Kamis, 28 Februari 2013

Giveaway Gendu-gendu Rasa Perantau

Sewaktu ulang tahun pertama blog ini ada beberapa teman yang menodongku untuk mengadakan giveaway. Salah satunya Mbak Octa. Awalnya, sih, maleees... Apalagi aku bingung membayangkan kalau nanti harus menilai tulisan para peserta. Tapi, setelah menemukan satu korban yang dengan suka rela bersedia menjadi juri, yaitu Nurin, aku pun memberanikan diri mengadakan giveaway.
Bismillaahirrohmaanirohiim
Dengan ini kami mengundang teman-teman blogger perantau dan mantan perantau untuk berpartisipasi dalam Giveaway Gendu-gendu Rasa Perantau. Gendu-gendu rasa itu apa artinya? Mbuh. Aku juga tidak yakin, hehehe... Semacam berbagi rasa, mungkin.
Siapa saja yang diundang dalam perhelatan akbar ini? Ini dia ketentuan pesertanya:

Jumat, 22 Februari 2013

Mutung Belajar Bahasa Aceh

"Ka meuthon-thon tinggay di Aceh, mantong hana caroeng basa Aceh (Sudah bertahun-tahun tinggal di Aceh, masih belum pandai Bahasa Aceh)," komentar seseorang terhadap aku yang belum terlalu mengerti Bahasa Aceh. Yang lain pun berkomentar senada, "Udah tinggal tiga tahun lebih di sini mestinya udah pandai basa Aceh." Atau komentar begini, "Itu si A baru setahun di sini udah pandai ngomong basa Aceh." Aku cuma tersenyum. Kecut.

Apa aku sama sekali tidak belajar bahasa daerah tersebut? Sebenarnya aku belajar. Bahkan, sewaktu awal penempatan aku sangat semangat belajar. Aku meminta kawanku menerjemahkan beberapa kalimat dasar ke dalam Bahasa Aceh. Misalnya seperti di bawah ini:
Apa kabar? -- Peu haba?
Kabar baik -- Haba geut
Sudah makan? -- Kalheuh pajoh bu? (literally it means "sudah makan nasi?")
Mau pergi ke mana? -- Ho jak? (literally it means "ke mana pergi?")

Aku pun beberapa kali memberanikan diri bicara dalam Bahasa Aceh. Hingga suatu ketika aku membaca nama sebuah desa yang tertulis "Bineh Krueng". Seseorang tertawa ketika mendengarku melafalkan kata "krueng" (krueng = sungai) sama seperti tulisannya, kru-eng. Padahal mestinya aku melafalkannya "krung". Gara-gara ditertawakan begitu aku langsung ngambek, mutung, bin pundung. Aku tidak mau lagi bicara dalam Bahasa Aceh. Aku bukan orang Aceh, bahasa ibuku juga bukan Bahasa Aceh. Bahasa ibuku adalah Bahasa Jawa ngapak. Di sekolah pun aku hanya diajari Bahasa Jawa (bukan ngapak), tidak diajari bahasa daerah lain. Jadi, wajar saja kalau aku tidak fasih berbahasa Aceh. Kenapa mesti ditertawakan? Toh, selama ini kawanku yang orang Sunda tidak tertawa ketika aku keliru dalam berbahasa Sunda. Kawanku yang orang Batak juga tidak menertawakanku ketika logatku aneh saat mencoba menggunakan Bahasa Batak. Yaaah, malah jadi curhat.

Sabtu, 16 Februari 2013

Eksotisme Pantai Barat Aceh

Sewaktu pertama kali ditugaskan di Aceh, aku bertekad untuk menjadikan tugas ini sebagai wisata, baik wisata alam, wisata budaya, maupun wisata kuliner. Aku berwisata budaya dengan melihat upacara adat misalnya dalam pesta pernikahan. Aku jadi bisa melihat dari dekat bagaimana upacara ketika dara baroe (mempelai wanita) diantar ke kediaman linto baroe (mempelai pria). Aku jadi tahu bagaimana variasi pelaminan di Aceh. Selain itu aku juga sedikit belajar bahasa daerah di Aceh. Sampai saat ini aku sedikit belajar Bahasa Aceh dan Jamee (mirip dengan Bahasa Minang). Padahal di Aceh ada banyak bahasa daerah yang lain misalnya Bahasa Gayo dan Alas. Wisata kuliner kunikmati dengan mencicipi berbagai makanan khas Aceh, terutama kuenya. Ada kue sepit, keukara, apam, dan yang paling ekstrim adalah makan ketan dengan kuah durian.

Kalau wisata alam? Naaah, ini dia yang paling nendang. Aku tak menyangka alam Aceh sangat mempesona. Biarpun pernah mendengar tentang Danau Laut Tawar, aku tidak menyangka danaunya begitu indah.

Danau Laut Tawar

Yang lebih tak terduga adalah pantainya. Beyond my imagination. Selama ini aku baru mengunjungi pantai barat Aceh jadi tidak bisa menceritakan pantai timurnya. Pantai barat Aceh sangat eksotis karena sebagian lokasinya berdekatan dengan perbukitan. Kalau kita melakukan perjalanan darat lewat jalan nasional di jalur barat, kita dapat menikmati keindahan pantai-pantai tersebut terutama di wilayah Geurutee (ini masuk Aceh Jaya atau Aceh Besar, ya?), Tapaktuan, Samadua, dan Sawang (ketiga daerah ini merupakan kecamatan di Aceh Selatan). Biarpun medannya membuat perut serasa dikocok-kocok, semua itu terbayarkan oleh keindahan yang dinikmati dalam perjalanan (tentunya kalau perjalanannya bukan pada malam hari). Kalau di Aceh Selatan pantainya berpasir putih dan berkarang. Aku terobsesi membuat foto postwedding di sana, tapi entah kapan, hahaha! Seperti apa pemandangan pantainya? Lihat saja gambar-gambar berikut:
Pantai Rindu Alam, Tapaktuan

Pemandangan dari karang di Pantai Rindu Alam

Aceh Selatan (entah tepatnya di mana, lupa)

Kamis, 07 Februari 2013

Collecting Raindrops (After the Rain)

I'm still obsessed to raindrops. I was trying to capture raindrops but the results are still not as good as my expectation.

Raindrops in the tiny flower

Above is picture that I took three days ago in the afternoon. The weather was cloudy so there was no sufficient light to make a clear picture. Hey, did I blame the weather? Ops!
Two pictures below were taken at the same time as before. Still not so good as I hope.

Raindrops on (or under?) the leaf, ready to drop (again)

Rabu, 06 Februari 2013

Jakarta, Rumah Para Perantau

Kata orang kehidupan di Jakarta itu ‘kejam’. Dulu aku juga berpikir demikian. Sewaktu baru tiba di Jakarta untuk pertama kalinya aku langsung berpikir bahwa kehidupan di Jakarta benar-benar keras. Wajar saja aku berpikir begitu karena saat itu aku langsung menginap di warteg ‘berlantai dua’ yang bangunannya terbuat dari triplek dengan kamar mandi yang amat sangat ala kadarnya.

Kehidupan di Jakarta memang sedemikian keras. Tapi, kenapa ada banyak orang yang merantau ke Jakarta? Selain alasan ekonomi, alasan lainnya adalah ‘keramahan’ Jakarta terhadap para perantau. Jakarta adalah rumah bagi semua perantau, setidaknya itu menurutku. Jumlah perantau di Jakarta amat banyak, bahkan melebihi penduduk asli di sana. Perantaunya pun datang dari berbagai daerah di Indonesia dan dari bermacam-macam suku. Keberagaman inilah yang membuatku nyaman di Jakarta. Aku tidak merasa seperti orang yang berbeda dengan yang lain. Aku bertemu dengan orang yang beragam. Ibu kos yang keturunan Arab, tukang siomay yang orang Sunda, tukang bubur ayam yang orang Jawa dari Bumiayu, tukang pecel yang orang Jawa dari Klaten,  sopir metromini yang orang Batak, dan sebagainya. Bertemu dengan orang-orang yang semuanya berbeda membuatku tidak merasa berbeda. Ibaratnya ketika datang ke pesta di mana semua tamu seragam mengenakan pakaian hitam dan hanya aku yang mengenakan pakaian merah, tentu aku akan merasa tidak nyaman karena berbeda. Lain ceritanya bila aku datang ke pesta di mana para tamu mengenakan pakaian yang dengan warna yang beragam. Apapun warna pakaianku tidak akan membuatku merasa berbeda.

Minggu, 03 Februari 2013

Yang (Mungkin) Luput dari Pandangan

 
Ada yang tahu gambar di atas gambar bunga apa? Aku, sih, menyebut tanaman itu krokot. Penggemar Curanmor pasti tidak asing dengan kalimat "sambel krokot karo gorengan godhong mangkokan". Apa iya tanaman ini bisa dibuat sambal? Entah. Silakan tanyakan pada Kaki Samidi atau Rumawi. Gambar di atas kembang krokotnya masih kuncup. Yang sudah mekar seperti di bawah ini. Cantik, kan?