Kamis, 04 Agustus 2016

Warteg

Warteg. Apa yang terpikir di kepalaku ketika mendengar kata warteg alias warung tegal? Yang paling sering muncul di kepalaku adalah kenangan saat menginap di warteg bulikku sewaktu kali pertama datang ke Jakarta. Sekalinya datang ke Jakarta, langsung menginap di warteg dengan bangunan yang terbuat dari triplek dan kamar mandi yang alakadarnya. Aku tidur di lantai atas. Tidur di bangunan sederhana tidak terlalu masalah buatku. Toh cuma beberapa hari. Namun, melihat kamar mandinya yang alakadarnya dan sedikit terbuka aku langsung ribut, "Nggak mau mandi! Nggak mau mandiiiii!" Bulikku pun menyarankan untuk mandi pagi-pagi buta sehingga masih sepi. Akhirnya mandi juga meskipun cemas ada orang yang lewat. Apakah semua warteg seperti itu? Entah yaaa. Melihat bangunan warteg yang rata-rata sederhana, semi permanen, dan sempit, sepertinya memang bukan tempat yang sesuai untuk tempat tinggal. Namun, tempat tinggal pemilik warteg di kampung halamannya jauh berbeda. Di kampungku, semasa rumah orang-orang umumnya masih berlantai ubin biasa (tegel), rumah para pemilik warteg sudah berlantai keramik. Rumah mereka megah. Yah, meskipun sebagian besar cuma jadi rumah kosong karena pemiliknya justru tinggal di Jakarta, di wartegnya yang sederhana.


Hal lain yang terlintas di kepalaku ketika mendengar kata warteg adalah orang kaya. Memang, pemilik warteg biasanya kaya. Kata orang-orang uangnya sampai bisa dijadikan bantal. Mungkin bisnis makanan seperti itu memang menjanjikan. Enak dong! Mending buka warteg aja biar cepat kaya. Enak tidak enak tergantung sudut pandang, sih. Uang yang dihasilkan memang banyak. Namun, kerja keras yang diperlukan juga besar. Kegiatan memasak sudah dimulai sejak pagi-pagi buta. Pagi sampai malam harus melayani pembeli. Iya, sampai malam. Belum lagi harus mencuci piring dan berbagai peralatan masak. Terbayang, kan, lelahnya? Kan ada pelayan. Iya, sih, biasanya di warteg ada pelayan. Namun, kalau sedang ramai tentu saja pemilik warteg pun ikut turun tangan. Pelayannya yang banyak, dong! Jadi, pemiliknya tidak perlu ikut kerja. Tambah pelayan berarti tambah pengeluaran untuk upah. Itu berarti keuntungan berkurang. Begitulah. Pemilik warteg memang biasanya kaya tetapi untuk menjadi kaya seperti itu mereka harus bekerja keras juga. Jer basuki mawa beya.

Apa lagi yaaa? Oh, iya. Warteg identik dengan harga yang murah meriah. Biasanya sih begitu. Jadi, warteg di lingkungan kampus biasanya memiliki pelanggan mahasiswa berkantong tipis. Kenapa bisa murah? Entahlah. Mungkin karena menunya juga sederhana. Misalnya oreg tempe, tempe goreng, tumis kangkung, tumis toge, telur kecap. Beda dengan warung Padang yang harus menyediakan rendang daging. Atau bahan bakunya murah? Atau banyak lauk hasil daur ulang alias angetan? Mbuh ya. Yang jelas, harga murah memang jadi salah satu alasanku dulu membeli lauk dan sayur di warteg.

Soal rasa makanannya ... aku tidak bisa menyebutkan enak atau tidak. Aku bukan orang yang perhatian soal rasa. Jadi, kurang bisa membandingkan rasa makanan di satu warung dengan warung lainnya. Bagiku cuma ada dua kategori rasa makanan: lumayan dan sangat tidak enak. Selama ini, sih, makanan yang kumakan di warteg belum sampai masuk kategori sangat tidak enak. Namun, bagi orang lain yang lidahnya peka dan pilih-pilih, soal rasa ini bisa jadi faktor penting. Kadang ada pelanggan yang berhenti berlangganan di satu warteg karena rasa makanan yang berubah. Penyebab yang mungkin terjadi adalah pergantian tukang masak. Biasanya ibunya yang memasak kemudian ganti anaknya. Kalau wartegnya menggunakan sistem aplusan (bergantian mengelola setiap beberapa bulan), pelanggan juga bisa pindah ke lain warung ketika warteg dikelola oleh aplusannya (pengganti). Beda pengelola, beda tukang masak, otomatis beda juga rasa masakannya. Meskipun resepnya sama, kalau yang memasak berbeda bisa jadi rasanya juga berbeda. Entah kenapa. Ini masih menjadi misteri.

Satu lagi. Warteg identik dengan bangku panjang dan cara duduk yang menaikkan salah satu kaki (tengkreng). Kalau ada orang duduk dengan cara seperti itu biasanya akan dikomentari, "Kaya di warteg aja duduknya." Padahal, seingatku setiap aku ke warteg belum pernah melihat orang duduk seperti itu. Atau akunya yang kurang memperhatikan? Lalu, kenapa duduk seperti itu diidentikkan dengan duduk di warteg? Mungkin karena bentuk bangku di warteg yang memanjang sehingga memungkinkan pelanggan duduk dengan cara tengkreng. Kalau di rumah makan lain yang kursinya biasa, tentu sulit mau duduk seperti itu.

Sudah cukup, ah, meracau tentang wartegnya.

8 komentar:

  1. Mil, dirimu ahli sekali soal warteg... Jadi kapan bikin warteg sendiri?

    BalasHapus
  2. Hehe, mbahku dulu punya warteg, mb. Bisa buat sekolahin 4 anak sampe selesai SMA pas zaman dulu itu ya sesuatu banget. Apalagi punya rumah lain selain bangunan wartegnya. Prinsipnya sih yang penting jualan dengan harga murah tapi enak, biar orang balik lagi beli tiap hari. Harga murah karena ambil untung dikit. yang penting bisa muterin duitnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hoooo, jadi prinsipnya ambil untung secukupnya, asal duit muter gitu ya..

      Hapus
  3. Aku jrg bgt nongkrong di warteg. Bawa pulang aja makannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. samaa. aku juga biasa dibungkus trus bawa pulang.

      Hapus
  4. aku sih ngewartegnya juga pilih2
    kalo rasa makanannya cucok gamasalah makan di warteg itu
    tapi yang gak cucok di lidahku ya males
    selama di jkt sih gitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. emang cocok2an gitu ya.. kalo cocok ya next time beli lagi di situ yak.

      Hapus

Silakan meninggalkan jejak berupa komentar sebagai tanda bahwa teman-teman sudah membaca tulisan ini.. Tapi, tolong jangan menggunakan identitas Anonim (Anonymous), ya.. Dan juga, tolong jangan nge-SPAM!!!