Selasa, 07 Februari 2017

Ih, Nggak Pernah Belajar tapi Nilainya Bagus Terus

Ih, nggak adil banget, ya. Dia nggak pernah belajar tapi nilai ujiannya bagus terus. Gue belajar mati-matian tapi nilainya jeblok mulu.

Aku beberapa kali melihat meme yang mengekspresikan hal di atas. Ada murid yang "tidak pernah belajar" tapi nilainya bagus sedangkan murid yang rajin belajar, bahkan merasa sudah mati-matian belajar tapi nilainya masih tidak sesuai harapan.


Tidak pernah belajar? Seberapa yakin kita kalau teman yang mendapatkan nilai bagus itu tidak pernah belajar? Apakah kita melihat semua kegiatannya selama 24 jam? Bisa jadi selama di kelas dia tidak kelihatan memperhatikan penjelasan guru/dosen tetapi setelah pulang ke rumah dia akan belajar sendiri. Ada tipe orang seperti itu. Bisa jadi juga dia kelihatannya tidak memperhatikan guru, matanya entah melihat ke mana-mana, tetapi sesungguhnya telinganya mendengarkan penjelasan dengan saksama. Bisa jadi frekuensi belajarnya tidak sesering teman-temannya tetapi belajarnya efektif. Bisa jadi dia sudah menemukan metode belajar yang sesuai sehingga bisa memahami pelajaran dengan cepat. Bisa jadi juga dia belajar dari hal lain selain buku pelajaran. Misalnya dia jarang sekali membaca buku pelajaran Bahasa Inggris tapi setiap hari rajin mendengarkan siaran radio berbahasa Inggris. Mungkin dia akan mengaku jarang belajar karena yang dia lakukan itu niatnya memang untuk hiburan. Namun, kenyataannya hiburan itu secara tidak langsung jadi media belajarnya. Ah, memang dasar dia jenius. Nggak belajar tetep dapet nilai bagus. Ah, masa sih? Semua orang, sejenius apapun, tetap perlu belajar terlebih dahulu untuk bisa memahami atau menguasai sesuatu. Apa mungkin balita jenius yang belum pernah belajar tentang kalkulus tiba-tiba bisa mengerjakan soal kalkulus? Tentu dia harus diajari mengenai kalkulus dulu. Boro-boro ngerjain kalkulus, pipis dan pup di kamar mandi saja harus diajari, kok. Jadi, pernyataan "nggak pernah belajar tapi nilainya bagus" itu tidak valid.

Belajar mati-matian. Seberapa keras standar belajar mati-matian? Berapa jam dalam sehari? Jangan-jangan baru belajar satu jam sehari sudah merasa belajar mati-matian. Saat di kelas pun tidak memperhatikan penjelasan guru. Ish, kok aku su'uzhon banget, sih. Bisa jadi memang yang mendapatkan nilai jelek sebenarnya sudah belajar keras. Namun, saat kita merasa sudah belajar keras, bisa jadi orang lain sudah mengerahkan usaha dua kali lipat dari usaha kita. Eh, kita? Lo doang kali, ah. Aku sih tidak pernah belajar mati-matian karena selalu tergoda oleh kasur yang melambai-lambai. Jadi, aku tahu diri kalau orang lain mendapatkan nilai yang lebih baik dariku.

Ngomong-ngomong soal belajar mati-matian ini, bisa jadi memang ada orang yang sudah belajar keras, sampai di batas kemampuannya, tetapi masih belum berhasil memahami pelajaran. Kalau kata dosenku dulu, bisa jadi cara belajarnya masih salah. Sudah banyak yang membahas mengenai berbagai gaya belajar. Bisa jadi seseorang belum menyadari kalau gaya belajar yang cocok untuknya adalah gaya auditori dan malah menggunakan gaya visual. Akibatnya, belajarnya tidak efektif. Dan bisa jadi, orang yang kelihatannya tidak belajar itu sudah mencoba berbagai metode belajar sampai menemukan metode yang sesuai gayanya. Bisa jadi dia sudah berkali-kali gagal dan mendapatkan nilai yang tidak sebagus sekarang. 

Ah, post kali ini ini kebanyakan kata "bisa jadi". Yah, tapi memang begitu. Saat mengomentari orang lain, semuanya serba "bisa jadi". Kita tidak tahu pasti seberapa keras mereka berusaha. Kita cuma bisa melihat hasilnya.

2 komentar:

  1. karena ngejudge itu kelewat mudah, jadinya sangat mudah ngomentarin sesuatu tanpa tau what happened behind it

    BalasHapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!