Rabu, 28 Desember 2016

Wanseponetaim in Bandung

Ternyata ada beberapa cerita penggelandanganku yang belum kuceritakan di sini. Salah satunya cerita saat aku menggelandang di Bandung. Saat itu aku ingin memanfaatkan waktu liburan untuk jalan-jalan ke daerah lain di Jawa sebelum kembali ke pengasingan. Keinginan untuk ke Jogja atau Pacitan tidak terwujud. Untungnya keinginan untuk ke Bandung bisa terwujud. Lima tahun kuliah di Jakarta, ditambah satu setengah tahun lagi kuliah di sana, masa tidak pernah sekalipun ke Bandung? Apa hubungannya kuliah di Jakarta dan jalan-jalan ke Bandung? Yah, kan dekat. Eh, jauh ding. Ah, sudahlah.


Tanggal 14 Februari 2016 aku janjian dengan Eny di pangkalan bus Primajasa atau entah apa namanya. Tujuan kami: Jatinangor. Sampai di Jatinangor ... dingin! Aku lupa waktu itu aku memutuskan untuk mandi atau tidak. Sepertinya tidak. Sudah terlalu malam dan terlalu dingin. Aku cuma ingat kami makan malam dengan bekal yang dibawa Eny dari Jakarta. Besok paginya kami ke Bandung. Naik motor. Bukan, bukan aku yang mengendarai. Aku cuma mbonceng Eny. Di tengah perjalanan Eny lupa jalan ke Bandung dan memintaku mengecek dengan Google Maps. Karena telepon pintarku ternyata tidak pintar alias lemot seperti diriku, aku pun menggunakan telepon pintar milik Eny. Sebagai pemandu arah bersenjatakan Google Maps, aku sering terlambat memberi tahu untuk belok kiri atau kanan. Kadang juga aku memberi tahu untuk "lurus aja" tanpa mengecek petunjuk di Google Maps. Namun, kami tetap sampai dengan selamat di kampus Itebeh.

Kami sarapan nasi kuning di depan kampus. Selepas sarapan, aku menyusup ke kampus mengikuti Eny. Sampai di kelasnya ada beberapa orang yang kukenal tapi aku malas menyapa mereka. Hahaha! Karena Eny ada kuliah sampai sore, aku terpaksa jalan-jalan sendirian. Tujuan jalan-jalan utamaku adalah Museum Geologi. Sewaktu naik motor ke kampus aku sempat melihatnya dan langsung tergoda ke sana. Aku pun bertanya pada Joshua yang tidak sengaja kulihat di dekat lift. Karena angkutan dari kampus ke museum agak susah, dia pun menyarankan naik Gojek. Hiks! Padahal ponselku sudah tidak bisa di-install aplikasi lagi karena sudah penuh. Aku pun terpaksa menghapus beberapa aplikasi agar bisa meng-install aplikasi Gojek. Ternyata setelah di-install pun masih ada rintangan untuk jalan-jalan. Lama sekali untuk membuka aplikasi tersebut. Akhirnya Joshua memesankan lewat aplikasi di ponselnya. Selesai masalahnya? Belum. Ojeknya tak kunjung datang. Kemudian Joshua menelepon memberitahu bahwa tukang ojeknya tidak bisa menghubungi nomorku. Aku juga tidak bisa menghubungi nomor tukang ojek tersebut. Akhirnya aku diminta menunggu pintu gerbang sebelah entah-utara-barat-selatan-atau-timur. Aku melihat ada abang-abang ojek yang menelepon. Ternyata itu ojek pesananku. Aku lupa, waktu itu dia yang salah mencatat nomorku atau aku yang salah mencatat nomornya. Sepertinya sih dia yang salah mencatat nomorku.



Akhirnya aku sampai di Museum Geologi dengan selamat (itu bukan nama abang ojeknya). Suasana di sana lumayan ramai karena ada sekelompok anak sekolah yang sepertinya sedang studi tour. Mereka menonton video tentang tata surya yang diproyeksikan ke dinding. Ikut nonton, Mil? Nggak. Malu. Cuma ngintip. Aku berkeliling melihat-lihat berbagai papan penjelasan untuk bebatuan yang ada di display. Di situ dijelaskan macam-macam bebatuan yang ada di Indonesia, persebarannya, dan sepertinya juga dijelaskan proses terbentuknya. Yang paling banyak sepertinya bebatuan kapur. Dan yang paling menarik perhatianku adalah batu-batu warna-warni, terutama batu amethyst yang berwarna ungu. Di bagian lain ada beberapa gambar yang menjelaskan periode-periode kehidupan di bumi dan organisme-organisme yang hidup pada periode tersebut, misalnya zaman pleistosen dan sebagainya. Selain gambar, ada juga fosil-fosilnya. Ada juga replika fosil dinosaurus. Selain gambar di dinding, ada juga layar LCD yang diletakkan seperti meja. Namun, saat aku mencoba beberapa layar yang tersedia, aku tidak bisa melihat gambar yang kuinginkan melalui menu. Sepertinya menunya tidak berfungsi. Apa memang sengaja dimatikan untuk menghindari pengunjung usil sepertiku? Lalu, apa gunanya ada menu kalau tidak bisa digunakan? Entahlah.



Bebatuan warna-warni. Kanan bawah: amethyst


Salah satu peta persebaran batuan di Indonesia


Gambar-gambar periode di bumi


Fosil
Layar LCD

Di lantai dua kalau tidak salah kebanyakan menggambarkan cara mengolah bebatuan yang ditunjukkan di lantai satu dan hasil olahannya, misalnya mineral yang diekstrak dari bebatuan tersebut. Di lantai ini juga ada artefak benda-benda yang terbuat dari batu yang digunakan pada zaman dahulu. Ada juga artefak yang terbuat dari keramik. Entah apa hubungannya dengan geologi. Selain itu ada juga barang-barang sisa bencana letusan gunung berapi. Sisa? Entahlah apa nama yang tepat.

Contoh batuan dan olahannya


Artefak


Barang sisa letusan gunung berapi

Keluar dari Museum Geologi, aku bertanya pada mamang somay di mana lokasi Museum Pos. Aku lupa kenapa aku bisa tahu di sekitar situ ada Museum Pos. Apakah aku melihatnya sewaktu naik ojek? Atau ada orang yang memberitahuku kalau di dekat Museum Geologi ada museum lain yaitu Museum Pos? Aku lupa. Yang jelas setelah keluar dari Museum Geologi aku ke Museum Pos. Sepi. Mungkin karena bukan hari libur. Tempatnya juga tidak terlalu luas. Eh, jangan-jangan sebenarnya luas tapi aku yang tidak tahu ada ruangan lain selain yang kumasuki? Entahlah. Di museum tersebut dipajang berbagai perangko, kartu pos (baik biasa maupun kartu pos edisi khusus), dan alat-alat yang digunakan dalam pengiriman surat atau barang sejak zaman penjajahan Belanda. Ada juga diorama yang menggambarkan tukang pos yang mengantarkan surat ke penduduk. Aku lupa kenapa foto yang kuambil di sana cuma sedikit. Sepertinya waktu itu baterai kameraku sudah sekarat.

Perangko

Kartu pos

Kartu pos lagi
Mungkin timbangan untuk menimbang paket

Brievenbus (bis surat) yang digunakan pada zaman penjajahan Belanda

Kata Pak Pos, "Neng, ada surat dari Abangnya." Ternyata surat undangan pernikahan Si Abang dengan gadis pilihan orang tuanya. *drama*

Setelah puas melihat-lihat, aku berencana kembali ke area kampus untuk numpang sholat di Masjid Salman. Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya aplikasi Gojekku bisa digunakan. Alhamdulillaah, ponselku bersahabat saat itu sehingga aku bisa memesan ojek dan sampai di Masjid Salman dengan selamat. Setelah sholat, aku pun mencari tempat makan. Kata Eny, keluar dari Salman, belok dikit, ada Gelap Nyawang. Aku pun berkeliling mencari rumah makan dengan nama Gelap Nyawang. Ada banyak tempat makan berderet tapi tak ada satupun yang namanya Gelap Nyawang. Kemudian, kalau tidak salah ingat, aku melihat papan nama jalan bertuliskan Jalan Gelap Nyawang. Damn! Jadi Gelap Nyawang itu nama jalan, bukan nama tempat makan. Berarti deretan tempat makan yang kulewati tadi itulah yang dimaksud Eny dengan Gelap Nyawang. Doh!

Setelah makan di salah satu tempat di Gelap Nyawang, aku naik angkot ke tujuan penggelandangan selanjutnya: Masjid Agung. Sepertinya aku sempat bertanya pada beberapa orang sepanjang perjalanan dari Gelap Nyawang ke jalan besar bagaimana caranya ke Masjid Agung. Aku tidak ingat angkot apa yang kunaiki. Namun, sepertinya aku naik sampai tujuan akhir angkot tersebut. Dan setelah itu masih harus jalan jauh sampai ke Masjid Agung. Sampai di sana ternyata ramainya luar biasa. Banyak yang duduk-duduk di atas rumput sintetis di pelataran masjid. Aku minta tolong pada salah satu petugas -- sepertinya petugas Satpol PP -- untuk memotretku dengan latar belakang masjid. Setelah kucek di kamera, ternyata gambarnya tidak tersimpan. Hiks! Terpaksa selfie coba-coba sampai wajahku terlihat di foto dan posisi masjidnya terlihat pas. Yah, begitulah nasib orang yang cuma membawa kamera digital dan tidak punya telepon pintar dengan kamera depan.

Keluar dari area masjid, aku mengambil jalan yang berbeda dengan jalan sewaktu aku datang. Jalan ... terus jalan ... terus ... terus ... eh, nyasar? Awalnya kupikir dengan mengikuti jalan lalu belok kiri, aku akan kembali ke jalan yang kulewati saat menuju masjid. Ternyata tidak. Aku pun terus jalan seperti anak hilang. Akhirnya aku melihat jalan yang agak kukenali. Selamat!

Karena agak lapar, aku iseng masuk ke salah satu gedung yang seperti mall untuk mencari foodcourt. Tapi, aku lupa. Jadi makan tidak, ya? Sepertinya jadi. Eh, apa cuma minum bubble tea? Hadeuh, ingatanku benar-benar payah. Yang sangat jelas kuingat adalah aku kembali memesan gojek untuk kembali ke Salman. Dan ... ternyata yang datang bukan abang gojek melainkan dedek gojek yang ganteng plus imut bin wangi. Sepertinya masih mahasiswa.

Setelah seharian ngucluk sendirian di Bandung, aku jadi tahu kenapa ada orang yang suka bepergian sendirian. Istilah kerennya, sih, solo travelling. Ternyata seru juga. Dan tidak semenakutkan yang kubayangkan.

7 komentar:

  1. Klo pulamg kantor, kadang saya suka iseng ngambil jalur pulang yang beda dengan berangkat. Klo untung kadang dapat yg unik2. Loh apa hubungannya dgn postingan yah? hihii..

    Hve a good year poko'na mah.

    BalasHapus
  2. Udaaah lamaa gak berkunjung ke sini yak ngebaca cerita2 Milo... 😃

    BalasHapus
  3. kereennn aku belum pernah kesanaa
    eh btw temenan segini lama di blog kok aku belum pernah lihat dikau mil hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. eh, lihat gimana?

      da aku mah nggak pernah ikutan kumpul2 blogger.

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!