Rabu, 24 April 2013

Antre, Dong! (Episode 2)

Masih ingat ceritaku ketika hampir diserobot seseorang ketika mengantre di SPBU? Pernah kuceritakan di tulisan ini. Hari Kamis yang lalu aku mengalami kejadian yang sama. Di SPBU yang sama, hanya saja barisan antreannya berbeda.

Waktu kejadian yang dulu, aku berhasil mencegah orang menyalip antrean. Akan tetapi, hari Kamis yang lalu aku gagal mencegahnya. Aku sebenarnya sudah curiga karena ada orang yang mengambil posisi di sebelah kiriku, bukannya sebelah kananku (antriannya ada dua barisan). Padahal posisi di sebelah kananku lebih luas karena aku (bermaksud) memang mengantri di sebelah kiri. Aku tidak ingat waktu itu sedang memperhatikan apa. Yang jelas aku lengah. Ketika orang di depanku maju, orang  yang mengambil posisi di sebelah kiriku itu tiba-tiba menyelip di celah kecil antara motorku dan motor di depanku. Refleks aku langsung berkata padanya, "Ngapain, Bang?" Orang itu cuma menoleh dan sepertinya bingung mau menjelaskan alasannya. Langsung kulanjutkan omelanku, "Antre, dong!" Tanpa kusadari suaraku saat itu benar-benar melengking dan sepertinya terdengar sampai seluruh penjuru SPBU. Orang tadi menjawab, "Na dua boh (Ada dua buah [antrian])." Aku masih belum terima. Kujawab lagi, "Di sebelah kanan, kan, bisa!" Memang seharusnya dia antre di sebelah kanan, kan? Masa dia tidak lihat aku antre di sebelah kiri? Dia diam saja.


Senin, 22 April 2013

Mahalnya Pendataan

"Buat apa uang sebanyak itu untuk sensus sapi? Daripada untuk pendataan mending langsung diberikan sebagai bantuan untuk peternak saja." Pernah mendengar kalimat seperti itu? Atau jangan-jangan pernah mengucapkannya?

Uang sekian miliar bisa saja langsung diberikan kepada para peternak dalam bentuk uang atau bibit ternak. Tapi, siapa saja peternak yang akan diberi bantuan? Bagaimana distribusi bantuannya? Apakah dibagi rata masing-masing desa sekian juta? Atau dibagi menurut proporsi berdasarkan jumlah peternak dan populasi ternak yang ada di desa? Lantas bagaimana cara mengetahui jumlah peternak di masing-masing desa? Kalau tidak ada data yang tepat mengenai jumlah peternak, bagaimana bisa membagikan bantuan sesuai kebutuhan masing-masing desa? Untuk itulah diperlukan pendataan. Agar didapatkan data yang akurat sehingga bisa diketahui daerah mana saja yang menjadi konsentrasi peternak, daerah mana saja yang banyak ternaknya, daerah mana saja yang perlu diprioritaskan untuk diberi bantuan, dan sebagainya.

Dengan melakukan pendataan, kita bisa mendapatkan data akurat yang bisa digunakan dalam waktu panjang. Kita memang harus mengeluarkan dana yang cukup besar untuk pendataan tersebut. Mungkin kesannya mubadzir. Tapi, bila kita menggunakan dana tersebut untuk memberikan bantuan tanpa ada data peternak yang akurat, bukankah akan lebih mubadzir? Tanpa data yang akurat, bukankah besar sekali kemungkinan dana bantuan tersebut tidak tepat sasaran?

Kamis, 18 April 2013

Hoax Melulu

Sering wara-wiri di Facebook? Kalau sering, mestinya pernah (atau malah sering) membaca artikel sebuah Page yang banyak di-share oleh teman-teman kita di Facebook. Kalau artikelnya benar dan bagus, sih, tidak apa-apa. Yang menyebalkan adalah kalau artikelnya bohong alias hoax. Misalnya artikel tentang orang yang mengonsumsi seafood dengan jus jeruk (atau minuman lain yang mengandung vitamin C) lalu keluar darah dari panca inderanya kemudian meninggal atau artikel tentang orang yang mengonsumsi mie instan dan cokelat lalu keluar nanah dari panca inderanya kemudian meninggal. Artikelnya terlihat sangat ilmiah dengan mencantumkan nama-nama senyawa yang asing di telinga orang awam seperti diriku dikuatkan pula dengan mencantumkan rumus ilmiahnya. Kalimat di artikelnya pun sangat meyakinkan dan membuat pembacanya tergerak untuk menyebarkannya. Misalnya kalimat, “Kalau kalian menganggap artikel ini penting dan kalian menyayangi teman-teman kalian, bagikan artikel ini.”

Parahnya, yang kerap memublikasikan artikel semacam ini di Facebook adalah Page yang pengikutnya lumayan banyak. Kalau pengikutnya ada seribu dan semuanya membagikan (share) artikel tersebut lalu dibaca oleh kawan-kawan mereka, berapa banyak orang yang ‘tertipu’? Bagaimana kalau orang tersebut juga memublikasikannya di web-nya lalu dibaca ribuan orang? Berapa orang lagi yang ‘tertipu’? ‘Penipuan’ berantai itu namanya.

Rabu, 17 April 2013

Kulina Ngoko

Wingi aku olih sms sing nomere kakange aku. Basane nganggo basa kromo. Pancen dasare akune rada-rada mblunat, sms nganggo basa kromo yang diwalese nganggo basa ngoko. Padahal sing sms kakange, sing berarti luwih tuwa. Pimen maning, yah. Wis kulina awit cilik ngomong karo kakange nganggo basa ngoko, loken ujug-ujug pas sms nganggo basa kromo?

Tuli aku langsung mikir, "Aja-aja mau sing sms dudu kakange aku tapi bojone mulane basane kromo." Langsung tak sms maning nggo mastikna kuwe temenan sms-e kakange aku atawa bojone. Jebule pancen sms sing kakange aku.

Pancen angger wis kulina nganggo basa ngoko pan nganggo basa kromo kayong angel. Rasane wagu nemen. Padahal tah lagi sekolah SD nganti SMP diwarahi basa kromo. Tapi, ya, tetep bae aneh. Wong judule wis kulina. Aja maning karo kakange, wong karo Abah karo Ibu be seringe nganggo basa ngoko, ka. Yen ditakoni semaure "iya", "ora". Padahal wong-wong liyane yen ditakoni wong tua semaure "nggih" atawa "mboten". Paling ngger lagi bener pas ditakoni, "Wis mangan durung?" jawabe, "Sampun." Uwis, samono tok kromone. Bar kuwe ya ngoko maning.

Jumat, 12 April 2013

Gara-gara Dubbing

Beberapa minggu belakangan aku jadi bisa menonton televisi karena ruangan kerjaku pindah sementara. Karena harus meng-entry Susenas dan kabel jaringannya tidak cukup panjang untuk ditarik sampai ke ruanganku, aku terpaksa pindah ke aula karena server-nya di situ. Dan sembari meng-entry kami menonton televisi.

Acara yang kutonton pada sore hari adalah Rooftop Prince. Dan ketika mendengar 'suara' pemainnya aku langsung berkomentar, "Dubbing-nya jelek! Kaya yang di sinetron terbang-terbang!" Tahu, kan, sinetron terbang-terbang? Itu, lho, sinetron yang ceritanya ada naga-naganya, yang kadang ceritanya dicampur-campur antara bawang merah dan bawang putih dengan cerita seribu satu malam. Kreatif, sih. Tapi ganjil. Dan ketika menonton drama Korea yang suaranya dubber-nya sama dengan suara dubber di sinetron terbang-terbang itu, aku jadi merasa gimanaaaaa gitu. Ditambah lagi suara dubber-nya pun sama dengan suara dubber di film-film India. Rasanya aneh mendengar 'suara' Yoochun sama dengan 'suara' Shakrukh Khan. Hadeuh!

Selasa, 09 April 2013

Kapan Nikah?

Ketika seorang perempuan sudah mencapai umur 25 tahun biasanya akan ditodong dengan pertanyaan, "Kapan nikah?" Ketika satu per satu temannya menikah dia pun ditanya, "Kapan nyusul temannya?" Ketika dia tak kunjung menemukan pendamping hidup orang-orang bertanya, "Kamu nyari yang kayak gimana, sih?" Ketika usia semakin matang dan pasangan hidup pun tak kunjung datang kalimat yang muncul dari orang-orang adalah: "Kamu nyari yang kaya gimana? Jadi orang jangan pilih-pilih!"

Reaksi para lajang pun berbeda-beda. Ada yang cuek, ada yang cukup tersenyum, ada menjawab dengan gurauan, ada yang langsung galau, ada yang mendadak bete lalu misuh dalam hati, "Lambemuuuuuu!" Iya, yang terakhir itu reaksiku. Risih sekali rasanya ditanya kapan menikah. Ngomong-ngomong tentang pertanyaan "kapan nikah", kebanyakan yang mengajukan pertanyaan itu justru dari luar keluarga inti. Ini berdasarkan pengalaman pribadi. Yang nyinyir menanyakan kapan aku menikah justru bukan Abah atau Ibu melainkan omku. Awalnya aku mencoba menjawab diplomatis, "Nanti, kalau sudah waktunya." Eh, omku malah menyahut, "Lah, sekarang, kan, sudah waktunya." Suasana hatiku mendadak buruk. Ingin sekali aku menjawab, "Situ siapa? Situ Tuhan? Yang ngatur waktu orang ketemu jodoh, kan, Tuhan. Kok, berani-beraninya situ bilang aku udah waktunya nikah?" Untungnya waktu itu aku hanya diam. Tapi, tetap saja dengan muka ditekuk. Bete.

Hal menyebalkan lainnya adalah ketika ada teman menikah lalu ditodong, "Kapan nyusul? Teman-teman seangkatanmu udah nikah semua, lho!" Hellooooo! Ini bukan pertandingan, ya, sodara-sodara! Kalau teman seumuran sudah banyak yang menikah, bukan berarti yang lajang harus buru-buru menikah. Tidak ada patokan pasti. Memangnya imunisasi, kalau sudah sembilan bulan waktunya imunisasi campak. Jadinya kalau orang sudah 25 tahun langsung ditodong, "Dua puluh lima tahun, kan, waktunya nikah!"

Jumat, 05 April 2013

Bahagia itu...

"Mengumpulkan uang?! Pamanku mencari uang seumur hidupnya. Dan apa yang dia dapat sekarang? Hanya segudang uang yang dingin dan tidak peduli padamu."

"Iya, pamanku juga tidak punya teman! Dia juga tidak peduli dengan saudara-saudaranya. Apa gunanya kaya-raya kalau tidak menikmati hidup?!"

Percakapan di atas adalah percakapan antara Donal Bebek dan Hilman Mukamalas yang mengomentari paman-paman mereka: Gober Bebek dan Gover Bebek, dalam Album Donal Bebek edisi Ulang Tahun Gover. Percakapan mereka membuatku teringat pada satu prinsip yang kadang terlupakan: standar kebahagiaan setiap orang berbeda-beda. Ada yang kebahagiaannya diukur dari banyaknya uang yang didapatkan, misalnya seperti Gober Bebek. Dia begitu gembira melihat tumpukan uangnya dan berenang di dalamnya. Lantas, apakah orang lain juga harus mengukur kebahagiaannya dengan jumlah uang (harta) yang dimiliki? Tentu tidak. Ada, kok, yang tetap bergembira meskipun tidak memiliki banyak uang. Contohnya Donal Bebek. Kalau Donal, sih, bahagianya kalau bisa membuat tetangganya -- sekaligus musuh bebuyutannya -- kesal, hehehe!