"Ka meuthon-thon tinggay di Aceh, mantong hana caroeng basa Aceh (Sudah bertahun-tahun tinggal di Aceh, masih belum pandai Bahasa Aceh)," komentar seseorang terhadap aku yang belum terlalu mengerti Bahasa Aceh. Yang lain pun berkomentar senada, "Udah tinggal tiga tahun lebih di sini mestinya udah pandai basa Aceh." Atau komentar begini, "Itu si A baru setahun di sini udah pandai ngomong basa Aceh." Aku cuma tersenyum. Kecut.
Apa aku sama sekali tidak belajar bahasa daerah tersebut? Sebenarnya aku belajar. Bahkan, sewaktu awal penempatan aku sangat semangat belajar. Aku meminta kawanku menerjemahkan beberapa kalimat dasar ke dalam Bahasa Aceh. Misalnya seperti di bawah ini:
Apa kabar? -- Peu haba?
Kabar baik -- Haba geut
Sudah makan? -- Kalheuh pajoh bu? (literally it means "sudah makan nasi?")
Mau pergi ke mana? -- Ho jak? (literally it means "ke mana pergi?")
Aku pun beberapa kali memberanikan diri bicara dalam Bahasa Aceh. Hingga suatu ketika aku membaca nama sebuah desa yang tertulis "Bineh Krueng". Seseorang tertawa ketika mendengarku melafalkan kata "krueng" (krueng = sungai) sama seperti tulisannya, kru-eng. Padahal mestinya aku melafalkannya "krung". Gara-gara ditertawakan begitu aku langsung ngambek, mutung, bin pundung. Aku tidak mau lagi bicara dalam Bahasa Aceh. Aku bukan orang Aceh, bahasa ibuku juga bukan Bahasa Aceh. Bahasa ibuku adalah Bahasa Jawa ngapak. Di sekolah pun aku hanya diajari Bahasa Jawa (bukan ngapak), tidak diajari bahasa daerah lain. Jadi, wajar saja kalau aku tidak fasih berbahasa Aceh. Kenapa mesti ditertawakan? Toh, selama ini kawanku yang orang Sunda tidak tertawa ketika aku keliru dalam berbahasa Sunda. Kawanku yang orang Batak juga tidak menertawakanku ketika logatku aneh saat mencoba menggunakan Bahasa Batak. Yaaah, malah jadi curhat.