya kalau bisa membuat tetangganya -- sekaligus musuh bebuyutannya -- kesal, hehehe!
Aku juga jadi teringat perkataan seorang kawanku ketika melihat rumah-rumah kecil di pinggir sungai dengan bilik-bilik tempat orang buang air besar di atas sungai. Katanya, "Menurut kamu mereka bahagia nggak?" Melihatku diam tak berkomentar dia melanjutkan, "Mungkin menurut kita hidup mereka nggak bahagia. Harta mereka nggak seberapa, rumah mereka kecil, BAB-nya di sungai. Tapi, bisa jadi mereka lebih bahagia dari orang yang jauh lebih kaya dibandingkan mereka."
Kalau dipikir-pikir benar juga, sih. Mereka yang menurutku hidup kekurangan belum tentu tidak bahagia. Bisa jadi tidur mereka lebih nyenyak dibandingkan para konglomerat karena tidak perlu ketakutan memikirkan kalau-kalau besok akan ketahuan korupsi. Bisa jadi meskipun mereka cuma makan dengan lauk tahu tempe mereka bisa makan dengan lahap dan nikmat dibandingkan orang yang makan pizza atau spaghetti karena mereka lebih mensyukuri apa yang mereka makan.
Aku tidak bisa menilai kebahagiaan seseorang menurut "standar"-ku sendiri, karena "standar" masing-masing orang berbeda. Ada yang berbahagia setelah memiliki harta yang banyak, pekerjaan yang mapan. Ada yang merasa bahagia bila bisa jalan-jalan ke hutan atau naik gunung. Ada yang berbahagia "hanya" karena bisa makan nasi lengko. Ada juga yang bisa merasa bahagia bila sudah ngeblog. Yah, kebahagiaan masing-masing orang itu berbeda.
Aku juga jadi teringat perkataan seorang kawanku ketika melihat rumah-rumah kecil di pinggir sungai dengan bilik-bilik tempat orang buang air besar di atas sungai. Katanya, "Menurut kamu mereka bahagia nggak?" Melihatku diam tak berkomentar dia melanjutkan, "Mungkin menurut kita hidup mereka nggak bahagia. Harta mereka nggak seberapa, rumah mereka kecil, BAB-nya di sungai. Tapi, bisa jadi mereka lebih bahagia dari orang yang jauh lebih kaya dibandingkan mereka."
Kalau dipikir-pikir benar juga, sih. Mereka yang menurutku hidup kekurangan belum tentu tidak bahagia. Bisa jadi tidur mereka lebih nyenyak dibandingkan para konglomerat karena tidak perlu ketakutan memikirkan kalau-kalau besok akan ketahuan korupsi. Bisa jadi meskipun mereka cuma makan dengan lauk tahu tempe mereka bisa makan dengan lahap dan nikmat dibandingkan orang yang makan pizza atau spaghetti karena mereka lebih mensyukuri apa yang mereka makan.
Aku tidak bisa menilai kebahagiaan seseorang menurut "standar"-ku sendiri, karena "standar" masing-masing orang berbeda. Ada yang berbahagia setelah memiliki harta yang banyak, pekerjaan yang mapan. Ada yang merasa bahagia bila bisa jalan-jalan ke hutan atau naik gunung. Ada yang berbahagia "hanya" karena bisa makan nasi lengko. Ada juga yang bisa merasa bahagia bila sudah ngeblog. Yah, kebahagiaan masing-masing orang itu berbeda.
Bahagia rasanya masih bisa BW kesini disela-sela menunggu waktu anak pulang sekolah :)
BalasHapusIya, enak yang sempet BW. Saya beberapa minggu ini nggak sempet BW :'(
HapusAku baru sekali makan nasi lengko, dan enaaak >_<
BalasHapusPengen >_<
Komen ra nyambung rapopo, yo...
Wooooh, pancen enak kuwi nasi lengko.
HapusBikin sendiri juga bisa kok, Un.
kalo bicara tentang bahagia dalam arti kata yang sesungguhnya, aku rasa malah lebih bahagia waktu hidup pas pasan. merasa tidak punya duit, jadi ga berani berkhayal terlalu tinggi. mau utang juga takut.
BalasHapusketika taraf ekonomi meningkat, kepala mumet lebih sering terasa. makan lauk komplit pun kadang masih pake ngomel kurang enak...
kenyataan kok
Hapuswaktu masih hidup pas pasan, terasa indahnya setiap waktu ngumpul dengan keluarga. begitu taraf hidup naik dan kepengen makin naik, kerja pun harus jauh dan ketemu anak istri 3 bulan sekali
sakit mbok, yu..?
Iya, nyesek. Apalagi kalo pulangnya setahun sekali... *malah nyambunge ke jadwal pulang*
Hapussebenarnya bahagia itu sederhana ya mbk,tapiiii tergantung masing2 individu juga... :D
BalasHapusho'oh, tergantung masing-masing individu.
Hapussaya bahagia kalo sudah ngeblog ^^
BalasHapussehari tanpa bersentuhan dengan blog itu rasanya hampa gitu lho.
hihihi, sama. saya juga bahagia kalo ngeblog. etapi kalo lagi nggak ngeblog juga bisa bahagia, sih.
Hapusaku malah belum pernah makan nasi lengko , spt apa ya rasanya ? *kepo*
BalasHapusbahagia jg bisa diciptakan sendiri khan ?
yup, bahagia bisa diciptakan sendiri.
Hapusnasi lengko itu enak lhooooo! biarpun sederhana (cuma pake tahu goreng, tempe goreng, tauge, timun, sama sambel kacang plus kecap) tapi rasanya maknyus!