Menikah. Aku sempat berada di fase tidak berani mengharapkan pernikahan. Itu hal yang terlalu mewah untukku. Saat hidup sedang kacau, yang kupikirkan hanya menjaga semangat untuk tetap bertahan hidup. Aku tidak berani memikirkan untuk berbagi kehidupan dengan orang lain. Seperti dalam kapal yang sedang dilanda badai, aku hanya bisa berharap agar kapalku tidak tenggelam. Aku tidak berani memikirkan untuk berlabuh. Rasanya terlalu jauh. Sampai akhirnya badai mereda. Aku sempat berpikir,"mungkin aku sudah bisa menikah sekarang, mungkin aku akan baik-baik saja kalau menikah, mungkin sekarang aku sudah kuat dan tidak akan gila menghadapi masalah dalam pernikahan".
Aku lupa kapan tepatnya aku mulai memiliki keinginan lagi untuk menikah. Mungkin sekitar dua tahun lalu. Yang jelas, setahun lalu aku dihadapkan pada kenyataan yang tidak menyenangkan. Aku seperti diingatkan bahwa untuk di umurku yang sekarang, hampir tidak mungkin menikah dengan lelaki yang juga belum pernah menikah. Dan yang lebih ngenes lagi, orang terdekatku berkata, "Nggak usah nyari yang ketinggian". Padahal aku tak pernah menyebutkan kriteriaku padanya. Seingatku, aku hanya pernah bercanda padanya kalau aku mau menikah dengan seseorang yang "tidak membuatku ingin membunuhnya". Tidak ada kriteria lain, entah tentang pekerjaan atau pendidikan. Di mana letak kriteria yang ketinggian itu. Yang paling menyakitkan, aku mendengar perkataan itu dari orang yang paling tidak kuharapkan untuk berkata seperti itu. She said it out of love, maybe. But it's still painful. Sampai sekarang pun aku masih sedih kalau mengingatnya.
Beberapa bulan terakhir ini aku pun jadi memikirkan hal lain terkait pernikahan. Di usiaku yang hampir 40 tahun ini, peluangku untuk menikah sudah semaaakin kecil. Peluang yang terlalu kecil, biasanya dianggap nol atau tidak ada. Kalau dari analisis tersebut kemudian aku berpikir "Udahlah, kayanya gue nggak bakal nikah, deh", itu termasuk realistis atau putus asa, ya? Katanya kita tidak boleh putus asa. Namun, berharap pada sesuatu yang kemungkinan terjadinya terlalu kecil, sepertinya tidak realistis. Allah bisa menjadikan hal yang tidak mungkin menjadi mungkin. Misalnya, Nabi Zakaria bisa memiliki keturunan di usia yang sangat tua. Mujizat bisa saja terjadi... tapi peluang terjadinya amat sangat kecil. Apa aku harus terus berpegang pada harapan yang teramat kecil itu sementara otakku berkata bahwa itu tidak realistis? Padahal, bersikap realistis lebih memudahkanku untuk menjalani hidup dengan tenang. Lalu, kalau aku berpikir "Mungkin Allah memang tidak menakdirkan aku bertemu jodoh di dunia", apakah itu termasuk berburuk sangka pada Allah? Bukan, kan? Tidak bertemu jodoh di dunia itu bukan sesuatu yang buruk, kan?
Entahlah. Semakin dipikirkan semakin bingung. Semakin dirasakan semakin galau. Sepertinya aku hanya bisa berdoa.
Ya Allah, minta suami yang salih, yang baik hati kaya Himmel, yang senyumnya manis kaya Byeon Woo Seok, bukan duda, kalau bisa yang kaya dan nggak pelit, kalau bonus ganteng kaya Matsumura Hokuto juga boleh. Aamiiiin. Aamiiiin. Aaaamiiiiiiiiin.
Kok kriteria di doanya tinggi banget? Nggak papa. Sudah ada yang bilang kalau kriteriaku ketinggian, ya sudah sekalian saja meninggikan kriteriaku.
aamiin. semoga segera dapat jodoh ya Kak Mil
BalasHapusAaamiiin. Makasih doanya.
Hapus