Where are you when diarrhea strike? Meme dengan kalimat ini sempat populer beberapa tahun lalu. Nggak tahu? Oke. Mungkin cuma aku yang tahu karena sering buang-buang waktu ngepoin 9gag. Gara-gara diare selama tiga hari, aku jadi ingat aku pernah ingin menulis tentang pengalaman diare ini. Shitty post. Shitposting. It's a pun! Please laugh!
Di mana kamu berada saat dia (re) menyerang? Desakan untuk ke toilet karena diare ini tidak pandang waktu dan tempat. Bisa datang siang hari, bisa tengah malam. Bisa datang saat kita asyik menonton TV di rumah, bisa juga saat kita dalam perjalanan. Kalau sedang di rumah (dan di rumah ada toilet dengan air memadai), diare bukan masalah besar. Bolak-balik ke toilet? Nggak masalah. Tinggal jalan doang. Kalau sedang di kantor? Ini sedikit bermasalah. Di kantorku tidak sulit untuk ke toilet. Ada toilet di tiap lantai dan di lantaiku ada toilet jongkok (sebuah kemewahan ada toilet jongkok di kantor). Masalahnya, toilet tersebut digunakan untuk umum. Kalau baru masuk toilet dan baru mulai melakukan tawar-menawar dengan si feses agar keluar dengan damai kemudian datang orang yang mengantre toilet, bagaimana? Pilihannya antara membatalkan transaksi kotorku atau melanjutkannya dengan dua pilihan lainnya. Pilihan pertama, melakukan tawar-menawar yang lama agar si feses keluar dengan damai tapi berisiko membuat si pengantre menunggu lama. Pilihan kedua, tidak lagi melakukan tawar-menawar melainkan membiarkan si feses keluar dengan bebas tapi berisiko menanggung malu akibat suara ledakan yang brutal. Kamu pilih yang mana, Milo? Tergantung situasi. Kalau terpaksa pilih opsi kedua, biasanya aku berimprovisasi dengan menekan flush untuk menyamarkan suara ledakan.
Itu kalau diare menyerang saat di rumah atau di kantor. Kalau sedang bepergian? Ini masalah besar. Aku beberapa kali mengalaminya saat bepergian. Kejadian terlama yang bisa kuingat adalah sewaktu perjalanan kembali dari kampung halaman, sekitar September 2010. Dulu aku dan rekanku sering mampir di rumah rekan pegawai BPS di Medan sebelum melanjutkan perjalanan ke Blangpidie. Waktu itu kami disuguhi cempedak dan langsat. Besoknya, saat hampir sampai Tapaktuan aku merasakan mulas ingin mengeluarkan residu padat. Sayangnya aku tidak bisa mampir di Tapaktuan dan harus melanjutkan perjalanan ke Blangpidie selama tiga jam. Sepertinya ada yang menyarankan untuk mengantongi batu tapi aku tidak ingat mengikuti saran itu atau tidak. Yang kuingat aku bisa menahannya sampai tiba di Blangpidie.
Kejadian kedua yang kuingat adalah sewaktu belanja di mall Suzuya Banda Aceh. Tahun 2013 atau 2014 ya? Lupa. Yang jelas saat itu aku sedang sibuk memilih cemilan yang ingin kubeli. Setelah beberapa lama menahan mulas, aku pun menyerah. Aku meninggalkan keranjang belanjaanku begitu saja lalu buru-buru mencari toilet. Untungnya ada toilet jongkok. Ritual pun berjalan lancar. Ternyata rekanku juga sempat mulas dan menuduh siomay yang kami makan saat pagi sebagai tersangka penyebab kami diare. Aku tidak yakin karena selain siomay aku juga mengonsumsi banyak makanan lain.
Kejadian ketiga terjadi di bulan Juni 2015. Saat itu aku dan beberapa kawan sekelas pergi wisata kuliner ke Bogor. Tujuan utamanya adalah makan piza kayu bakar. Setelah selesai makan piza, ternyata masih ada beberapa agenda: jajan pie dan pasta. Perutku diisi makanan-makanan yang (saat itu masih) asing: piza, pie, pasta (kalau tidak salah macaroni panggang), dan masih ditambah jus dan es. Mungkin itu sebabnya perutku berontak. Sepanjang perjalanan di angkot menuju Stasiun Bogor, aku menahan mulas. Sampai di stasiun aku lari-lari mencari toilet. Herannya, meskipun sudah mulas luar biasa, residu padatnya tidak mau dikeluarkan. Mungkin malu karena di toilet asing, toilet duduk pula. Akhirnya aku menyerah tidak memaksa si feses keluar. Untungnya sepanjang perjalanan naik kereta kembali ke Jakarta tidak ada serangan parah.
Kejadian keempat, iya masih ada kejadian lagi, terjadi sewaktu aku ikut open trip ke Kepulauan Seribu bulan Mei 2018. Saat sedang mendengarkan penjelasan dari pemandu wisata mengenai sejarah di Pulau Onrust, aku tidak bisa menahan rasa mulas. Aku langsung menyingkir dari rombongan dan mencari toilet. Toilet yang kutemukan saat itu kurang nyaman karena airnya kurang bersih. Namun, si residu padat tetap meluncur. Aku memikirkan makanan apa yang bisa dijadikan kambing hitam dan teringat ayam goreng pedas yang kumakan malam harinya. Kalau tidak salah ingat, ya.
Masih ada kejadian kelima. Yang ini, sih, sudah pernah kuceritakan. Ini terjadi sewaktu aku jalan-jalan ke Lembang. Saat menempuh perjalanan dari Floating Market ke Taman Begonia. Tersangka utamanya adalah seblak dan bandrek yang kukonsumsi di Floating Market. Namun, bisa saja tersangkanya adalah sarapan yang kumakan di kereta. Atau welcome drink yang kuminum saat baru masuk Floating Market. Atau yang kumakan malam sebelumnya? Apa itu? Lupa.
Dari beberapa kejadian serangan diare, sebagian besar yang kujadikan kambing hitam adalah makanan. Sebenarnya bisa saja aku diare karena masuk angin. Namun, karena gejala masuk angin lainnya tidak muncul, tuduhanku sebagian besar mengarah pada makanan. Sayangnya aku tidak belajar dari pengalaman. Sudah beberapa kali mengalami mulas karena makanan yang aneh-aneh, aku tetap saja mengonsumsi makanan yang asing ataupun makanan pedas saat akan atau sedang bepergian. Ya, gimana, ya.... Namanya juga penasaran.
Oh iya. Ngomong-ngomong, dari beberapa tragedi di atas, aku tahu tanggal kejadiannya (tapi yang kusebutkan hanya bulan dan tahun) karena aku punya foto yang kuambil pada hari itu. Bukan foto di toilet ya. Aku menyimpan foto makanan dan foto tempat yang kudatangi. Ada hikmahnya juga punya hobi memotret. Eh, tapi apa untungnya ya tahu tanggal aku mengalami diare? Nggak penting, kan, ya? Ah, sudahlah.
Diary diare banget... Ampe masih inget udah lama gitu...
BalasHapusAku suka diare kalau abis makan santen santen gitu, gatau kenapa -,-
Maklum, Na, memorable kejadian mules2 gitu.
HapusKalo diare abis makan santen, berarti nggak bisa makan opor ayam dong?