Senin, 29 Oktober 2012

Kamus Brebes (J)

Karena blog di multiply sudah hampir ditiadakan, ku-copas Kamus Brebes yang tadinya di-post di sana pada 7 Mei 2009. Dan ada beberapa tambahan kosa kata tentunya.
 
Warning: Tidak semua kosa kata di bawah ini lazim dan sopan digunakan dalam percakapan

Jabane = misalnya, seumpama, seandainya
Jagong  → Njagong = duduk
Jagrag → Njagrag = menyalak (untuk anjing)
Jajal = coba
Jambak → Njambak = menarik rambut dengan kasar
Jambal → Njambal = memakan lauk untuk camilan
Jambe = pinang
Jambon = warna merah muda, pink
Jangan = sayur
Jangglèng → Njangglèng = berdiri
Jare = katanya
Jarit = kain; pakaian
Jasak = ayah (dalam bahasa gaul)
Jawane = ceritanya, pura-puranya, maksudnya, gayanya
Jèblog = jedot
     Kèblog = kejedot, terbentur benda keras (biasanya untuk kepala)

Minggu, 28 Oktober 2012

Kamus Brebes (K)

Karena blog di multiply sudah hampir ditiadakan, ku-copas Kamus Brebes yang tadinya di-post di sana pada 16 Januari 2010. Dan ada beberapa tambahan kosa kata tentunya.

Warning: Tidak semua kosa kata di bawah ini lazim dan sopan digunakan dalam percakapan

Kapicirit = tidak bisa menahan feses sehingga keluar, biasanya dialami ketika diare
Kadheh = jumlah
Motore kadhehe pira? = motornya jumlahnya berapa?
Kadiran = sok, mentang-mentang
Kalah-kalahe = Kalah-kalahen = Kala-kalaen = akhirnya
Kalap = bermanfaat (bisa diambil manfaatnya)
       Ora kalap = tidak bisa dimanfaatkan
Kaligane = akhirnya
Kaling-kalingan = terhalangi sesuatu untuk melihat
Kalo = alat untuk menyaring santan
Kalong = hewan sejenis kelelawar
Kalong = berkurang jumlahnya atau banyaknya

Kamisèsègèn = napas tersendat setelah menangis
Kamot = muat
       Ora kamot = tidak muat
Kamplèng = memukul (biasanya dengan telapak tangan), tampar
Kanda = bicara, bercerita; memberitahu
Kandhègan = kondangan
Kandhègen = akhirnya
       Kandègen lah melu = akhirnya ikut juga (padahal sebelumnya tidak mau ikut)
Kangsrah = terlalu panjang (biasanya untuk pakaian)
Kangslèp = tertarik ke dalam sampai tidak kelihatan
Kantèm = pukul, jotos
Kantug = Nyantug = sampai (untuk jangkauan tangan)
Kapiran = tidak mendapatkan yang ditunggu
Kaplak = besar, sudah dianggap (harus) dewasa, sudah tidak pantas bersikap kekanakan
Kapur = sejenis kue
Kapruk = memukul dengan telapak tangan di bagian muka
Kari = tinggal
       Kari njukut, ka = tinggal ambil, kok
Kasut = kaus kaki
Kaur = sempat
Kawak = tinggal kelas
Kawur = kabur, terbang tertiup angin
Kayong = kaya, seperti
Kayonge = sepertinya
Kèbèler = terkena bagian potongan bambu yang tajam
Kecehan = bermain di genangan air
Kèmèng = gila, kurang waras
Kèmlithak = sok, hampir mirip artinya dengan petakilan
Kèmplu = (kasar) gila, ngaco
Kèmriyak = renyah
Kender = sering sekali kalah (dalam permainan anak-anak)
Kèndèrèkèn = kondisi ayam yang hampir mati (karena penyakit yang seperti 'ngantuk')
Kènthèng = rajin
Kènthos = bagian kelapa yang berbentuk bulat, putih, agak lunak, dan berada di dalam batok kelapa, biasanya disebut bijinya kelapa
Kèpèrang = terkena/tersayat pisau atau benda tajam lain
Kèpoko = terpaksa
Kepreh-keprehan = ribut (berbicara tidak karuan) karena terkejut atau panik
Kerèm = tenggelam
Kesed = keset
Kicik = (kasar) tuli
Kinjèng = capung
Kiplik = sangat kurus
Klèndangan = keluyuran

Klobot = kulit jagung
Klolodèn = tidak sengaja menelan sesuatu yang terlalu besar hingga kadang mengganggu pernapasan
Klopot = glopot = sangat kotor
Kobèr = sempat
Kocak = diisi air lalu dikocok-kocok untuk membersihkan lalu airnya dibuang (biasanya untuk wadah yang cekung, misal mangkok, panci)
Kojek = jajanan anak-anak semacam cilok
Koleh = aduk
Kolèman = kondangan
Koloh = emut, kulum
       Ngolohi jentik = mengisap jari
Kolok = kolak, nama makanan ringan yang biasanya terbuat dari pisang atau singkong
Kolu = tidak jijik
Kopong = kosong
Kored = mengambil sisa-sisa (biasanya untuk makanan)
Kricik = uang receh
Kroak = tidak utuh, tercuil sebagian
Krowok = berlubang (untuk gigi)
Krusukan = bermain di semak-semak
Kudhèk = aduk
Kulah = terkena (biasanya benda yang kotor)
Klambine kulah tembelek = bajunya terkena kotoran hewan
Kulak = membeli sesuatu dengan tujuan untuk dijual lagi
Kur = cuma, hanya
Kuwuk = sejenis keong; busuk dan bau (untuk telur)

Kamus Brebes (I)

Karena blog di multiply sudah hampir ditiadakan, ku-copas Kamus Brebes yang tadinya di-post di sana pada 16 Januari 2010. Dan ada beberapa tambahan kosa kata tentunya.

Warning: Tidak semua kosa kata di bawah ini lazim dan sopan digunakan dalam percakapan

Ibit = cubit = kata yang diucapkan ketika ingin break dalam permainan anak-anak
Idèk = Edèk = injak
Idèr = berkeliling menjajakan dagangan
Idhèp = bulu mata
Idhèp-idhèp = hitung-hitung, tujuan lain dari suatu tindakan
     Idhèp-idhèp nulungi sedulur = hitung-hitung menolong saudara
Idu = ludah, meludah
Iji = sejenis satuan
     Limang iji = lima buah
Ijol = tukar
Ilang = hilang
Ilat = lidah
Ilèng = Dèlèng = lihat
     Ngilèng = melihat
Iling = tuang
     Ngiling = menuang
Ilir = kipas
Ilok = pantas, tidak tabu
      Ora ilok = tidak pantas, tabu
Ilon-ilon = ikut-ikutan
Imbuh = tambah ; peram (untuk buah)
Indhik = intip
      Indhik-indhik = incar, mengincar
Indhil-indhil = bola daging, bakso
Inggèk = berenang; menyelam
Inggèng = intip
Ingsèr = geser
     Mingsèr = bergeser
Ingu → Ngingu = memelihara
Intip = nasi yang kering (gosong) ketika dimasak
Ipe = ipar
Irung = hidung
Irus = sendok sayur
Isah-isah = asah-asah = mencuci piring
Isik-isik = mengusap-usap

Kamis, 25 Oktober 2012

Bakuman: Manga tentang Manga

By Source, Fair use, https://en.wikipedia.org/w/index.php?curid=21343741
Aku bukan pencinta manga (komik Jepang). Apalagi manga yang berseri dan sepertinya tidak akan tamat. Selama ini, hanya dua manga yang kubaca chapter terakhirnya: Inuyasha dan Rurouni Kenshin. Itu pun aku melewatkan beberapa chapter di tengah. Aku terlalu penasaran sehingga langsung membaca chapter terakhir, baru kemudian membaca beberapa chapter menjelang akhir. Hehehe, kebiasaan buruk. Dan beberapa hari yang lalu aku baru tahu bahwa satu manga yang membuatku penasaran ternyata sudah tamat beberapa bulan lalu. Aku pun mencari link download-nya. Ternyata yang muncul justru mangareader. Aku pun membacanya secara online sambil mengunduh (download) satu per satu gambarnya. Memangnya manga apa yang membuatku penasaran itu? BAKUMAN.

Bagaimana perkenalanku dengan Bakuman? Ini gara-gara temanku -- sebut saja N -- yang sering menuliskan "cc: Moritaka Mashiro" di status Facebook-nya. Aku mengira (dan ternyata perkiraanku benar) bahwa nama itu diberikan pada seseorang -- sebut saja K. Tapi, kenapa bisa disebut Moritaka Mashiro? Siapa dia? Ada temanku yang berkomentar di status N dan membocorkan bahwa Moritaka Mashiro adalah tokoh dalam manga kesukaan K yang berjudul Bakuman. Aku jadi penasaran pada manga itu. Aku pun mengunduhnya. Ternyata ceritanya tidak seperti dugaanku. Karena judulnya berakhiran MAN, aku pun mengira manga itu bercerita tentang superhero, seperti P-Man, Batman, Superman, dan gerombolannya. Ternyata aku salah. Bakuman justru bercerita tentang dua anak muda yang bermimpi menjadi mangaka (manga artist). Dua anak muda itu adalah Moritaka Mashiro dan Akito Takagi. Ceritanya seperti apa? Hmm, berhubung aku sedang malas, kukutipkan saja dari Wikipedia.

Senin, 22 Oktober 2012

Antre, dong!

Kebiasaan antre di kota – tepatnya desa ngaku kota – Blangpidie ini terbilang masih terbatas – kalau tidak bisa dibilang rendah. Beberapa kali ketika aku ‘diserobot’ ketika sedang mengantre di swalayan. Dan sebalnya, orang-orang yang menyerobot itu tidak sadar kalau perbuatannya salah dan tidak sadar ada hawa pembunuh yang muncul dari tubuhku. Kalau suasana hatiku sedang baik, aku diam saja. Tapi, kalau aku sedang sensitif, aku akau menunjukkan raut wajah tidak suka. Tapi, ya, itu. Orangnya tidak sadar. Dipelototi pun acuh tak acuh. Pernah saking sebalnya, aku mengomel ke kasirnya, “Kok, nggak antre?” Dan si kasir hanya diam. Sepertinya dia juga tidak menganggap itu salah. Tapi, ada juga, sih, kasir yang lumayan ‘peka’. Ketika ada orang yang menyerobot antrean, dia tetap melayaniku lebih dulu dibandingkan si penyerobot itu. Sepertinya dia sudah melihat wajah judesku.

Di tempat beli sarapan juga begitu. Dulu, ketika ibu penjualnya belum hafal mukaku, beberapa kali aku ‘dilewatkan’. Meskipun aku datang lebih dulu, yang dilayani justru orang lain. Setelah ibu itu mengenalku, aku jadi sering didahulukan meskipun datang belakangan. Tapi, biasanya ibu itu akan bilang dulu ke pembeli lain bahwa aku buru-buru. Sebenarnya tidak enak hati juga ‘mengambil’ giliran orang lain. Tapi, itu rejeki, masa ditolak? Hahaha... Licik! Aku sebenarnya tak meminta didahulukan. Asal dilayani sesuai antrean, itu sudah cukup. Tapi, ibu itu sepertinya kasihan padaku (biarpun default wajahku itu judes, kadang wajahku terlihat memelas). Untungnya orang-orang yang ‘kudahului’ tidak menampakkan wajah marah. Sudah biasa mungkin, ya? Bisa jadi ada beberapa pelanggan ‘istimewa’ yang kerap membuat mereka dilayani belakangan. Dan mereka sepertinya sudah berlatih bersabar menghadapi hal semacam itu. Kalau aku yang diperlakukan begitu, biasanya (tapi tidak selalu) aku akan langsung pergi. Iya, pergi. Kebiasaan burukku kalau diserobot antrian sewaktu beli sarapan adalah mutung dan langsung ‘chao’. Ini merupakan kebiasaan sejak masih sekolah. Aku tidak peduli pada orang-orang yang memandangku aneh karena tidak jadi beli sarapan. Aku akan pulang dengan wajah merengut sambil bersungut-sungut. Hehehe... Kadang kalau sudah terlalu kesal, aku pun bisa mogok beli sarapan di tempat itu. Dan ternyata ini bukan kebiasaan pribadi melainkan kebiasaan keluarga. Belakangan, aku baru tahu kalau ibuku dan kakakku yang kedua juga kerap memilih tidak jadi beli sarapan ketika antreannya diserobot. Kalau tidak salah adikku juga begitu. Sebuah fakta yang menakjubkan. Halah!

Minggu, 21 Oktober 2012

99 Cahaya di Langit Eropa: Novel tentang Sejarah Islam di Benua Biru

Mengutip kata-kata George Santayana: “Those who don’t learn from history are doomed to repeat it.” Barang siapa melupakan sejarah, dia pasti akan mengulanginya. Banyak di antara umat Islam kini yang tidak lagi mengenali sejarah kebesaran Islam pada masa lalu. Tidak banyak yang tahu bahwa luas teritori kekhalifahan Umayyah hampir 2 kali lebih besar daripada wilayah Kekaisaran Roma di bawah Julius Caesar. Tidak banyak yang tahu pula bahwa peradaban Islam-lah yang memperkenalkan Eropa pada Aristoteles, Plato, dan Socrates, serta akhirnya meniupkan angin renaissance bagi kemajuan Eropa saat ini. Cordoba, ibu kota kekhalifahan Islam di Spanyol, pernah menjadi pusat peradaban pengetahuan dunia, yang membuat Paris dan London beriri hati.

Paragraf di atas merupakan paragraf favoritku dalam novel 99 Cahaya di Langit Eropa (Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa) karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Aku membeli novel terbitan Gramedia Pustaka Utama ini atas rekomendasi dari Tika. Dan ternyata tidak mengecewakan. Novelnya memang sesuai seleraku.  Bisa, lah, kali lain aku meminta rekomendasi darinya tentang novel yang menarik. Novel setebal 414 halaman ini merupakan novel best seller. Yang kubeli sendiri merupakan cetakan keenam (Februari 2012). Cetakan pertamanya sendiri bulan Juli 2011.

Kamis, 11 Oktober 2012

9 Summers 10 Autumns (Dari Kota Apel ke The Big Apple)

Iwan melihat anak kecil itu pertama kalinya ketika dia sedang ditodong di dekat Stasiun Fleetwood, New York. Anak kecil dengan celana pendek merah dan baju putih berkerah itu melambaikan tangan lalu menghilang. Dua hari kemudian Iwan bertemu dengannya lagi. Ia pun merasa tidak asing dengan anak itu. Perbincangannya dengan anak itu membuat Iwan teringat masa kecilnya, teringat orang tuanya, teringat rumah mungil berukuran 6 x 7 meter di Batu tempat ia dan keempat saudaranya dibesarkan. Ia teringat masa kecilnya, masa di mana dia dan saudaranya tak punya mainan hingga mereka hanya bisa “bermain” dengan buku pelajaran.

Anak kecil itu pun mulai sering ‘mengunjungi’ Iwan ketika dia sedang sendirian di apartemennya. Lalu, seperti biasa, mereka pun berbincang-bincang. Ah, mungkin tepatnya anak kecil itu mendengarkan Iwan bercerita. Melihat apartemen luasnya, Iwan pun membandingkannya dengan tempat tinggalnya dulu, rumah kecil di kaki Gunung Panderman di mana dia bahkan tak punya kamar sendiri, rumah yang kecil tapi tetap selalu ia cintai.

Tentang Pertama (2)

Kali ini aku akan melanjutkan cerita Tentang Pertama yang sudah pernah kutulis tahun lalu. Inilah beberapa pengalaman pertamaku yang lain.

Kali pertama kenal komputer
Sebenarnya ini fakta yang agak memalukan. Aku baru "mengenal" komputer setelah kuliah, sekitar tahun 2004. Berarti umurku waktu "berkenalan dengan komputer sekitar 18 tahun. Sebelumnya aku hanya pernah melihatnya tapi tak pernah mengoperasikannya. Pernah sewaktu baru bisa menggunakan komputer, aku mematikan komputer langsung dengan memencet tombol power. Saat itu aku sedang di laboratorium komputer kampus dan ada dosen yang melihat. Beliau langsung memberitahu, "Jangan langsung dipencet gitu." Akhirnya, entah siapa yang mengajariku (aku lupa), aku jadi tahu kalau untuk mematikan komputer sebisa mungkin menggunakan button Shut Down yang muncul ketika klik button Start (kalau menggunakan sistem operasi Windows). Dan sekarang, ajaibnya, meskipun baru berkenalan dengan komputer setelah agak tua, aku bisa dibilang lebih "akrab" dengan komputer dibandingkan teman-temanku yang lebih dulu mengenalnya. Yah, mungkin karena frekuensi interaksiku dengan si kompi ini lumayan tinggi. Dan sekarang, tanpa komputer (lebih tepatnya laptop) aku merasa mati gaya.

Selasa, 09 Oktober 2012

Mengeluh vs Menikmati

Aku sering merasa bosan tinggal di sini. Suntuk, istilah kerennya. Kenapa? Well, nyaris lima tahun tinggal di Jakarta (meskipun Jakartanya masih agak pinggiran), aku lumayan dimanjakan dengan berbagai fasilitas. Perlu internet? Warnet tersedia. Mau beli buku? Cukup naik Transjakarta lalu turun di halte Tegalan, sampailah di toko buku terbesar di negeri ini. Mau belanja baju, sepatu, dengan harga terjangkau? Cukup naik angkot dua kali sudah sampai di Pasar Jatinegara. Naik angkot sekali sudah sampai di PGC. Pilihan banyak, harga terjangkau. Mau makan? Warung makan dengan berbagai jenis masakan tersedia. Warung Padang, Warteg, tukang soto mie, tukang sate Madura, tukang siomay, tukang batagor, tukang pempek, semua ada. Mau jalan-jalan? Bisa ke Kota Tua, kalau mau jauh sedikit bisa ke Kebun Raya Bogor. Dan di kabupaten ini? Di tahun pertama aku penempatan di sini, warnet tidak banyak, jauh pula. Belanja? Err, pilihannya sangat terbatas. Tempat wisata? Umm, tempat wisata yang 'benar-benar dikelola' bisa dibilang tidak ada. Memang ada tempat yang lazim didatangi warga untuk refreshing, tapi karena tidak dikelola, ya, kondisinya kurang menarik. Ujung-ujungnya pergi ke kabupaten sebelah yang jauhnya puluhan kilometer. Ditambah lagi, daerah ini jauh dari mana-mana. Ke Banda Aceh bisa makan waktu sepuluh jam. Ke Medan bisa sepuluh sampai dua belas jam. Mau makan pun susah karena jarang ada rumah makan yang menyediakan menu 'nasional'.

Minggu, 07 Oktober 2012

Balthasar's Odyssey (Nama Tuhan yang Keseratus)

Siapa Balthasar (Baldassare)? Nama lengkapnya Balthasar Effendi. Dia adalah seorang pedagang di Gibelet keturunan Genoa. Dalam novel ini diceritakan perjalanan Balthasar dalam mencari buku “Nama yang Keseratus” karya Abu-Maher al-Mazandarani. Untuk apa dia mencari buku tersebut? Jadi, begini ceritanya... Pada abad ke-17, tepatnya tahun 1665, orang-orang – khususnya orang Kristen – tengah ketakutan “menunggu” datangnya tahun Dajal, yaitu tahun 1666. Banyak yang meyakini bahwa pada tahun 1666 akan terjadi kiamat. Lalu apa hubungannya dengan buku Nama yang Keseratus? Sebagaimana kita ketahui, dalam agama Islam ada 99 nama (tepatnya sebutan) untuk Alloh. Ternyata ada banyak yang mempercayai bahwa selain 99 ‘nama’ tersebut, masih ada satu ‘nama’ lagi. ‘Nama’ itu katanya pernah diucapkan Nuh ketika menyelamatkan diri dari banjir besar. Dan di buku tersebut disebutkan nama Tuhan yang keseratus tersebut. Orang-orang pun mencarinya untuk menyelamatkan diri dengan ‘nama’ itu ketika kiamat terjadi.

Kalau Balthasar mencari buku tersebut, berarti dia termasuk yang percaya akan ada kiamat pada tahun 1666 dan percaya kekuatan Nama yang Keseratus? Tidak. Dia sama sekali tidak percaya. Bahkan, dia awalnya menganggap bahwa buku tersebut tidak pernah ada. Berbeda dengan Jaber, keponakannya yang membantunya di toko. Jaber (atau lebih sering dipanggil Boumeh) sangat percaya terhadap ramalan kiamat tersebut. Dia sering membaca buku-buku yang berkaitan dengan hal itu. Hingga Idriss datang padanya menjual buku pada Balthasar – lebih tepatnya meminta Balthasar menjual buku itu di tokonya. Setelah buku itu terjual – atau tepatnya diberikan secara cuma-cuma oleh Balthasar pada pelanggannya yang sedang menawar harga – Balthasar pun datang ke rumah Idriss untuk memberikan ‘hasil penjualan’ bukunya. Idriss pun kemudian memberikan buku terakhir yang dimilikinya pada Balthasar. Sebuah buku yang sebelumnya dianggap tidak pernah ada oleh Balthasar, yaitu buku berjudul Nama yang Keseratus. Idriss berkata bahwa dia ingin Balthasar yang memiliki buku itu, bukan orang lain. Balthasar kemudian justru menjual buku tersebut kepada Chevalier Hugues de Marmontel, seorang utusan istana Prancis. Ketika dia datang ke rumah Idriss untuk menyerahkan uang hasil penjualan buku tersebut, dia mendapati kenyataan yang mengejutkan: Idriss meninggal. Boumeh pun menyalahkan pamannya yang – menurutnya – sudah mengabaikan pertanda dari Tuhan. Menurutnya, Balthasar seharusnya tetap menyimpan buku itu, bukan menjualnya. Boumeh juga menganggap kematian Idriss sebagai pertanda untuk pamannya bahwa waktu itu sangat singkat dan hari kiamat itu sudah dekat.